Me Before You - Jojo Moyes

Aku menemukan buku ini saat  bookish_indonesia mengadakan lelang buku di Instagram sekitar 2-3 minggu yang lalu. Sebenarnya, Me Before You ini bukan buku incaranku, tapi aku ikutan lelang saja karena kupikir ceritanya bakal menarik walau aku termasuk jarang banget baca buku romance. Akhirnya, Me Before You nya dapat, buku yang aku incar malah gak dapat. πŸ˜‚πŸ˜‚ Aku mulai baca buku ini tanggal 20 Februari dan selesai hari ini tanggal 6 Maret (yang aku tulis reviewnya sampai 7 Maret!) Kalau dipotong dengan 2-3 hari off baca buku gara-gara deadline di kantor yah kira-kira 12 hari lah aku selesai melahap buku dengan tebal 656 halaman ini. Lumayanlah, mengingat kecepatan bacaku kadangkala bisa dibawah kecepatan rata-rata (aku gak tau sih kecepatan rata-rata orang baca buku tuh berapa lama, 80-100 halaman perjam barangkali?)




Me Before You adalah bukunya Jojo Moyes yang  diterbitkan pada tahun 2012 dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Gramedia tahun 2013, mungkin sudah banyak yang tahu (dan baca) buku ini karena sudah difilmkan juga pada tahun 2016. Samar-samar aku ingat bahwa ada dosenku waktu kuliah dulu merekomendasikan buku ini di kelas. But again, karena romance itu bukanlah genre favoritku jadi ku tunda-tunda membacanya sampai bertahun-tahun kemudian. Bukannya aku tidak suka genre romance, aku tidak suka genre romance yang happy ending. Wkwkwk Aku sempat membaca beberapa genre romance dan sebagian besar tetap singgah di hatiku sampai sekarang seperti A Walk to Remembernya Nicholas Spark, P.S. I Love You nya Cecelia Ahern, dan The Fault in Our Star nya John Green. Dan Me Before You menambah panjang listku itu.

Buku ini bercerita tentang seorang laki-laki muda, Will Traynor, yang cerdas, memiliki karir sukses, hobi menjelajah dunia, dan dianugerahi wajah yang mudah sekali membuat para wanita jatuh hati. Bisa dibilang, Will adalah sosok yang membuatmu bingung harus memberikan hadiah apa saat ulang tahunnya karena ia sudah punya segalanya. Ya, segala-galanya. Sampai akhirnya segala-galanya itu dirampas karena kejadian naas yang menimpanya, Will menyebutnya permainan kecil Tuhan. Siapa sangka kalau laku-laki bertubuh tegap yang hobi memperluas cakrawala dan mencoba hal-hal yang menantang itu mengalami quadripelgia C5/6, kelumpuhan dari leher ke bawah, akibat ditabrak sepeda motor saat hari sedang hujan. Segala hal yang dimiliki Will hilang begitu saja, dalam sekejap mata. Karir, pacar, dan kendali atas hidupnya. Will yang merupakan sosok laki-laki sukses yang mandiri kini perlu bantuan orang lain untuk mengerjakan semua hal. Sedikit sekali yang berada di dalam kendalinya dan setelah dua tahun hidup di atas kursi roda, ia ingin segera menghentikan semuanya.

Suatu hari seorang gadis bawel dengan pakaian nyentrik datang ke rumahnya, melamar pekerjaan sebagai perawat Will karena ia baru saja dipecat dari pekerjaannya yang lama sebagai pegawai kafe The Buttered Bun. Louisa Clark, atau yang biasa dipanggil Lou, masuk begitu saja ke kehidupan Will dan mengisi hari-hari Will dengan celotehannya yang seolah tiada akhir dan juga warna-warni bajunya yang.. eksentrik. Wkwkwkwk Will yang temperamennya sering naik turun dan sikap sarkasmenya yang menyebalkan pun perlahan-lahan mulai tampak lebih ceria karena kehadiran Lou. Will mulai lebih sering berbicara (walau sebagian besar omongannya berisi hinaan untuk Lou), lebih sering tertawa, dan yang paling penting Will akhirnya mau keluar rumah. Terlihat bagus bukan? Mengingat selama dua tahun hidupnya ia hanya mau mondar-mandir dengan kursi rodanya di dalam rumah besarnya sambil sesekali marah-marah.

Sampai di sini apakah kalian berpikir endingnya akan bahagia? Seorang yang sudah kehilangan semangat hidup akhirnya kembali menjalani hidupnya dengan lebih optimis karena kehadiran seorang gadis yang membuat hidupnya semarak. Tentu tidak semudah itu, Marimar. Untuk apa Jojo Moyes membuat buku yang tebalnya pas untuk menggebuk orang ini jika ceritanya seklise itu? (Anw, buku aslinya hanya setebal 369 halaman, aku gak ngerti kenapa terjemahannya bisa memuai sampai 656 halaman!) Dalam buku ini, Jojo Moyes mengangkat isu yang cukup kontoversial, yaitu hak seseorang untuk mati. Ya, Will Traynor yang sudah lelah hidup dengan quadripelgia dan serangkaian infeksi yang menyerangnya secara berkala akhirnya memutuskan untuk melakukan satu dari sedikit hal yang berada di dalam kendalinya. Will ingin mengakhiri hidupnya.

Di Swiss ada suatu organisasi nirlaba bernama Dignitas yang membantu orang-orang yang merasa dirinya tidak layak hidup lagi untuk melakukan bunuh diri. Organisasi tersebut bukanlah organisasi fiksi yang dikarang oleh Jojo Moyes. Dignitas sudah beroperasi secara nyata sejak tahun 1998 dan sampai saat ini sudah "membantu" ribuan orang untuk mengakhiri hidupnya. Untuk mengakhiri hidup di Dignitas, seseorang tidak bisa datang langsung dan bilang, "Hei, bantu aku untuk bunuh diri." Orang tersebut harus terlebih dahulu menjadi anggota Dignitas, membayar iuran tahunan, dan menyertakan data medis atas penyakit fisik atau penyakit mental yang ia derita, serta surat yang memberitahu alasan kenapa ia merasa hidupnya tak tertahankan lagi. Kalian bisa mencari tahu lebih lanjut tentang Dignitas di artikel ini. Will mengajukan permintaan pada orang tuanya untuk mengakhiri hidupnya di tempat itu. Camilla Traynor, ibu Will yang tampak dingin dari luar, merasa terguncang sekali saat mendengar permintaan terakhir putra satu-satunya itu. Will terus-terusan mengangkat topik itu setiap kali Camilla menjenguknya, terlebih lagi Will pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan cara memotong pergelangan tangannya, tentu saja dengan usaha ekstra karena kedua tangannya sudah tidak bisa berfungsi sepenuhnya. Kejadian itu membuat Camilla terpaksa mengiyakan keinginan Will. Ia dan Will menyetujui waktu 6 bulan sebelum Will benar-benar mengakhiri hidupnya secara prematur. Selama 6 bulan itulah Lou dipekerjakan. Camilla berusaha melakukan segala cara agar anaknya bisa mengubah keputusannya, cara terakhir yang terpikir olehnya adalah menghadirkan orang yang ceria yang barangkali bisa membuat Will melihat sisi positif dari hidupnya.

Lou yang tidak sengaja mendengar percakapan tentang Dignitas tentu saja tidak tinggal diam. Dibantu adiknya yang lebih cerdas, Treena, Lou membuat sederetan daftar yang kira-kira bisa membuat Will menemukan kembali semangat hidupnya. Mulai dari menonton pacuan kuda, menonton konser Mozart, sampai berlibur ke luar negeri di mana Will bisa berenang bersama lumba-lumba, melakukan sky diving khusus penyandang quadripelgia, dan tinggal di hotel mewah yang menyediakan fasilitas untuk orang difabel. Semua hal Lou rencanakan dengan rinci. Ia tidak sadar bahwa ia tidak lagi memandang Will sebagai orang difabel yang perlu dirawatnya. Ia memandang Will sebagai Will dan menginginkan laki-laki itu merasa bahagia lebih dari siapa pun. Hal inilah yang membuatnya putus dengan pacarnya, Patrick, yang terobsesi pada kejuaraan lari (malah ku rasa Lou harusnya putus dari Patrick sejak bab pertama!)

Aku suka dengan karakter Will dan Lou yang sungguh berbeda dalam segala aspek. Will adalah anak orang kaya (dan ia sendiri pun sukses), ayahnya pengelola kastel di kota kecil yang mereka tinggali dan ibunya adalah seorang hakim yang disegani, dan memiliki jiwa petualang yang membuatnya meninggalkan jejak di seluruh penjuru dunia. Sedangkan Lou adalah anak dari keluarga biasa-biasa saja, otaknya cukup cerdas tapi ia tidak kuliah, dan ia merasa cukup tinggal di kota kecil itu bersama keluarga dan orang-orang yang dikenalnya. Perbedaan karakter ini menarik sekali karena beberapa kali menimbulkan perdebatan tentang cara mereka melihat dunia. Will terus-terusan mendorong Lou untuk mencoba lebih banyak hal baru, mempelajari hal-hal yang menurutnya menarik, membaca lebih banyak buku, dan melihat dunia yang lebih luas.

"Aku mencari tahu apa yang membuatku bahagia, dan setelah tahu apa yang ingin ku lakukan, aku melatih diriku untuk melakukan pekerjaan yang akan mewujudkan kedua hal itu," kata Will.

"Kau membuatnya terdengar sederhana."

"Memang sederhana," ujarnya. "Tetapi juga butuh kerja keras. Masalahnya, banyak orang tidak mau bekerja keras."

Singkatnya, Will mendorong Lou untuk menikmati hidupnya yang hanya sekali, yang sebenarnya terasa benar sekaligus ironis, karena kalimat penuh optimisme itu dilontarkan oleh orang yang sudah kehilangan keoptimisan hidupnya. Tapi, saat Lou bertanya akankah Will merasa lebih baik jika sebelumnya ia tidak hidup dengan terlalu bersemangat, Will menampik mentah-mentah.

"Aku tidak akan pernah, tidak akan pernah menyesali hal-hal yang telah kulakukan. Sebab sebagian besar waktu, kalau kau terjebak di kursi roda begini, yang kau miliki hanyalah tempat-tempat dalam kenanganmu yang bisa kau kunjungi lagi."

Kata-kata Will membuatku merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh Lou, perasaan seolah dipojokkan. Tapi, yah perdebatan Will dan Lou juga sedikit banyak memunculkan perdebatan dalam diriku. Beberapa tahun yang lalu aku terus-terusan mendorong diriku untuk menjadi lebih baik, terus-terusan mencari apresiasi, tapi dengan cara yang salah. 1-2 tahun belakangan, setelah menyadari bahwa caraku dalam memandang hidup kurang tepat, aku belajar untuk merasa cukup. Aku pikir hidup seperti ini saja sudah cukup, aku gak perlu jabatan dan karir yang cemerlang, gaji berpuluh-puluh juta, atau membuat checklist tempat-tempat mana saja yang sudah aku jelajahi. Aku rasa aku bisa hidup seperti itu. Tapi, hati kecilku meronta-ronta setelah aku membaca buku ini. Aku tak ubahnya seperti Lou yang menjadikan "rasa cukup" sebagai alasan agar tidak perlu melihat dunia yang lebih luas, padahal aku tahu bahwa aku belum melakukan semua hal yang bisa aku lakukan, aku belum berusaha sekuat tenaga menjadi versi terbaik diriku. Kata-kata Will yang terus diulang-ulang, bahwa hidup hanya satu kali dan harus dinikmati, semakin terpatri dalam benakku yang membuatku merenung berhari-hari. Pas sekali aku menyelesaikan buku ini di hari terakhir umurku yang ke 26! (Sama dengan umur Lou dalam buku ini, semakin relate rasanya) Buku ini tuh sudah bikin sakit hati, bikin banyak mikir juga. Hmm..

Tapi, dibalik alasannya, Lou memiliki trauma yang membuatnya merasa tidak aman jika bertemu dengan orang asing. Will adalah satu-satunya orang yang membangkitkan rasa percaya diri Lou bahwa masa lalunya tidak mendefinisikan hidupnya saat ini ataupun hidupnya di masa depan. Dibalik sifatnya yang mudah marah, Will memiliki hati yang lembut dan tulus. (Hei, Alicia! Cepatlah kamu menyesal karena telah mencampakkan Will dan malah menikah dengan mantan sahabatnya!) Oops.. Sudah terlalu banyak spoiler yang aku beberkan rupanya.. πŸ™ˆπŸ™ˆ Tapi, memangnya kapan sih aku mereview tanpa menebar spoiler? Wkwkwk

Gaya penceritaan dalam buku ini asik sekali untuk dibaca, sebagian besar cerita disuguhkan dari sudut pandang Lou yang tidak pernah membuatku merasa bosan sedikit pun. Banyak hal diceritakan secara detail, seperti pemandangan di sekitar kota kecil tempat Lou dan Will tinggal, penanganan medis dan cara kerja kursi roda Will, dan serangkaian ide tentang hal-hal menarik yang masih bisa dilakukan oleh orang difabel. Tadinya aku pikir aku akan kesulitan menangkap inti cerita dari buku tebal ini dan rasanya ini adalah buku paling tebal sepanjang sejarah membacaku. Tapi ternyata semua cerita, perasaan, dan pesan tersampaikan dengan jelas.

Seperti yang ku bilang tadi, sebagian besar cerita dalam buku ini dikisahkan dari sudut pandang Lou, tapi satu bab yang membeberkan apa yang dirasakan dan dipikirkan Camilla Traynor paling membuatku tersayat-sayat. Walau Camilla Traynor terkesan dingin dan tampak tidak punya hati, ia tetaplah seorang ibu. Betapa hancurnya ia saat putra satu-satunya meminta persetujuannya untuk mengakhiri hidupnya secara prematur.

"Aku memandang Will dan melihat dia sebagai bayi yang pernah ku gendong dalam pelukanku dengan mata berkaca-kaca saking terharu, karena melalui diriku telah tercipta manusia lain. Aku melihatnya sebagai anak kecil yang belajar berjalan, menggapai tanganku, anak sekolah yang menangis marah karena dijahati oleh anak lain. Aku melihat kerapuhan-kerapuhannya, kasih sayangnya, sejarah hidupnya. Dan dia meminta aku untuk memadamkannya - sosok si anak kecil, sekaligus si lelaki dewasa - semua kasih sayang dan sejarah itu."

Selain membuatku merenung tentang kehidupanku yang singkat yang bisa saja hilang dalam sekejap, buku ini juga membuatku dilema setengah mati. Topik yang diangkat oleh Jojo Moyes cukup kontroversi, yaitu hak seseorang untuk mati. Walau aku mencoba meditasi berhari-hari sambil jungkir balik sekalipun, aku gak akan pernah benar-benar memahami penderitaan yang dialami orang-orang seperti Will, yang untuk makan sendiri saja tidak bisa. Dalam kasus Will, selain kondisi fisiknya yang luluh lantak, kondisi psikisnya pun porak poranda. Harga dirinya sudah hancur dan hal itu tentu saja membuatnya menjadi orang yang paling tidak berguna sedunia. Dengan kondisi tubuh yang lengkap saja aku kerap kali menganggap diriku tidak berguna, apalagi.. ugh.. Oke, dalam kondisi normal (baca: sedang tidak dalam kondisi overwhelmed dengan emosi membuncah ruah yang menyebabkan aku nangis terus berhari-hari) aku jelas termasuk ke dalam golongan yang kontra dengan istilah "hak untuk bunuh diri". Siapa pula yang melegalkan istilah itu? Kenapa membunuh diri sendiri bisa menjadi hak bagi setiap orang yang menganggap dirinya "pantas" mati? Rasanya sesulit apa pun hidup, kita masih bisa berharap sampai tubuh dan jiwa kita benar-benar expired. Tapi, dalam kondisi "tidak normal" mungkin aku bisa beralih ke dalam golongan pro. Aku pernah merasakan dengan jelas bagaimana menyesakkannya rasa tidak berguna (walau anggota tubuhku masih berfungsi dengan baik), sampai aku pernah berpikir kalau aku mati pun tidak akan ada pengaruhnya bagi orang-orang di sekitarku. Dan yah, aku sama sekali gak bisa membayangkan hidup di atas kursi roda selama bertahun-tahun tanpa bisa melakukan hal-hal sepele yang ingin aku lakukan. Rasanya setiap hari pasti melelahkan sekali. Bangun pagi hanya untuk menunggu waktu untuk kembali terlelap. Maka, jangan tanya aku terkait dengan topik besar yang diangkat dalam buku ini. Di dalam diriku pun timbul kontroversi seperti itu soalnya.

Perasaan cinta Lou yang ia beberkan kepada Will pun malah membuat Will semakin ingin mengakhiri hidupnya. Awalnya aku sakit hati juga ketika Will berkata bahwa cinta Lou tidak cukup untuk membuatnya tetap hidup. Tapi, saat aku merenung (untuk yang ke sekian kalinya) aku tahu bahwa apa pun keputusan Will tidak akan membuat dirinya merasa lebih baik. Jika Will memutuskan untuk tetap hidup, ia pasti akan merasa sedih sekali melihat Lou berkeliaran terus di dekatnya untuk mendampingi dan merawat dirinya selama bertahun-tahun, padahal Will adalah orang yang paling ingin melihat Lou berkelana lebih jauh dari pada jarak rumahnya ke kastel. Jika Will tetap memutuskan untuk mengakhiri hidupnya secara prematur, ia jelas akan meninggalkan luka yang mendalam pada gadis yang juga dicintainya itu. Jadi, saat si penulis menanyakan, "Apakah menurut Anda akhir ceritanya seharusnya berbeda?", sejujurnya aku sama sekali tidak bisa memikirkan akhir cerita bahagia yang terkesan realistis. "And then they lived happily ever after", jelas bukan akhir cerita yang aku imajinasikan. Kehidupan mereka tidak sesederhana pangeran yang menikahi seorang putri dan Will pun tidak akan sepasrah itu menerima hidupnya. Tapi, yah aku berharap bahwa Will mau memberi waktu sedikit lebih lama lagi agar ia bisa melihat dunia yang lebih luas bersama Lou, entah bagaimana caranya.

5 bintang untuk buku ini. Kalau bisa akan aku berikan 10 bintang, atau bahkan semua bintang di langit untuk buku ini! Lebay? Iya mungkin, aku suka mendramatisir keadaan anaknya. Wkwkwk But, seriously, this book is really worth my time. Jelas bukan kisah cinta yang berakhir bahagia, bukan juga kisah cinta yang berakhir tragis begitu saja, tapi kisah cinta yang sedikit banyak membuatku bersedia memandang hidup dengan cara yang lain. Buku ini juga mengingatkanku pada P.S. I Love You nya Cecelia Ahern. Will sama seperti Gerry yang menginginkan Holy terus menjalani hidupnya dengan baik. Will mewariskan semua hartanya pada Lou dengan harapan bahwa Lou bisa menjelajah dan melihat dunia seperti yang dilihat Will. Buku ini juga sukses mengangkat isu yang kontroversi dengan hati. Aku sukaa!!


Instagram @mebeforeyouofficial

Lalu, di hari yang sama juga aku lanjut menonton filmnya. Aku pikir kalau mau nangis sekalian aja deh biar gak kepikiran lagi. Wkwkwkwk Ternyata, filmnya hanya sebatas membuatku berkaca-kaca sedikit saja. Hmm bagaimana, ya. Sejujurnya aku gak suka dengan filmnya. Alur ceritanya berantakan dan gak detail, biasanya di film memang gak sama plek-plek dengan bukunya, tapi film Me Before You ini terkesan melompat-lompat, banyak sekali detail yang berbeda atau dihapus dibandingkan dengan bukunya, dan banyak scene yang meninggalkan plot hole. Kalau aku gak baca bukunya, aku pasti bingung kenapa Lou marah pada Will karena memberi ayahnya pekerjaan dan juga dengan perjalanan yang tahu-tahu dibatalkan Lou karena Will sakit. Lalu, keluarga Will digambarkan sebagai keluarga bahagia dan Will adalah anak tunggal, berbeda sekali dengan bukunya. Tapi, karakter Lou dan Will cukup digambarkan dengan baik di dalam film itu (walau Will nya gak semenyebalkan di buku). Kalau bukunya aku kasih bintang full 5/5, filmnya hanya bisa ku kasih 5/10. Kalau aku belum baca bukunya mungkin aku masih bisa lebih menikmati walau pasti tetap akan bingung di sana sini.

 

Another book review:

* I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki 2

Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti?

Loving The Wounded Soul

I Decided To Live As Myself

Norwegian Wood

Penance

* Second Sister  

* and so on

 

 

Comments

Popular Posts