I Decided To Live As Myself - Hidup Apa Adanya [BOOK REVIEW]

“Aku harus bisa masuk ke Universitas A karena teman-temanku ingin masuk ke kampus itu.”

“Aku harus bisa diterima di perusahaan B karena teman-teman akan menilaiku sebagai seorang yang sukses.”

“Aku ingin mengubah penampilan seperti dia yang dikagumi banyak lelaki.”

“Aku ingin membeli barang bermerek agar orang-orang menilaiku sebagai orang kaya.”

---------------------------------------------------------------------

Beberapa penggal kalimat yang menjadi sinopsis dari buku ini sukses bikin aku kepingin banget baca buku ini. Iya, akhir-akhir ini aku lagi suka baca buku dengan kategori self-acceptance atau self-improvement, terutama semenjak aku baca buku I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki. Aku lihat buku ini pertama kali di mana, ya? Aku lupa juga sebenarnya, yang aku ingat sebelum aku kepincut dengan sinopsisnya, aku kepincut duluan dengan judul dan covernya. "Hidup Apa Adanya". Santai sekali kan judulnya? Lalu, covernya pun bergambar seorang perempuan yang memang sedang bersantai. Ratingnya di Goodreads pun termasuk bagus, 4,11. Akhirnya, setelah sekian lama masuk wishlist aku beli juga buku ini waktu kebetulan aku mau beli buku untuk belajar Bahasa Korea juga.



Sejak membaca prolog, aku sudah memiliki ekspektasi tinggi pada buku ini. Penulisnya, Kim Suhyun, menuliskan apa yang ia rasakan selama ia beranjak dewasa.

Aku pernah merasa kalau diriku ini begitu buruk dan lemah.

Usia tanggung, kemampuan tanggung, dan pengalaman kerjaku pun tanggung.

Aku merasa tidak memiliki apa-apa dengan cukup baik.

Aku yakin di antara kalian yang saat ini membaca tulisanku pun pernah merasa begitu. Aku pun merasa begitu. Masih merasa begitu, tepatnya. Dibanding dengan teman-temanku yang lain, aku merasa bahwa diriku ini amat sangat biasa-biasa saja. Hidup biasa saja, kerja biasa saja, melakukan hal-hal yang aku sukai pun sekadarnya saja. Aku sampai bertanya-tanya, "apakah aku ini sebenarnya punya ambisi dalam hidup?" Jawabannya: tidak ada. Iya, aku mengakui bahwa aku tidak punya ambisi khusus dalam hidup. Aku suka merencanakan banyak hal tapi karena tidak ada ambisi jadi banyak rencanaku yang tidak tercapai. Tapi, disatu sisi juga saat aku melirik orang lain, aku merasa nelangsa lagi karena hidupku biasa-biasa saja. Aneh, kan?

Kim Suhyun bilang bahwa goal setelah membaca buku ini adalah:

* Tidak merasa dengki terhadap diriku yang biasa-biasa saja

* Agar dapat hidup apa adanya, tanpa memikirkan pandangan orang lain

Nampak seperti buku yang akan menjawab keresahanku, bukan?

Buku ini dikemas dalam serangkaian to do list yang aku rasa ditulis berdasarkan pengalaman dan idealisme penulis sendiri. Ada 3 bagian besar dalam buku ini, yaitu To Do List: Agar bisa hidup dengan menghormati diri sendiri, To Do List: Agar bisa hidup sebagai diriku sendiri, dan To Do List: Agar tidak tenggelam dalam rasa cemas. Dari 3 bagian besar itu dibreakdown lagi menjadi serangkaian to do list yang mendukung to do list utama. Intinya, Kim Suhyun berusaha membuat setiap hal yang ia tuliskan menjadi sebuah penjelasan yang serinci mungkin. Di setiap babnya juga disisipkan ilustrasi-ilustrasi yang cukup menarik menurutku. Buat kalian yang sebenarnya gak suka baca buku, pasti terhibur juga membaca buku ini.

FYI, buku ini cukup terkenal di Korea Selatan karena kabarnya Jungkook BTS membaca buku ini. Iya, euforia BTS tentu sahaja sampai ke Indonesia, kan? Di satu sisi bagus juga sih karena kalau biasnya baca buku apa kan fansnya jadi berbondong-bondong baca buku yang dibaca biasnya. Nampaknya, BTS secara gak langsung meningkatkan minat membaca orang-orang walaupun aslinya orang-orang itu gak suka baca. XD XD Ada satu temanku yang menyuruhku baca buku Map The Soul nya Carl Jung yang ditulis oleh Murray Stein dan menuliskan reviewnya karena tema dari beberapa album BTS diambil dari buku Bapak Psikologi tersebut. Menarik sih, tapi fakta bahwa buku itu memberi andil dalam pembuatan albumnya BTS gak bikin aku serta merta baca buku berat itu. Aku perlu meditasi dulu nampaknya supaya bisa memahami apa yang ditulis oleh Carl Jung yang membahas analytical psychology. Btw, kok jadi ngomongin BTS, ya? Balik lagi ke bukunya, ah.

Hmm tadi aku bilang kalau buku ini ditulis berdasarkan dengan pengalaman dan idealisme penulisnya sendiri, kan? Semakin banyak aku membaca isi buku ini, semakin aku menurunkan ekspektasiku. Hmm bukan karena bukunya jelek atau apa, hanya saja apa yang dituangkan oleh penulis ada yang membuatku mengangguk setuju, ada juga yang membuatku mengernyitkan kening dan mencoba memahami sudut pandang penulis dalam memandang kehidupan. Tapi, yah setiap orang kan berhak punya pemikiran dan idealisme masing-masing yang gak perlu disetujui oleh orang lain, kan?

Ini adalah salah satu hal yang menurutku menarik juga. Karena ada beberapa hal yang tidak sepaham, aku jadi menggali diriku lebih dalam juga, "Kalau kamu gak setuju dengan perkataan Kim Suhyun, menurutmu memangnya bagaimana, Mei?" begitulah kurang lebih pertanyaan yang aku tanyakan pada diriku,

"Setiap pribadi membutuhkan pengetahuan tentang bagaimana berkeluh kesah saat menemukan dirinya yang kelelahan. Juga bagaimana cara untuk berhenti sejenak jika sudah tidak tahu bagaimana cara bertahan lagi. Akui saja.. bahwa kamu memang sedang kelelahan."

Kalimat itu adalah salah satu kalimat yang membuatku mengangguk setuju. Dahulu kala, aku merasa kalau kata "lelah" itu berkonotasi negatif dan mengeluh itu adalah perilaku yang gak terpuji (kayak di buku PPKN ya bahasanya XD XD) tapi yah memang begitulah yang aku pikirkan. Dulu. Maka, aku terus-terusan merasa ada aja kurangnya dari diriku. Sebagaimana aku menilai bahwa diriku sangat biasa-biasa saja dan gak ada hal yang bisa aku banggakan pada diriku. Jadi, aku merasa kalau aku tidak boleh merasa lelah disaat aku masih biasa-biasa saja. Padahal, kalau lelah yaudah bilang saja lelah. Istirahat. Susah banget rasanya nyuruh diri sendiri untuk istirahat. Lagipula, dengan beristirahat kan aku jadi bisa berpikir lebih jernih dan melihat dengan lebih dekat apa-apa saja yang sebenarnya sudah aku lakukan. Merasa lelah dan beristirahat itu bukan dosa, kan?

"Tidak ada jawaban sempurna untuk hidup ini. Tapi, jika kamu berani bertanggung jawab atas segala keputusan yang dibuat maka keputusanmu adalah benar."

Kalau kalimat itu adalah kalimat yang aku setujui sekaligus tidak aku setujui. Benar kalau dalam hidup itu gak ada yang namanya jawaban yang sempurna atas segala tindakan yang kita buat. Tapi, bukan serta merta keputusan kita pasti selalu benar hanya karena kita paham dan mau bertanggung jawab atas keputusan yang kita buat. Untukku pribadi, kalimat terakhirnya itu agak sulit untuk dieksekusi. Terlebih lagi aku anaknya gak enakan dan mudah sekali merasa bersalah. Dalam mengambil keputusan, biasanya aku perlu menimbang0nimbang lama sekali agar aku tahu kalau keputusan yang aku buat gak akan merugikan siapa-siapa. Walau sudah begitu pun tetap saja rasanya sulit. Dan mungkin setiap orang akan berbeda-beda pemikirannya tergantung kasus mereka masing-masing, ya.

Oh, ada satu hal yang menarik juga yaitu Rumus Menghitung Besaran Luka. Apaan, tuh? Sadar atau engga, kadangkala kalau sedang kena masalah kita selalu merasa bahwa masalah kita yang paling besar jika dibandingkan dengan orang lain. Lalu, jika setiap dari kita berpikir seperti itu kita akan berkata terus menerus, "lukaku lebih besar" dan terus menerus membandingkan luka kita dengan luka orang lain. Seolah kita sedang berada dalam perlombaan orang paling malang sedunia. Pembahasan tentang menghitung besaran luka ini menurutku adalah sentilan halus untuk kita setiap kali kita kena masalah.

Jadi, kalau ada masalah musti gimana? Musti bersyukur gitu kalau ternyata ada orang lain yang lukanya lebih besar? Engga. Bersyukur dengan cara seperti itu pun adalah hal yang akan aku tolak mentah-mentah. Jadi, baiknya gimana? Berhenti membandingkan. Setiap orang pasti ada aja masalahnya, kan? Tapi, saat kita kena masalah coba deh buat rem untuk diri kita agar gak melirik masalah orang lain untuk membandingkan masalah siapa yang paling pelik. Masalahku ya masalahku, beda dengan masalahmu. Aku ya aku, beda dengan kamu. Maka, cara kita menghadapi masalah pun pasti berbeda, kan. Jadi, menurutku gak relevan juga kalau kita mengukur masalah orang berdasarkan dengan secuil hal yang kita lihat. Fokus aja pada masalah kita yang terpampang nyata di depan kita. Sebenarnya, ini adalah hal yang juga sulit untuk aku lakukan. Mungkin karena kebiasaan membandingkan setiap hal sudah tertanam sejak kecil dan menjadi budaya yang mendarah daging atau gimana. Maka, aku memasang rem untuk diriku sendiri saat aku terkena masalah atau saat aku mendengarkan orang lain yang sedang terkena masalah.

Tahu gak apa perkataan yang paling aku benci kalau aku sedang cerita? "Aku juga begitu, kok", "kamu aja begitu, apalagi aku". Mungkin niatnya baik, ya. Supaya aku gak terlalu larut dalam masalahku karena orang lain pun punya masalah yang serupa. Tapi, kalau aku dikasih respon begitu malah akan membuatku merasa tidak boleh mengeluh dan tidak boleh lelah, hal ini berkaitan dengan hal yang tadi sudah ku jelaskan. Kalau aku ada masalah, mau mengeluh mau menangis mau marah, yaudah mengeluh aja menangis aja marah aja. Setelah semua hal aku keluarkan tanpa residu, baru aku bisa tenang mencari solusi. Maka, saat aku mendengarkan cerita orang lain pun aku gak akan melontarkan kalimat-kalimat yang aku benci itu. Itu kalau aku. Idealismeku begitu. Gak tahu kan kalau orang lain gimana..

Hmm jadi menurutku buku ini gimana secara keseluruhan? Secara keseluruhan aku berikan rating 3. Bukunya sebenarnya cukup menarik untuk dibaca dan gaya penuturannya pun cukup mudah dipahami, tapi selain karena gak semua hal aku setujui ada juga hal-hal yang dituturkan secara keras. Tapi, aku jadi berasumsi bahwa Kim Suhyun adalah orang yang tegas dan tidak mudah terombang-ambing oleh pendapat orang lain.

Tapi, ada hal yang membuatku kesal. Terjemahannya menurutku kurang bagus. Ada banyak sekali bahasa slang dan kata yang gak baku yang menurutku kurang relevan jika digunakan untuk buku terjemahan. Misalnya saja kata "tidak" ditulisnya "nggak". Lalu, ada kata "mantul" memang di Korea Selatan ada istilah "mantul" juga? Lalu ada kalimat-kalimat yang gak begitu enak dibaca, seperti, "aku tuh, bukan hidup demi dapat pengertian dari orang lain", yang aku rasa bisa diterjemahkan dengan kalimat yang lebih baik lagi. Aku memang bukan ahli dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi setelah sekian banyak membaca buku terjemahan, aku cukup menyayangkan dnegan terjemahan yang digunakan untuk buku ini. Terutama karena aku pikir kalau diterjemahkan dengan lebih baik lagi, maka kalimat-kalimat yang ada dalam buku ini akan lebih ngena lagi ke pembaca. Menurutku sih begitu.. Oh, ada satu lagi yang bikin aku kesal! Gak ada pembatas bukunya. Hiks..

Tenang aja, masih ada poin menarik lain di buku ini, kok. Di buku ini banyak ilustrasinya (yang tadi sudah ku singgung) dan di bagian belakang ada beberapa halaman yang memuat komentar-komentar dari orang lain, mereka ingin hidup seperti apa setelah mereka selesai membaca buku ini.

Aku mau hidup dengan berbeda. Aku mau menjalani hidup denganbersinar dan juga berbeda dengan yang lainnya. - by Jiwon47

Aku akan hidup dengan sungguh-sungguh. - by Yeoseon

Aku akan terus hidup dengan mencintai diriku sendiri. Selain 'aku', tidak ada yang bisa menggantikanku. - by Namubyulbyul

Aku memutuskan untuk hidup sebagai aku yang terus belajar dan berkembang. - by Won Dong Joo

Aku memutuskan untuk tetap menjadi anak kecil yang nggak pernah jadi dewasa. Memiliki hati yang tidak menua dan terus putih bersinar. - by Kim Na Yon

Membaca komentar-komentar yang seperti itu, membuatku menyadari bahwa buku ini sudah menyentuh banyak sekali hati manusia dan mengingatkanku bahwa setiap kita punya diri sendiri yang perlu lebih diperhatikan.


Another book review:

* I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki 2

Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti?

Loving The Wounded Soul

I Decided To Live As Myself

Norwegian Wood

Penance

* Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam

 * and so on

Comments

  1. kak Mei, terima kasih banyak sudah menulis blog ini. Aku juga lagi belajar untuk Self Acceptance. Btw, apa kak Mei udah pernah coba pergi ke Psikolog atau Psikiater, bagi ceritanya kak kalo udah pernah.

    Mampir ke blogku kak, dermagamungil.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Hanyierz. Makasih juga karena sudah baca, ya 😃😃 Semoga apa yg aku tulis bisa membantu perjalananmu saat belajar self-acceptance. Aku pernah pergi ke psikolog akhir tahun 2019. Hmm kapan2 ya aku bagikan 😃😃

      Delete

Post a Comment

Popular Posts