Ubur Ubur Lembur
Aku bukan termasuk fans nya Raditya Dika. Pernah sekali baca bukunya Manusia Setengah Salmon, pinjam punya sepupuku, yang aku ingat adalah aku ketawa ngakak gak berhenti dari lembar pertama sampai lembar terakhir. Habis itu udah, aku sama sekali lupa isi bukunya apa. Sampai beberapa waktu lalu temanku beli buku Ubur Ubur Lembur. Aku pinjam lah begitu dia selesai baca. Berhari-hari, berminggu-minggu, sampai berbulan-bulan berlalu buku yang ku pinjam itu teronggok begitu aja di atas meja. Yah, gitu aku mah kalo baca sesuai mood. Sampai akhirnya aku putuskan untuk membuka lembar pertama buku ini sesaat setelah aku menamatkan buku Haruki Murakami. Aku merasa butuh bacaan ringan karena kepalaku merasa cukup pening setelah melahap habis buku bergenre dark. Ahahahaha
bukukita.com
Beberapa bab pertama berlalu begitu aja. Gak waw gimana tapi cukup bikin cekikikan lah. Tapi rasa-rasanya aku jadi kayak baca diary nya Raditya Dika, lalu dia juga ceritain semua hal secara rinci. Waktu lensa kacamatanya jatuh di Dufan contohnya, atau waktu dia keki sendiri ngeliat pacar dari mantannya makan di restoran yang sama kayak dia. Itu pasti awkward parah sih apalagi ujung-ujungnya dia ke gap di WC, berusaha "ngusir" cowok yang lebih cakep itu dengan berpura-pura bilang flush nya mati. Wkwkwkwkwk
Makin ke belakang aku ketawa makin kencang. Ketawa parah waktu dia ceritain mau dipalak waktu SMA, dipalaknya sama anak SMA 6, SMA yang jadi musuh SMA nya dulu karena sering banget tawuran. Tapi alih-alih dipalak, dia malah ngomongin Slank sama si tukang palak wanna be itu. Aku juga baru tau kalo ternyata ada yang namanya sindrom 'gendut tanpa sadar'. Hmm jangan-jangan selama ini aku juga kena sindrom itu hmm
Tapi selain cerita-cerita yang bikin ketawa-ketawa geli sampai ketawa-ketawa ngakak, ada juga beberapa pembelajaran hidup yang dia bagikan. Misalnya pada bab Percakapan Dengan Seorang Artis dan Percakapan Dengan Seorang Anak Yang Ingin Jadi Artis. Bang Radit menceritakan bahwa banyak orang mengira jadi terkenal kayak artis tuh enak aja, padahal jadi artis tuh harus siap fisik dan mental. Siap fisik terutama untuk shooting sana sini atau bahkan sampai pagi. Siap mental karena orang-orang pada berasumsi, walau udah dikasih klarifikasi pun masih aja pada senang berspekulasi sendiri, kan.
Raditya Dika juga cerita tentang gimana dia bisa jadi sekarang ini. Dia cerita kalau dulu dia belum tau mau jadi apa. Goalnya lulus SMA dengan nilai bagus lalu kuliah di jurusan ekonomi lalu masuk kerja yang monoton, karena awalnya dia pikir kemonotonan itu adalah sesuatu yang menjanjikan. Udah tau gitu besok mau ngapain, karena kan rutinitasnya sama seperti yang dikerjakan hari ini. Tapi lama-lama dia bosan dan sedih terutama waktu dia disuruh-suruh beli payung tanpa alasan oleh seniornya di kantor.
Singkat cerita, dia gak mau tuh kayak gitu terus, katanya dia mau punya tulang belakang. Lucu juga sih menurutku perumpamaannya mau punya tulang belakang wkwkwk. Tapi, usahanya setelah itu patut diacungi jempol. Dia mengaku mengumpulkan dana cadangan sebesar 3 bulan gaji lalu terjun payung tanpa parasut ke dunia menulis. Walaupun teman-temannya bilang kalau jadi penulis tuh hidupnya gak jelas, tapi dia tetap jabanin. Dan sampai sekarang dia terus berkarya, bercerita dengan berbagai format. Yang mau dia bagikan dalam buku ini membuat mataku terbuka lagi sedikit lebih lebar. Aku jadi mulai merasa gak apa-apa kalau sekarang gak tau apa yang mau aku lakuin. Iya, aku punya cita-cita untuk pensiun kerja kantoran sekitar umur 30 tahun, tapi belum tahu abis itu mau ngapain. Mungkin gak apa-apa kalau belum tau mau ngapain, sambil dicari pelan-pelan apa yang aku suka. Macam ceritanya temannya Bang Radit si Kathu yang hidup dari apa yang dia suka. Aku pun mau mencari sesuatu yang benar-benar aku suka. Mungkin pertanyaan yang Bang Radit ajukan pada seorang anak kecil yang kepingin jadi artis bisa juga aku tanyakan pada diriku sendiri. "Passion kamu apa? Apa yang kamu suka banget lakuin sampai-sampai kamu rela ngelakuin itu terus sepanjang hidupmu?" PR untuk tahun depan, nih. Hmm
Raditya Dika juga cerita tentang gimana dia bisa jadi sekarang ini. Dia cerita kalau dulu dia belum tau mau jadi apa. Goalnya lulus SMA dengan nilai bagus lalu kuliah di jurusan ekonomi lalu masuk kerja yang monoton, karena awalnya dia pikir kemonotonan itu adalah sesuatu yang menjanjikan. Udah tau gitu besok mau ngapain, karena kan rutinitasnya sama seperti yang dikerjakan hari ini. Tapi lama-lama dia bosan dan sedih terutama waktu dia disuruh-suruh beli payung tanpa alasan oleh seniornya di kantor.
"Gue mulai melihat orang yang bekerja kantoran tapi gak sesuai dengan minat utu seperti seekor ubur ubur lembur. Lemah, lunglau, hanya hidup untuk mengikuti arus. Lembur sampai malam, tapi gak bahagia. Gak menemukan sesuatu yang membuat hidup mereka punya arti."Hmm tersentil lah aku dengan kalimatnya yang satu itu. Sebuah pengakuan lagi, kalau deadline sudah berlalu rasanya kerja ya fine-fine aja, aku ngerasa aku berjuang dan bukan cuma aku sendiri yang pulang kerja sampai malam. Tapi lain cerita kalau waktu deadline datang keroyokan. Tiap hari seolah harus mengumpulkan sisa-sisa semangat yang entah menguap kemana untuk buka mata dan bersiap ke kantor, kembali berjibaku dengan seabrek laporan yang harus dikerjakan. Sentilan betul kalimatnya Bang Radit yang satu itu.
Singkat cerita, dia gak mau tuh kayak gitu terus, katanya dia mau punya tulang belakang. Lucu juga sih menurutku perumpamaannya mau punya tulang belakang wkwkwk. Tapi, usahanya setelah itu patut diacungi jempol. Dia mengaku mengumpulkan dana cadangan sebesar 3 bulan gaji lalu terjun payung tanpa parasut ke dunia menulis. Walaupun teman-temannya bilang kalau jadi penulis tuh hidupnya gak jelas, tapi dia tetap jabanin. Dan sampai sekarang dia terus berkarya, bercerita dengan berbagai format. Yang mau dia bagikan dalam buku ini membuat mataku terbuka lagi sedikit lebih lebar. Aku jadi mulai merasa gak apa-apa kalau sekarang gak tau apa yang mau aku lakuin. Iya, aku punya cita-cita untuk pensiun kerja kantoran sekitar umur 30 tahun, tapi belum tahu abis itu mau ngapain. Mungkin gak apa-apa kalau belum tau mau ngapain, sambil dicari pelan-pelan apa yang aku suka. Macam ceritanya temannya Bang Radit si Kathu yang hidup dari apa yang dia suka. Aku pun mau mencari sesuatu yang benar-benar aku suka. Mungkin pertanyaan yang Bang Radit ajukan pada seorang anak kecil yang kepingin jadi artis bisa juga aku tanyakan pada diriku sendiri. "Passion kamu apa? Apa yang kamu suka banget lakuin sampai-sampai kamu rela ngelakuin itu terus sepanjang hidupmu?" PR untuk tahun depan, nih. Hmm
Lalu, novel Ubur-Ubur Lembur ini sekaligus menjadi novel penutup 2018. Reading challenge ku untuk tahun 2018 adalah 36 buku, apa daya kalau aku cuma bisa melahap seperempatnya. Hmm Aku mencanangkan 20 buku untuk tahun depan, semoga aku bisa baca buku banyak lagi tanpa terlalu tergantung mood, ya.
P.S: Untuk review buku lainnya bisa kalian baca di sini.
Comments
Post a Comment