Norwegian Wood dan Fenomena Bunuh Diri Di Jepang

Aku cukup lama mendengar novel karya Haruki Murakami, entah dari review Goodreads, dari blog orang, atau dari rekomendasi-rekomendasi di internet. Sebenarnya, aku gak begitu bisa tahan membaca buku bergaya sastra, terbukti dengan tidak tamatnya aku membaca buku Laskar pelangi yang fenomenal itu (walau aku bisa melahap habis buku Sirkusnya Andrea Hirata), tapi karena disuguhi sekian banyak review akhirnya aku penasaran juga dengan karya Murakami. Aku sempat bingung mau baca yang mana dulu, biasalah Pisces itu anaknya hobi galau tak berkesudahan. Berminggu-minggu aku ke toko buku hanya lihat-lihat dan baca sinopsis beberapa bukunya Murakami lalu berlalu dengan kegalauan yang rasanya gak habis-habis. Iya, segalau itu aku kalau beli buku apalagi waktu bokek. #eeh Tapi akhirnya dengan randomnya aku mengambil buku Norwegian Wood saat tempo hari ada bazar buku di JCC. Gak ada faktor khusus yang membuatku memilih judul itu diantara sekian judul bukunya Murakami, bahkan novel itu termasuk ke dalam novel yang cukup tebal, 400 halaman lebih. Tapi, setelah dibeli pun gak langsung aku baca sih. As always. Udah galaunya lama lalu dianggurin gitu aja begitu dibeli. Mei mah gitu anaknya. :'') Entah sejak kapan aku jadi orang yang mood-mood an kalau mau baca buku. Padahal dulu buku apa pun aku baca, bahkan seringkali habis dalam sekali duduk, mau baca buku sampai jam 2 pagi pun dijabanin. Ah, kadang aku kangen masa-masa di mana aku bisa berduaan aja dengan buku, tenggelam dalam imajinasi. Hmm sebwah kenikmatan hakiki.

Yak!! Balik lagi ke Norwegian Wood. Novel ini menjadi salah satu novel penutup akhir tahun yang cukup memuaskan hati. Ini pertama kalinya aku membaca novel dengan genre dark. Aku gak bisa bilang kalau aku suka genre model begini mengingat genrenya menurutku amat sangat dark (walau review di Goodreads bilang kalau Norwegian Wood ini adalah novel Murakami yang mudah dicerna) dan kadangkala bikin aku nelangsa, ngerasa down lalu sakit kepala waktu baca. Bagaimana tidak, keseluruhan ceritanya melukiskan tentang kegundahgulanaan dan jiwa kesepian dari sang tokoh utama, Watanabe. Orang-orang sekitarnya gak sedikit yang meninggal atau memilih kematian sebagai pembebasan diri dari konflik batin masing-masing. Seolah 'kematian' memang ditakdirkan mengelilingi Watanabe sepanjang hidupnya. Gloomy, kan? Iya. Tapi entah kenapa aku merasa novel ini menarik untuk terus dibaca hingga habis. Entah apa yang membuat novel ini begitu menarik. Barangkali salah satu faktornya adalah karena genre dan topiknya yang sedikit banyak membuatku penasaran dengan 'budaya bunuh diri' di Jepang yang katanya pernah mencapai angka 30.000 jiwa pertahun. 30.000 jiwa, saudara-saudara!! Itu jiwa manusia, dan mereka semua terbunuh, oleh diri mereka sendiri. Walau sampai tahun ini, angka tersebut sudah menurun menjadi sekitar 21.000 jiwa. Setelah membaca habis novel ini, aku merasa bahwa Jepang itu semakin menarik, menarik karena negeri ini mengandung berbagai macam kontradikisi. Di Jepang ada istilah 'Ikigai' yang artinya kurang lebih hal yang menjadi tujuan hidupmu setiap kali bangun pagi. Istilah itu kontradiksi sekali dengan 'bunuh diri' yang seolah bisa dikatakan sebagai budaya di Jepang, kan?

Balik lagi ke karya Murakami. Aku tahu kalau karya Murakami termasuk ke dalam Sastra Klasik Jepang, aku sudah expect kalau kalimatnya akan berat-berat gimana gitu atau gak familiar untuk dibaca. Tapi ekspektasiku meleset tuh. Gaya berceritanya sangatlah bisa diterima. Ditulis dari sudut pandang 'aku' yaitu Toru Watanabe si tokoh utama dalam novel ini. Aku cukup senang juga dengan gaya ceritanya yang seperti itu. Seperti membaca buku diary dan Watanabe menceritakan semua hal yang ia lalui dengan begitu rinci. Setiap kejadian, perasaan, dan apa yang ia pikirkan dituliskan semuanya secara detail (setting ceritanya sekitar akhir tahun 1960an sampai awal 1970an, btw). Oke bagian saat dia melakukan sex pun diceritakan secara rinci. Sangat rinci malah sampai aku kaget sendiri dan memberi predikat pada Haruki Murakami sebagai penulis yang sangat berani, apalagi novel ini pertama kali diterbitkan tahun 1987.

Awalnya, Watanabe bercerita tentang hari-harinya di asrama yang dipenuhi oleh orang-orang yang menurutnya sangat kacau, terutama teman sekamarnya si Kopasgat yang tak pernah absen senam pagi kecuali saat ia sakit dan amat sangat mencintai kebersihan. Sedikit-sedikit Watanabe menggiringku untuk mengintip masa lalunya, saat ia masih bersama-sama dengan sahabatnya, Kizuki. Watanabe, Kizuki dan pacarnya, Naoko, diceritakan memiliki dunia mereka sendiri, yang walaupun kecil tapi membuat mereka merasa nyaman dengan kehidupan mereka. Setidaknya begitulah pikir Watanabe. Sampai suatu malam Kizuki memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, setelah ia bermain biliar dengan Watanabe. Tidak ada pertengkaran, tidak ada tanda-tanda, tidak ada surat wasiat. Kizuki ditemukan sudah tak bernyawa di dalam mobilnya yang terparkir di garasi. Dunia kecil yang berisi 3 orang itu tiba-tiba kehilangan pilarnya dan membuat 2 orang yang ditinggalkannya merasakan kekosongan tak berujung.


Kizuki adalah salah satu pembuka cerita novel ini. Semua berawal dari hilangnya seorang sahabat dan kekasih. Kekosongan dan kehampaan begitu pekat mengelilingi hari-hari Watanabe dan Naoko. Mereka berdua berjuang dengan cara mereka masing-masing untuk tetap hidup. Reiko-san, salah satu terapis Naoko, bilang kalau ia seolah perlu memutar 'sekrup'nya dikala keadaan memporakporandakan jiwanya. Yah, aku rasa gak hanya Reiko, Watanabe, atau Naoko saja yang perlu memutar 'sekrup'. Aku dan kalian pun perlu memutar 'sekrup' dengan cara kita masing-masing agar kita bisa bertahan di dunia ini.

Diceritakan juga tentang Nagasawa-san, seorang lelaki muda yang punya idealisme tersendiri dalam menjalani hidup. Ia merasa bahwa semua hal dalam hidup tuh gak ada yang gak bisa dicapai, dengan catatan dia harus mau berusaha. Barangkali juga ia dianugrahi dengan kehidupan yang mapan dan otak yang encer sehingga segala sesuatu terlihat mudah baginya. Ia bisa lulus ujian negara dan menjadi diplomat dengan mudah, lalu ia bisa menguasai bahasa asing dengan mudah, ia bisa membeli makanan di hotel mewah dengan mudah. Yang gak ia pahami adalah gak semua orang bisa hidup dengan kemudahan semacam itu. Ada yang memilih untuk bekerja demi keluarganya alih-alih mempersiapkan diri menjadi diplomat dengan belajar Bahasa Spanyol. Nagasawa terus-terusan memandang usaha orang lain dari kacamatanya sendiri dan dia adalah tipe orang yang gak mau bersusah payah untuk menempatkan diri di posisi orang lain. Kalau ada orang yang miskin, maka dia akan bilang kalau orang itu kurang berusaha dengan caranya yang menyebalkan. Yah, di dunia ini banyak orang yang memiliki keegoisan seperti Nagasawa.

Hasil gambar untuk norwegian wood book indonesia
www.gramedia.com

Setelah membaca habis novel ini, aku banyak bertanya-tanya "kenapa orang Jepang banyak yang bunuh diri?" Aku banyak membaca-baca artikel yang memuat topik tentang bunuh diri di Jepang. Ada seorang karyawan yang bunuh diri karena terlalu banyak bekerja, ada yang bunuh diri karena tekanan sosial, bahkan anak kecil pun bunuh diri!! Aku baca dari Tirto kalau sebanyak 250 anak di Jepang, dari SD hingga SMA memilih untuk bunuh diri dalam kurun waktu 2016-2017. Aku jadi semakin bertanya-tanya, tingkat stres di Jepang tuh separah apa sih memangnya?


Tempo hari aku sempat menonton video dari Korea Reomit, ia menceritakan perbedaan pelajar di Indonesia dan di Korea. Di Korea dari SD sampai SMA tuh hari-harinya diisi dengan belajar di sekolah sampai sore lalu les sampai malam, kalau gak les ya belajar kelompok di ruang belajar yang disebut dokseosil. Jadi jarang banget main sama teman, sekalipun main sama teman itu main di dokseosil. Entah di Jepang merasakan tekanan belajar yang seperti itu atau bagaimana sampai-sampai banyak anak kecil dan remaja yang bunuh diri. Padahal kan masa-masa SD-SMA itu bisa dibilang masa-masa paling menyenangkan. Belom kenal yang namanya dosen killer, belom kenal yang namanya begadang-begadang bikin skripsi, belom kenal istilah 'welcome to the jungle' begitu masuk dunia kerja, belom kenal lembur-lembur ampe tengah malem, belom kenal juga yang namanya tagihan kartu kredit, kan. Makanya bingung aku tuh kalau dibilang SD-SMA tuh banyak yang bunuh diri. Hmm

Tempo hari juga dihari yang lain, aku sempat nongkrong di bar di daerah Senopati bareng temanku. Aku gak gitu suka sebenarnya kondisi bar yang remang-remang dan terutama aku gak bisa minum bir karena terlalu bersoda dan gak doyan wine juga, karena mahal. Wkwkwkwkwk Jadi selama temanku menenggak sebotol Jack Daniel dan arak cina yang aku lupa namanya apa, aku asik aja makan banana split sambil memperhatikan sekitar. Satu hal yang sekelibat mampir di dalam benakku bar itu adalah tempat orang minum-minum dan gak sedikit orang minum-minum untuk melepas stres, kan. Nah, bar itu seolah menyugesti orang untuk terus minum. Entah dari cahayanya yang remang-remang, entah suasananya, entah vibes nya, atau mungkin semua kombinasi di dalam bar itu mendukung orang-orang untuk terus minum-minum. Nah, barangkali negara yang punya budaya 'bunuh diri' pun seperti itu. Si A bunuh diri sebagai bentuk penyelesaian masalah, maka begitu ada masalah si B pun memilih untuk bunuh diri. Faktor lingkungannya atau vibes di sekitar orang tersebut bisa juga bikin dia bunuh diri kalau lagi ada masalah. Aku pernah baca kalau di Jepang tuh termasuk tabu untuk membicarakan masalah kejiwaan dengan orang lain, walau dengan keluarga pun termasuk tabu. Macam di Indonesia kalau ngomongin LGBT barangkali, ya (FYI, gak semua tempat di Indonesia itu tabu untuk ngomongin LGBT, sih). Jadi, orang-orang yang punya masalah kejiwaan gak bisa curhat, gak bisa ngeluarin unek-uneknya, gak nemu solusi, gak tau gimana caranya buat ngencengin 'sekrup' kehidupannya dia. Maka kalau pikirannya sudah kalut diliputi oleh masalah, yang ada di otaknya cuma masalah dan masalah dan masalah. Hal terakhir  yang terlintas kalau udah terlalu kalut ya bunuh diri.


Banyak orang yang terlihat baik-baik aja di luar tapi ternyata dalamnya rapuh. Di novel Norwegian Wood, diceritakan bahwa Naoko punya seorang kakak perempuan yang cukup cantik dan pintar, mandiri, dan tipe orang yang gak suka meminta bantuan pada orang lain, jadi setiap ada masalah dia kerjakan sendiri. Mama papanya pun percaya bahwa hdupnya akan baik-baik saja, tapi ternyata suatu hari ia ditemukan sudah tak bernyawa di kamarnya oleh adiknya sendiri. Cerita kakaknya Naoko itu mengingatkanku akan berita Anthony Bourdain, seorang chef yang dikenal sebagai sosok yang tangguh tapi ditemukan tewas bunuh diri di kamar hotelnya. Cerita dari novel Murakami dan berita dari chef terkenal Anthony Bourdain memberikan sebuah fakta kalau orang yang kelihatannya baik-baik aja belum tentu dalamnya baik-baik aja. Mungkin orang luar, maksudnya kita yang gak berhubungan dengan mereka akan menganggap mereka lemah dan lebay. "Udah terkenal bunuh diri, gak bersyukur amat", "ada masalah sedikit aja bunuh diri, lemah dasar." Mudah sekali diucapkan, cuma 1 kalimat dan gak sampai 5 menit kalimat itu bisa terlontar begitu aja. Tapi, kayak pepatah bilang "don't judge a book by it's cover", kita juga gak bisa lihat orang dari kulitnya aja, tanpa mau lihat tekanan seperti apa yang mereka hadapi. Bisa jadi kita malah jiper duluan kalau tahu masalahnya kayak apa, kan. Dan seperti aku bilang tadi, kalau kita sudah dikelilingi masalah dan vibes nya pun mendukung, maka yang terpikir adalah pelarian semacam itu.

Kalau boleh jujur, aku pun pernah punya pikiran untuk bunuh diri. Oke, anggaplah ini adalah sebuah pengakuan diakhir tahun. Pikiran semacam itu terlintas beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku merasa bahwa aku sudah berusaha keras tapi gak pernah dihargai, aku seolah dianggap gak ada oleh orang-orang di sekitarku. Jadi secara keseluruhan aku jadi merasa gak berguna untuk orang lain, kalau aku gak ada ya gak akan ada perubahan yang signifikan di hidup orang-orang sekitarku. Suatu malam sehabis nonton sama teman-temanku, aku duduk sendirian di halte bus memperhatikan mobil dan motor yang seliweran di jalan raya. Aku bertanya-tanya "apa rasanya kalau mati ditabrak mobil?" But, thanks God. Malam itu aku memutuskan untuk pulang ke kos dan melanjutkan hidup bukannya melemparkan diri ke jalan raya, membiarkan diriku tertabrak. Setelah bertahun-tahun terlewati, aku mulai berpikir "kenapa ya dulu kok bisa-bisanya aku berpikir untuk bunuh diri?" Kalau menilik lagi ke belakang, rasanya masalahku yang dulu itu adalah masalah kecil, it's not a big deal. Masalahnya adalah dulu itu aku seolah hidup untuk orang lain, jadi jika kerja kerasku gak dihargai maka aku kecewa. Setelah itu, aku sedikit-sedikit mengubah mindsetku. Aku mulai belajar untuk hidup seperti saat aku makan. Aku pilih menu yang aku mau, bayar dengan jerih payahku, lalu menikmatinya dengan caraku sendiri. Itu adalah solusi yang menurutku cukup brilian untuk diriku sendiri, itu adalah caraku memutar 'sekrup' untuk hidupku sendiri. Gak mudah memang, namanya berjuang untuk memperbaiki diri tuh gak pernah mudah, gais. Tapi apa pun perlu dilakukan agar kita tetap hidup, kan? Dan pertanyaan yang ku tanyakan dulu itu pun sudah terjawab, "apa rasanya kalau mati ditabrak mobil?" Aku udah pernah ngerasain gimana sengsaranya terjungkal di jalanan tertabrak motor dan bersyukur karena masih hidup, jadi pertanyaan seperti itu gak akan pernah aku pikirkan lagi.


Satu hal yang selama ini aku pahami, kita ini manusia, dan manusia hidup untuk terus berjuang dengan cara masing-masing. Entah kamu punya tujuan hidup atau engga, menurutku yang paling pertama yang harus kamu tanyakan ke dirimu sendiri adalah "kamu hidup untuk siapa?" Kalau aku sudah memutuskan bahwa yang paling utama, aku hidup untuk diriku sendiri. Maka aku memilih menu yang menurutku bisa membuatku kenyang akan pelajaran hidup. Kalau aku saat ini punya pekerjaan yang penuh dengan deadline dan lembur tapi aku bisa dapat banyak pelajaran, maka aku akan jabanin. Kalau kamu mau memilih menu yang enak-enak aja ya silahkan. Tapi itu dulu yang pertama, kamu harus tahu dulu kamu mau hidup untuk siapa sebelum kamu memilih menu.

Ada beberapa kalimat yang aku suka dari novel Norwegian Wood, salah satunya diucapkan oleh Midori, seorang anak perempuan yang dicap sebagai anak nakal oleh beberapa orang di Goodreads. Barangkali alasannya adalah karena dia hobi sekali ngomong jorok. Tapi, Midori termasuk salah satu karakter favoritku di novel itu. Beberapa kalimat yang aku sukai adalah "kau anggap saja kehidupan ini sebagai kaleng biskuit. Di dalam kaleng biskuit ada bermacam-macam biskuit, ada yang kamu suka ada yang kamu tidak suka. Dan kalau terus memakan yang kamu suka, maka yang tersisa hanya yang tidak kamu suka. Setiap mengalami sesuatu yang menyedihkan aku selalu berpikir seperti itu. Kalau yang ini sudah ku lewati, nanti akan datang yang menyenangkan, begitu. Karena itu hidup ini seperti kaleng biskuit." Seringkali orang bilang kalau hidup itu ada up dan ada down, perumpamaan 'kaleng biskuit' adalah bentuk lain dari istilah up and down itu. Tapi, sayangnya seringkali kita lupa akan fakta tersebut. Jadi, kalau ada masalah kita bilang ke diri kita yuk, "namanya juga hidup" lalu kita putar lagi 'sekerup' kita agar kita tetap kuat menjalani hidup yang sebenarnya gak melulu pahit ini.

P.S: Untuk review buku lainnya bisa kalian baca di sini.

Comments

  1. Kakak tau, nggak? Aku nangis lho baca ini. Hehe. Jadi aku mau cerita sedikit ya, Kak. Aku tahu Haruki Murakami waktu pernah kuliah di sastra Jepang. Karya dia memang sering jadi bahan skripsi karena memang itu merupakan karya sastra. Aku ingat adikku pernah menyelesaikan novel Murakami berbahasa Inggris berjudul "Wild Sheep Chase" yang hebatnya bisa dia selesaikan dalam waktu sepekan dengan segala keabstrakannya. Setelah sekitar dua tahun tenggelam dalam dunia wattpad yang penuh dengan kisah ringan (karena yang aku cari cuma kisah ringan), jadi aku merasa sudah saatnya buat mulai baca cerpen kompas dan novel terjemahan lagi kayak waku aku SD. Aku udah maju mundur gitu, Kak, buat beli Norwegian Woods but thanks to you, aku jadi mau beli deh. Makasih, Kak. Makasih resensinya yang jelas dan persuasif. Aku menantikan tulisan kakak yang lain di kemudian hari. Salam, Cherry.

    Oh ya, apa aku boleh minta surel atau akun medsos kakak mungkin buat berbagi kisah tentang buku yang Kakak baca? Aku akan sangat senang kalau bisa bertukar pikiran dengan Kakak. Cheers~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah terima kasih ya sudah membaca sampai habis resensiku yang super panjang ini karena digabung dengan curcol segala. Hehe..

      Boleh.. boleh.. aku ada Instagram @meiliana_kan dan kalau kamu punya akun di Goodreads juga bisa add aku sebagai teman, nama akunku Meiliana Kan.

      Senang deh ada yang ngajak ngobrol tentang buku. Salam kenal, ya 😃😃

      Delete

Post a Comment

Popular Posts