Perahu Kertas

Entah apa persisnya yang mendorongku mencari judul buku ini di Bookmate, buku yang sudah dipublikasikan dari tahun 2009 tapi baru ku lahap habis 9 tahun kemudian. FYI, aku juga belum pernah baca bukunya Dee Lestari sebelumnya. Ahahahaha Tapi aku bisa bilang kalau setiap kata dalam buku ini punya efek samping seperti drug. Nagih. Bikin aku gak mau berhenti baca. Entah ramuan apa yang diracik oleh Dee Lestari sampai cerita dari Duo Agen Neptunus, Kugy dan Keenan, bikin aku terus-terusan kepingin ngikutin seluruh hari-hari mereka. Mungkin secara keseluruhan, cerita mereka bisa dibilang klise. Tentang dua anak muda yang saling memendam rasa selama bertahun-tahun sejak pertemuan kecil mereka. Tapi dalam cerita klise ini, tersimpan mimpi-mimpi yang gak pernah hilang walau terbentur dengan realita yang sedemikian rupa.

Sejujurnya, aku jarang sekali bisa menikmati cerita cinta-cintaan, gak jarang aku bersikap skeptis dengan adegan-adegan jatuh cinta dan patah hati. Tapi kali ini aku harus menyerah karena nyatanya hatiku merengek untuk ikut merasakan saat-saat senang, antusias, sedih, dan terharu yang disuguhkan oleh buku ini. Paket lengkap ya kalau dipikir-pikir. Buku ini seolah menunjukkan isi hati dari masing-masing tokoh di dalamnya, hati yang bersuara lewat kata. Aku terus-terusan dibuat jatuh hati dan patah hati. Gak melulu terkait dengan masalah cinta anak muda sih untungnya. Justru benang merah dalam buku ini adalah kecintaan masing-masing tokohnya dengan mimpi mereka dan kebiasaan aneh Kugy yang menganggap dirinya sebagai Agen Neptunus yang harus melaporkan segala sesuatu yang ia lalui ke markas besar di lautan sana lewat perahu kertas.


Hasil gambar untuk perahu kertas buku

Kugy yang sedari kecil bermimpi untuk menjadi Juru Dongeng berpikir bahwa dia harus menjadi 'orang lain' dulu, menulis hal-hal lain yang lebih bisa diterima orang-orang sekitarnya dari pada sekadar menulis dongeng yang katanya cuma diperuntukan bagi anak kecil. Padahal Hans Christian Andersen, Grimm Bersaudara, dan Oscar Wilde pun penulis dongeng dan mereka adalah orang-orang dewasa. Tapi, orang-orang di sekitarnya malah menertawakan profesi sebagai Juru Dongeng.

Ada pula Keenan yang berusaha mengumpulkan kembali mimpinya yang selalu tercerai berai, terutama karena ayahnya yang amat sangat gak setuju kalau Keenan menggantungkan hidupnya di atas kanvas. Padahal anak itu memang terlahir dengan jiwa seni. Dan aku bilang Dee Lestari benar-benar piawai menggambarkan bagaimana lukisan Keenan 'terlihat' begitu luar biasa dan menyentuh hati. Jadi begitu ada orang yang ceritanya sedang melihat lukisan Keenan, aku pun seolah berada di samping orang tersebut, melihat lukisan yang sama. Dulu, aku pernah baca igs nya Windy Ariestanty, seorang editor dan traveler, dia pernah bilang kalau tulisan yang bagus bukanlah tulisan yang membuat kita ingin mengikuti alur ceritanya tapi tulisan yang membawa kita ikut bertualang dalam ceritanya, seolah-olah kita melihat langsung tokohnya ngapain aja atau kita ikut bertualang bersama mereka. Dan Dee Lestari sungguh punya kemampuan menulis yang seperti itu.

Diceritakan juga .. salah, kayaknya 'diceritakan' bukanlah kata yang tepat. Rasa cinta Luhde dan Remi pun dibagikan ke para pembaca dengan cara yang begitu halus. Aku benar-benar ikut terharu begitu mereka menemukan tempat untuk menjangkarkan hati mereka, lalu dilain waktu aku juga ikutan patah hati begitu mereka memutuskan untuk merelakan orang yang mereka cintai.

Kan! Kan!! Ceritanya gak aku banget sebenernya, kan. Tapi apa mau dikata kalau ternyata semua tokoh dalam buku ini seolah mewakilkan ku untuk merasakan perasaan yang selama ini belum pernah ku rasakan. Hmm agak njelimet ya kalimatnya, tapi you know what I mean lah, ya. Ahahahaha

Yang menarik lagi, Dee juga mengangkat sedikit kisah dari anak-anak menengah ke bawah yang mau sekolah tapi terkendala biaya. Lagi-lagi, ini adalah potret sesungguhnya dari 'mimpi yang terbentur realita'. Terbentuklah Sakola Alit dan Kugy menjadi gurunya sementara Keenan menjadi guru tamu yang sesekali hadir merubah suasana kelas di bawah pohon mereka menjadi semakin bersemangat. Sebentar saja cerita mereka hadir, tapi memberikan rasa yang kuat akan perjuangan menggapai sesuatu yang kita bilang sebagai mimpi sederhana. Sekolah.

Konon katanya, cerita mereka-mereka ini sempat mati suri selama 11 tahun, seolah kisah mereka butuh waktu sekian lama untuk menyeruak hadir menyentuh hati para pembaca. Tapi, walaupun novel ini akhirnya bisa mengombang-ambing hatiku dan membuat otak realistisku duduk manis tanpa komentar, tetap saja timbul pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Seperti ke mana Wanda? Ah, tapi Wanda itu adalah karakter yang paling nyebelin menurutku. Jadi mari berasumsi saja kalu Wanda udah balik lagi ke luar negeri atau apa lah. Sebel aku tuh sama dia, walau sebenernya tanpa kehadirannya yang nyebelin ya ceritanya gak akan lengkap juga, sih. Lalu pertanyaan lainnya, bagaimana proses proyeknya K&K, proyek besar Duo Agen Neptunus? Penasaran aku tuh gimana jadinya kalau kolaborasi mereka benar-benar muncul hasil akhirnya dan dipertontonkan ke publik.

Hmm hmmm tapi sudahlah, dengan cerita yang cukup panjang-bukan, panjang banget malah, dari jaman Kugy dan Keenan baru masuk kuliah sampai kerja lho itu-aku sudah cukup puas. Ceritanya ringan tapi berbobot dengan efek samping seperti drug karena berisi tentang perjalanan anak-anak muda yang percaya kalau mimpi mereka gak akan pernah bisa dibuang-sekeras apa pun realita menentang, seberapa aneh reaksi orang-orang terhadap mereka-akan selalu ada cara bagi mimpi-mimpi mereka untuk tampil seutuhnya. Lalu, setelah sampai pada kalimat terakhir dari novel ini, aku mulai sadar bahwa kita juga sama seperti Kugy dan Keenan. Masing-masing dari kita pernah punya mimpi yang benar-benar kita anggap sebagai "oh, ini jalan hidupku" yang ironisnya sering kita tinggalkan begitu kita mulai menapaki realita kehidupan. Tapi aku percaya kalau mimpi kita tetap di sana, bertahan di relung hati paling dalam, menunggu untuk direalisasikan.

Comments

Popular Posts