Loving The Wounded Soul - Regis Machdy

Hal yang aku sukai dari membaca buku non fiksi adalah aku bisa berlama-lama membaca buku itu atau bahkan bisa mengambil jeda disela-sela bab yang aku baca agar aku lebih memahami apa yang dituliskan pada setiap lembar halamannya, seperti saat aku membaca buku ini. Aku butuh waktu sekitar 2 bulan untuk melahap habis buku ini, bahkan sambil ku jeda dengan buku yang lain. Mungkin kalian juga tahu kalau buku non fiksi berisi muatan yang lebih berbobot daripada buku-buku novel yang cenderung ringan. Saat membaca buku non fiksi aku harus memfokuskan seluruh perhatianku agar tak ada satu kalimat pun yang tak ku pahami artinya. Berbeda saat aku membaca novel yang seringnya mengikuti alur yang disajikan dalam novel.

Beberapa orang menganggap membaca non fiksi itu lebih keren daripada membaca novel. Jangan salah kaprah, aku jarang sekali membaca buku non fiksi kecuali buku itu menarik minatku dari segi genre atau penulisan. Bagiku, membaca novel sama berbobotnya dengan membaca non fiksi, hanya saja perbedaannya terletak pada cara kita memahami isi dari buku yang kita baca. Panjang betul ya intronya. Jadi buku Loving The Wounded Soul itu tentang apa, sih?

Loving The Wounded Soul ditulis oleh Regis Machdy yang merupakan akademisi psikologi yang menyelesaikan gelar Master of Global Mental Health di University of Glasgow yang juga merupakan co-founder dari pijarpsikologi.org. Pada cover depan buku ini tertulis judul Loving The Wounded Soul - Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia. Sesuai judulnya, buku ini membahas segala hal tentang depresi. Regis Machdy membagikan ilmu dan pengalamannya dalam buku ini dalam dua peran, perannya sebagai akademisi psikologi dan perannya sebagai orang yang memiliki pengalaman hidup bersama depresi.





Perannya sebagai akademisi psikologi membuat buku ini terasa seperti jurnal ilmiah yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang mudah dipahami oleh orang awam. Regis membahas depresi dari segala aspek biologis, psikologis, lingkungan, sampai dengan aspek spiritual. Pembahasannya diikuti dengan fakta, penelitian, dan berbagai kutipan dari jurnal ilmiah ataupun buku atau artikel lain dengan topik terkait. Hal ini jelas membantuku memahami depresi lebih dalam lagi. Depresi itu bukan cuma mitos, gaes. Semua hal ada penjelasannya.


Sebelum masuk ke pembahasan yang lebih dalam, buku ini dibuka dengan penjelasan mengenai apa itu stress dan apa itu depresi. Dalam buku ini dijelaskan bahwa menurut literatur psikologi, stress itu ada dua macam, yaitu eustress dan distress. Eustress adalah stress dengan dampak positif yang membuat kita lebih tangguh, dewasa, dan ahli dalam sesuatu. Sementara distress adalah stress negatif yang menyebabkan kita sedih dan tidak berdaya, bahkan bisa membuat kita tidak berfungsi seperti biasanya. Maksudnya gak berfungsi itu gimana, sih? Kayak misalnya kita jadi gak nafsu makan dan gak mau ngapa-ngapain karena patah hati.

Sementara depresi adalah penyakit nyata yang sama sekali berbeda dengan stress. Orang stress bukan berarti depresi dan orang dengan depresi gak bisa disepelekan, "ah, paling cuma stress." Depresi sama dengan anxiety disorder dan bipolar disorder yang termasuk ke dalam kategori mental illness. Secara harafiah, mental illness itu berarti penyakit mental, namun masyarakat awam banyak yang menyepelekan mental illness ini atau bahkan sama sekali gak menganggap mental illness sebagai sebuah penyakit yang perlu ditangani.

Buku ini menjelaskan beberapa gejala yang umum terjadi pada orang yang mengidap depresi:
1. Depressed Mood. Mengalami suasana hati yang depresif setiap hari.
2. Kehilangan minat dan kesenangan dalam semua atau hampir semua kegiatan sepanjang hari.
3. Penurunan atau kenaikan berat badan secara signifikan (perubahan sekitar 5% dari berat badan sebelumnya selama sebulan)
4. Insomnia
5. Psikomotor lamban atau menunjukkan kegelisahan hampir setiap hari.
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan.
8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir, berkonsentrasi, atau tidak bisa mengambil keputusan hampir setiap hari.
9. Pikiran berulang tentang kematian.

Kutipan mengenai beberapa gejala umum depresi ini aku ambil bukan untuk menyuruh kalian untuk self-diagnosed, ya. Self-diagnosed bisa memiliki dampak yang negatif bagi orang yang bersangkutan atau orang-orang di sekitarnya yang memang benar-benar mengalami gangguan mental. Mental illness ini sungguh kompleks, tambahan lagi karena sakitnya tidak terlihat maka dibutuhkan profesional seperti psikolog atau psikiater yang bisa mendiagnosa dengan tepat apa yang terjadi dengan orang yang memiliki gangguan agar bisa ditangani dengan tepat. Kalian bisa google sendiri kalau penanganan orang dengan gejala depresi pasti berbeda dengan penanganan orang dengan gejala bipolar. Penyembuhan mental illness pun membutuhkan waktu yang tidak singkat.


Seperti orang-orang yang memiliki alergi tertentu, orang dengan mental illness pun memiliki kerentanan terhadap gangguan jiwa tertentu. Ada orang-orang yang rentan terhadap stress, ada orang-orang yang rentan terhadap depresi, ada orang-orang yang rentan menjadi pengidap OCD, ada orang-orang yang rentan menjadi pengidap bipolar, dan lain-lain. Untuk mengetahui status kerentananmu, kamu bisa melakukan tes kesehatan mental. Tapi, kamu jelas harus mengkonsultasikan dirimu dulu pada psikolog ataupun psikiater, karena tes kesehatan mental berbeda dengan tes psikotest saat kamu melakukan tes IQ atau saat kamu melakukan interview kerja. Dari sisi fungsi dan tujuan jelas berbeda dan dari level perasaan saat mengisi kedua tes tersebut pun jelas berbeda. Saat mengisi psikotest untuk interview kerja aku merasa cukup percaya diri dan antusias. Saat mengisi tes kesehatan mental, tanganku gak bisa berhenti tremor dan gak bisa berhenti deg-degan selama aku mengisi 300 soal tes yang sebenarnya gak ada benar atau salah itu. Aku ketakutan setengah mati karena aku tahu bahwa tes itu akan membawaku pada sebuah diagnosa yang rasanya seperti tersambar petir disiang hari bolong. Lalu habis itu ada temanku yang bilang, "eh, gue mau dong tes-tes begituan." Ingin memaki loh saya rasanya. Walau yah sebenarnya aku tahu pasti kalau temanku itu gak ada maksud untuk menyinggung. Nah, kan saya jadi curhat. Hmm

Balik lagi berbicara tentang buku ini dan depresi. Dalam buku ini dikatakan bahwa depresi adalah penyakit yang berasal dari ketidakseimbangan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Dan depresi bisa kambuh jika kembali dihadapkan dengan sesuatu yang mentrigger depresi tersebut dan biasanya bersifat personal. Depresi menyerang pikiran dan juga menyerang tubuh karena pada dasarnya pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Saat permasalahan emosi membuat tubuh bereaksi seperti pegal-pegal, sakit kepala, atau asam lambung naik, gejala tersebut dinamakan sebagai psikosomatis. Dalam buku ini juga mengatakan bahwa sebuah penelitian yang cukup tua menemukan bahwa orang dengan depresi yang menunjukkan banyak gejala ketidaknyamanan fisik akan lebih rentan terhadap gangguan depresi.


Dalam menulis buku ini, Regis Machdy mengambil banyak sekali pembahasan dari jurnal penelitian ilmiah ataupun buku-buku terkait dengan psikologi (yang ia sertakan kutipannya di halaman Pustaka Acuan), salah satu hal yang menurutku menarik dari yang ia bahas adalah pembahasan Hubungan Kausal antara Perasaan dan Tubuh yang diambil dari buku You Can Heal Your Life yang ditulis oleh seorang terapis holistis, Louise Hay. Louise Hay menuangkan hasil pengamatannya terhadap sekian ribu orang yang sudah ia tangani selama bertahun-tahun dan ia mengambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara ketidaknyamanan fisik dengan ketidaknyamanan emosi.

Regis Machdy mencoba memaparkan pengamatan yang dilakukan oleh Louise Hay dalam buku Loving The Wounded Soul. Seperti saat orang mengalami gangguan di telinga seperti berdengung atau tinnitus, penyebab psikologisnya adalah sesuatu yang tidak ingin ia dengar. Jika permasalahan ada pada leher, biasanya orang tersebut keras kepala dan kurang bisa melihat perspektif orang lain. Orang yang mengalami kaku leher biasanya selalu memaksakan kehendak. Permasalahan di tenggorokan menunjukkan bahwa kita merasa tidak punya hak berbicara dan hidup dengan cara kita sendiri. Rasa nyeri pada tulang belakang menandakan perasaan tidak adanya dukungan, entah secara finansial dari pasangan, moral dari orang tua, atau religius dengan Tuhan. Louise Hay memandang jantung sebagai organ yang memompa kebahagiaan ke seluruh tubuh. Ketika merasa tidak bahagia dan penuh duka serta derita, kita menumpuk penyakit jantung kita. Permasalahan di perut mengindikasikan adanya mengalaman hidup yang belum "dicerna" dengan baik. Gangguan di perut juga bisa terjadi karena ada pengalaman yang terlalu menyakitkan atau di luar kerangka berpikir kita. Gangguan pada usus besar berarti kita belum siap melepaskan.

Penjelasan tersebut mengingatkanku pada kisah Miyuki Inoe yang menulis buku Aku Terlahir 500 Gram dan Buta. Kisah nyata yang sangat menyentuh dan mengharu biru tapi juga meninggalkan luka karena ia dididik oleh seorang ibu yang keras, yang bersikeras mendidiknya seperti anak normal lainnya (yang tidak buta dan tidak lahir prematur) agar ia menjadi anak yang bisa berdiri sendiri saat ibunya sudah tidak ada. Tapi, didikan yang keras itu secara tidak sadar menimbulkan kebencian pada diri Miyuki Inoe. Kebencian pada ibunya itu menjelma menjadi sakit perut akut yang ia derita selama bertahun-tahun, sementara sekian banyak dokter yang ia datangi mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan perutnya.


Dalam bukunya, Regis Machdy menjelaskan bahwa siapa pun bisa depresi. Orang terkenal maupun orang biasa bisa saja depresi. Perempuan ataupun laki-laki bisa saja depresi. Orang dengan kepribadian introvert ataupun extrovert bisa saja depresi. Semua orang bisa depresi karena beberapa orang memiliki kerentanan tertentu seperti yang sudah ku bahas di atas dan beberapa orang memang super sensitif. Orang-orang yang super sensitif dinamakan dengan Highly Sensitive Person. Faktanya, sekitar 20% orang di dunia termasuk dalam kategori Highly Sensitive Person (HSP). Regis Machdy mengatakan bahwa sensitivitas yang dimaksud adalah aktivitas saraf yang lebih tinggi dari kebanyakan orang. Orang-orang dengan sensitibitas tinggi sangat peka terhadap stimulus atau rangsangan dari luar, baik yang bersifat fisik atau emosional. Regis menyontohkan dirinya dan pasangannya yang mudah pusing saat berkunjung ke mall yang penuh dengan barang-barang jualan, terutama toko pakaian dengan berbagai warna dan model. Mereka juga merasa lelah dengan cahaya yang sangat terang, musik yang keras, pengumuman diskon yang diumumkan dengan lantang, suara anak-anak yang berlari dan berteriak, juga suara orang tua yang memanggil anaknya. Mereka juga mudah menyerap emosi negatif dari orang-orang yang sedang bermasalah dan terjebak dalam energi negatif orang-orang tersebut.

Regis menuturkan bahwa kita bisa mendeteksi apakah kita seorang HSP atau bukan dengan menjawab pertanyaan yang disusun oleh Elaine N. Aron dan mengunjungi web resmi HSP hsperson.com yang dibuat untuk membantu para HSP memahami dirinya. Di web tersebut (katanya) juga terdapat tes yang membantu memastikan apa kamu seorang HSP atau bukan. Sejujurnya, aku belum membuka halaman web itu untuk mendeteksi aku ini HSP atau bukan.

Secara biologis, Regis Machdy menjelaskan bahwa depresi juga berkaitan dengan faktor genetik, struktur otak, hormon serotonin dan zat kimia pada otak, dan mikroba yang terdapat pada usus. Pembahasan terakhir adalah pembahasan yang cukup mind-blowing bagiku. Aku tahu bahwa beberapa orang maagnya bisa kumat kalau stressnya muncul tapi aku gak tahu kalau kesehatan mental akan begitu terkaitnya dengan peran mikroba yang terdapat pada sistem pencernaan. Ternyata, bakteri baik yang berada dalam sistem pencernaan merupakan pemasok 95% serotonin dalam tubuh!! Serotonin adalah hormon yang berkaitan dengan kebahagiaan. Bakteri-bakteri baik itu dikenal dengan nama probiotik. Kalian pasti gak asing dengan istilah itu, kan? Terutama kalian-kalian yang sering terpapar dengan iklan Yakult. Wkwkwk Karena itu, asupan makanan juga sangat penting bagi orang depresi. Selain menjaga kesehatan otak, kita juga perlu menjaga kesehatan sistem pencernaan yang sering disebut sebagai otak kedua. Pembahasan terkait hal ini membuktikan kalimat, "We are what we eat."

Hasil gambar untuk we are what we eat
123RF.com


Regis memaparkan bahwa sebuah studi terhadap 67 orang yang depresi menunjukkan bahwa orang yang mengubah pola makan melaporkan adanya perubahan mood yang semakin stabil dan berkurangnya gejala depresi. Fakta lain menunjukkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi junk food lebih rentan terhadap depresi. Maka sekarang kita musti pintar-pintar menahan diri dari godaan diskon McD dan KFC, ya.


Faktor eksternal pun memiliki andil dalam membuat seseorang menjadi depresi. Seperti orang-orang yang toxic (yang biasanya adalah orang keluarga atau orang terdekat kita), kehidupan modern yang sibuk dan penuh tuntutan, budaya yang berbeda-beda dari sebuah negara, alam yang berpotensi menimbulkan mood yang depresif (seperti Winter Blues atau Seasonal Affective Disorder (SAD)), ataupun faktor kehamilan. Makanya banyak yang bilang kalau orang hamil gak boleh stress. Selain berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin secara fisik, stress yang dialami oleh ibu hamil pun berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin secara mental.

Regis Machdy menuturkan pengalamannya sebagai penderita double depression selama bertahun-tahun. Ia sudah memiliki pemikiran untuk bunuh diri sejak umur 12 tahun dan telah melakukan konsultasi ke psikolog sebanyak 42 kali. Salah satu psikolognya yang juga mempelajari hipnoterapi, neuro-linguistic programming, taici, yoga, kinesiologi, art-therapy, dan terapi lainnya pernah membantunya untuk mendeteksi trauma sejak dia masih berada dalam kandungan. Mustahil 'kan rasanya mengingat hal yang terjadi dalam masa kandungan, kalau disuruh mengingat kejadian diumur 5 tahun aja rasanya samar-samar. Piskolog yang dipanggil Regis dengan sebutan Mbak Lita itu membimbing Regis untuk menggali ingatannya selama masa ia berada dalam kandungan. Hal yang sebenarnya bukan dipikirkan tapi dirasakan. Proses itu melalui serangkaian tahap relaksasi dan bimbingan yang mungkin bersifat hipnoterapi. Begitu mengingat usia kandungan 4 bulan, Regis merasakan penolakan oleh dunia dan juga ibunya. Ia menangis tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah sesi konselingnya berakhir, Regis pulang dan menanyakan hal itu pada ibunya yang awalnya tidak mau mengaku. Akhirnya ibunya bercerita bahwa ibunya tidak menyangka bahwa ia akan mengandung lagi saat itu (sebelumnya ia sudah memiliki empat anak), kondisi finansial yang sedang tidak baik dan stigma sosial yang diterima menjadikan ibunya cemas, khawatir, dan takut. Energi-energi tersebut secara tidak sadar terserap oleh janin yang dikandungnya dan menjadi akar dari depresi Regis yang dideritanya saat dia beranjak dewasa.

Setiap kali membaca buku tentang self-help atau buku-buku psikologis seperti ini, aku semakin merasa psikologi itu seperti ilmu magis. Yang sebenarnya sulit ditangkap oleh otak rasionalku yang terbatas jika aku gak menggali informasi lebih dalam. Tapi, saat aku menggali lebih dalam, aku malah gak mau berhenti karena aura magis yang dimiliki oleh ilmu psikologi ini semakin digali rasanya semakin memikat. Psikologi adalah salah satu cabang ilmu tertua yang pernah dipelajari oleh manusia. Ilmu ini sebenarnya sangat dekat dengan manusia tapi stigma yang terbentuk dalam masyarakat seringkali membuat ilmu ini terkesan seperti dongeng belaka yang rasanya tak masuk akal atau bahkan hanya mitos belaka. Orang-orang menganggap orang dengan gangguan jiwa itu berbahaya dan rumah sakit jiwa itu mengerikan.

Waktu aku mengikuti salah satu kelas psikologi, Dr. Jiemi Ardian mengatakan, "Mana yang lebih sering? Flu atau sedih?" Sebuah pertanyaan yang membuat aku dan seisi kelas tertegun. Karena memang sedekat itu psikologi dengan kita tapi seringkali diabaikan dan disangkal. Lebih sering sedih tapi yang lebih fokus ditangani adalah flu dan sakit fisik lainnya.


Aku harap akan ada lebih banyak lagi buku-buku seperti Loving The Wounded Soul yang beredar di masyarakat. Menurutku buku ini bukan untuk menakut-nakuti, bukan juga untuk self-diagnosed. Buku ini membantu orang-orang dengan depresi atau penyakit mental lain agar tidak merasa sendirian, agar mencari bantuan profesional jika dibutuhkan, agar terus maju menuju kesembuhan walau jalan yang ditempuh gak tahu seberapa jauh. Buku ini juga membantu orang-orang awan untuk gak lagi-lagi ngejudge orang dengan penyakit mental, buku ini membantu orang awam menyadari bahwa depresi dan penyakit mental lainnya itu nyata dan perlu ditangani seperti penyakit fisik lainnya.

Mungkin lain kali aku akan cerita juga tentang beberapa hal lain tentang penyakit mental yang sudah ku gali lebih dalam (dan aku juga sedang mempertimbangkan apakah aku perlu menuliskan cerita tentang sesi konsultasiku yang sudah beberapa kali aku singgung). Kalau kalian tertarik, kalian bisa menonton Youtubenya Dr. Jiemi Ardian, yang merupakan seorang psikiater (dia juga punya podcast di Sportify) yang membahas tentang seluk beluk mental illness dan kondisi mental lainnya. Bisa juga lihat-lihat postingan di Instagram dari Ibunda, Riliv, dan Pijar Psikologi yang dibuat oleh Regis Machdy. Oiya, Regis Machdy bersama dengan penyitas mental illness lain pun pernah mengisi acara Kick Andy sebagai pembicara. Kalau kalian punya banyak waktu luang karena work from home, bisa loh menonton videonya di sini.

Comments

  1. Thank you so much for the super detail review. as a writer, I deeply appreciate it.
    iseng ngetik judul buku sendiri di google, aku sampe ke blog ini.

    thank you so much!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you juga Kak Regis sudah menjabarkan mental illnes, terutama depresi, dengan bahasa yang mudah dipahami. Gak nyangka kalau review aku bisa sampai dibaca oleh penulisnya. :D

      Delete

Post a Comment

Popular Posts