Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam - Dian Purnomo

Beberapa hari yang lalu aku baru saja menyelesaikan sebuah buku yang sungguh menguras emosi. Kalau biasanya aku bilang buku yang menguras emosi itu adalah buku yang bikin aku nangis atau sakit hati karena tokoh utamanya meninggal, kali ini bukan seperti itu. Buku ini membuat perasaan kesal, marah, sedih, muak, dan jijik berlomba-lomba menyeruak keluar, membuatku sakit kepala sampai terbawa mimpi! Aku menemukan buku ini dari insta story salah satu bookstagram yang mengatakan bahwa ia emosi baca buku ini, akhirnya pas baca pun aku ikutan emosi. Huft..

 
Buku ini berisi tentang kisah Magi Diela seorang perempuan Sumba yang mempunyai mimpi untuk memajukan pertanian di kampungnya, hasil dari gelar sarjana yang ia dapatkan saat kuliah di Jogja. Selepas lulus, Magi kembali ke kampung halamannya di Sumba dan bekerja sebagai pekerja honorer sambil menunggu lowongan kerja PNS dibuka. Suatu hari, saat Magi berkendara dengan motornya menuju desa sebelah untuk memberikan penyuluhan, ia diculik untuk dikawinkan secara paksa. Iya, kalian gak salah baca. Di Sumba ada tradisi yang disebuh Yappa Mawine atau kawin tangkap. Prosesi tersebut bertujuan untuk mempercepat prosesi adat dan memangkas biaya yang dikeluarkan untuk belis/mahar, prosesi tersebut juga dilakukan jika pihak perempuan menolak belis yang ditawarkan oleh pihak laki-laki. Jadi, kalau dua hal itu tidak menjadi alasan, prosesi kawin tangkap tersebut biasanya tidak dilakukan. Maka, Magi heran sekali karena gak ada angin gak ada hujan tau-tau dia dibawa secara paksa oleh 4-5 pria ke dalam mobil, di dalam mobil pun Magi sudah mendapat pelecehan seksual dari orang-orang yang menangkapnya.

Beberapa halaman pertama buku ini sukses membuat aku syok! Baru kali ini aku mendengar istilah kawin tangkap dan lagi hal tersebut dilegalkan dengan alasan adat. Ironisnya aku jadi sadar bahwa kesenjangan gender di negara ini ternyata jauh lebih besar daripada yang aku kira. Kalau di kota besar seperti Jakarta, diculik untuk dikawinkan secara paksa sudah pasti adalah tindakan kriminal. Lalu, yang terjadi kepada Magi setelah ia diculik, ia pun diperkosa, dalam keadaan tidak sadar, oleh penculiknya yang tidak lain adalah Leba Ali, lelaki mata keranjang yang sudah mengincar Magi sejak Magi masih SD! Aku langsung bergidik membayangkan situasi Magi saat itu, tak heran kalau setelah itu ia merasa sangat depresi dan akhirnya melakukan percobaan bunuh diri. Magi pulang ke kampungnya dengan mimpi dan harapan untuk memajukan pertanian di daerah asalnya tapi yang ia dapat adalah nasib yang naas sekali. Tambahan lagi, dalang dari semua prosesi itu adalah Ama Bobo, ayahnya sendiri! Duh.. aku benar-benar dibuat sakit kepala mengikuti kisah Magi yang sungguh pilu itu.

Setelah berusaha melakukan percobaan bunuh diri, Magi dirawat di rumah sakit dan pergelangan tangan kirinya dibebat. Setelah itu, apakah keluarganya menyerah menikahkan Magi dengan Leba Ali? Tentu tidak, malah lebih gencaar lagi karena Magi telah dianggap mencoreng nama baik keluarga karena sudah tidak perawan lagi. Ya Tuhan, kisah Magi di buku ini sungguh membuatku merasa bahwa lahir sebagai perempuan di Tana Humba adalah sebuah malapetaka. Magi yang keras kepala tetap berjuang untuk mencari kebebasan, tapi kebebasannya untuk memilih sendiri jalan hidupnya ternyata harus dibayar dengan harga yang mahal sekali. Dibantu oleh komunitas Gema Perempuan dan sahabatnya Dangu dan Tara, Magi akhirnya kabur ke Kupang dan menetap di sana selama berbulan-bulan. Di sana Magi bertemu dengan Om Vincen yang memberinya pekerjaan di Soe. Kehidupan Magi di sana bisa dibilang jauh lebih baik tapi juga membuatku merasa miris karena orang-orang yang tidak bertalian darah dengan Magi malah mengulurkan tangan padanya, merangkulnya, dan memberinya rasa aman, sementara keluarganya di rumah malah membuatnya takut untuk pulang, takut kalau kebebasan dan masa depannya kembali direnggut.

"Kalau sa laki-laki mungkin seperti Rega Kula dan Bobo Riam, sa bisa jadi anak kebanggan. Menari ronggeng ketika Wulla Poddu, berburu babi hutan, pukul kendang, minum peci sama-sama, ambil dan kasih pindah eprempuan ke rumah untuk meneruskan ama pung keturunan. Karena sa perempuan, maka sa akan berakhir menjadi orang lain buat ama, sama seperti Lena. Lena Lodja, anak perempuan pertama ama itu setelah diambil orang hampir tidak pernah pulang kecuali saat Mana'a dan Kalangngo. Sama seperti Ina yang sesekali saja menengok rumah kelahirannya."

Sumba adalah tanah yang indah, aku pernah satu kali ke sana dan langsung jatuh cinta dengan pesona dan keindahannya yang sungguh memanjakan mata. Tapi, keindahan pulau tersebut menyimpan luka yang tak pernah bersuara. Dengan tradisi dan adat yang masih dijunjung tinggi, praktek patriarki terasa kental sekali di sana. Seperti surat yang diberikan Magi kepada ayahnya, Magi mengatakan bahwa ada banyak sekali hal yang tidak bisa dikerjakan perempuan di Sumba. Perempuan juga harus nurut dan patuh terhadap laki-laki, di dalam rumah pun ada ruangan-ruangan yang termasuk pamali untuk perempuan yang sudah menikah. Dulu, tour guide ku waktu di Sumba pernah bilang bahwa ia berasal dari kampung di pedalaman Sumba yang letaknya masih dekat dengan hutan-hutan, lalu ia pindah ke kota yang lebih terasa peradabannya dan menjadi tour guide. Katanya, "kalau masih di sana saja semuanya ya akan tetap sama, gak berkembang." Aku mengiyakan ucapannya karena dari buku ini aku bisa melihat bahwa orang-orang di kampung sana merasa bahwa dunianya hanya sebatas kehidupan di kampung saja, mereka gak mau keluar mencari hal-hal yang bisa mengubah pola pikir mereka. Adat istiadat pun masih dipertahankan walau bisa jadi maknanya sudah bergeser.

Aku juga jadi ingat saat dulu aku ke Malang dan menginap di salah satu resort di sana, ada seorang perempuan muda yang bekerja di resort itu dan ia bercerita bahwa ia merantau ke Malang untuk mencari kehidupan yang lebih baik, karena di kampung halamannya perempuan-perempuan dibawah umur 20 tahun harus sudah menikah. Ia tidak mau menikah di usia muda, maka ia pergi merantau sendiri. Saat itu aku salut dengan kegigihannya, tapi aku gak tahu seberapa banyak hal yang ia korbankan untuk sebuah kebebasan.

Dari kisah Magi pun aku merasa nelangsa namun tak berdaya. Ada satu hal yang membuat hatiku terasa tersayat-sayat, saat Om Vincen mengatakan bahwa Magi adalah wanita yang kuat dan pemberani, walau ia sudah mengalami hal yang sangat mengguncang dan membuat frustasi tapi ia masih mau melawan, saat itu Magi berkata, "Ini hanya tampak dari luar, Om. Om tidak tahu bagaimana rasanya diperkosa." Membaca kalimat itu aku hanya bisa menghela napas berat. Kisah Magi ini fiksi tapi nyata, ada berapa banyak perempuan yang mengalami kekerasan seksual seperti itu. Baik mereka yang diam ataupun melawan mereka sama-sama terguncang dan mengalami trauma yang gak bisa dibayangkan oleh siapa pun. Mungkin dari luar beberapa dari mereka terlihat berani seperti Magi, tapi kita gak pernah tahu seberapa hancur hati mereka setelah mengalami kejadiaan yang menghancurkan masa depan mereka. Setelah membaca kisah Magi, untuk pertama kalinya aku berharap kalau aku bekerja di pemerintahan supaya aku bisa segera mengesahkan UU PKS dan menghapuskan semua hukum adat yang melegalkan hal-hal terkait dengan kekerasan seksual. Sayangnya, aku hanya rakyat biasa dan akhirya perasaan kesal, marah, sedih, muak, dan jijik berlomba-lomba menyeruak keluar dalam kesia-siaan karena aku gak tahu harus berbuat apa.

Saat aku membaca buku Kim Ji Young Born in 1982, aku merasa miris sekaligus nelangsa karena di negara-negara maju seperti Korea Selatan pun masih ada praktek patriarki, baik terselubung ataupun terang-terangan. Kisah Kim Ji Young saat itu terasa relate karena masih juga dirasakan di kota-kota besar di Indonesia. Namun, buku Kim Ji Young masih memberi secercah harapan. Perempuan di kota besar masih bisa berdaya. Perempuan masih bisa mengenyam pendidikan tinggi, masih bisa meniti karir walau sudah menikah, bahkan bisa memiliki jabatan penting di perusahaan atau bahkan di pemerintahan. Namun, kisah perempuan di Tana Humba dan di kampung-kampung lain rasanya gelap sekali. Magi yang sudah kabur pun akhirnya terpaksa pulang karena orang tuanya sakit, tapi walau sudah begitu pun ayahnya masih tetap memaksa Magi untuk menikah dan satu-satunya laki-laki di sana yang masih mau dengan Magi yang sudah tidak perawan adalah laki-laki yang merenggut keperawanannya, Leba Ali. Muak sekali aku dengan Ama Bobo. Kok bisa ayah sendiri tega berbuat seperti itu, ia menyekolahkan Magi hanya untuk membanggakan diri di kampungnya dan membuat Magi dihargai lebih mahal jika ada yang melamar. Haduh.. Kalau aku jadi Magi aku gaka akan pulang-pulang, dari pada pulang dan menjemput ajal sendiri.

Secara keseluruhan, aku suka dengan buku ini. Ada beberapa bagian yang terkesan diulang-ulang tapi sangat bisa dinikmati. Dialog antar tokoh yang menggunakan bahasa lokal pun membuatku lebih bisa membayangkan situasi mereka di kampung sana. Dan walau banyak bahasa dan istilah-istilah yang digunakan, Mbak Dian Purnomo tetap menyelipkan penjelasan lebih lanjut di catatan kaki agar pembaca tidak bingung. Aku berharap ada penjelasan dibalik keputusan Ama Bobo menyerahkan Magi kepada Leba Ali, tapi ternyata tidak ada. Tapi, yah aku pun tidak yakin bahwa penjelasan apa pun yang terlontar dari Ama Bobo bisa meredakan kemarahanku padanya. Aku harap buku ini bisa dibaca oleh lebih banyak orang, lebih banyak perempuan, karena melalui buku ini aku merasa bahwa perempuan itu harus bisa mandiri, harus bisa membela dirinya sendiri, dan percaya bahwa apa pun bisa dilakukan bukan "walaupun kita perempuan" tapi "karena kita perempuan".

p.s.: Rasanya baru kali ini aku mereview buku dengan semangat '45 sambil menahan geram.


Another book review:

* Me Before You

* I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki 2

Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti?

Loving The Wounded Soul

I Decided To Live As Myself

Norwegian Wood

Penance

* and so on

 

Comments

  1. Terima kasih sudah mereview Magi Diela dan berdiri di pihaknya. Saya berdoa semoga Mei jadi pengambil keputusan dan ketok palu RUU PKS ya. Amin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin, Mbak Dian. Terima kasih sudah membaca, ya..

      Delete

Post a Comment

Popular Posts