I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki 2

Aku baru saja menamatkan buku I Want To Die But I Want To Eat Tteopokki 2, ini adalah buku kedua dari Baek Se Hee. Seperti buku pertamanya, di buku kedua ini Baek Se Hee kembali menuliskan pengalaman dan perasaannya selama ia mengalami distimia -depresi ringan yang terus menerus- yang sudah dialaminya selama 10 tahun, ia juga kembali menuliskan percakapannya saat ia melakukan konseling dengan psikiaternya.

Hmm perasaan yang aku alami saat membaca buku kedua ini berbeda dengan saat aku membaca buku pertama. Di buku pertama, aku merasa kalau aku gak sendirian dan cerita Baek Se Hee sedikit banyak memberiku harapan untuk mencari pertolongan. Karena saat itu pun aku sedang merasa down dan kacau balau. Di buku kedua ini, aku malah merasa bahwa dunia itu berat, bahkan bisa dibilang berat sekali untuk dijalani bagi orang-orang yang mengalami masalah mental seperti Baek Se Hee, untuk menarik napas saja rasanya sesak sekali. Buku kedua ini juga  menyentuh sisi lain diriku yang awalnya aku pikir gak ada.


Di buku kedua ini, Baek Se Hee menceritakan apa yang ia rasakan saat ia bekerja di kantornya dan alasannya ingin berhenti saja dari perusahaan itu; ia menceritakan kegelisahannya terhadap penilaian orang-orang di sekitarnya, baik orang yang ia kenal ataupun tidak; ia menceritakan bahwa ia benci melihat tubuhnya sendiri dan betapa ia masih terluka akibat perkataan dari teman-temannya dulu tentang bentuk tubuhnya.

Baek Se Hee menceritakan semuanya dengan gamblang, termasuk saat ia terus-terusan berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Baek Se Hee pernah mencoba untuk melompat dari atap villa saat ia berlibur bersama dengan kekasihnya di Yeonnam-dong. Selain itu, ia pun terus-terusan melukai dirinya sendiri dan terus-terusan menangis sampai akhirnya psikiaternya menyarankannya untuk melakukan rawat inap. Bagian ini mungkin akan terasa mengganggu untuk beberapa orang, termasuk aku. Dalam membaca buku ini, aku perlu mengambil jeda selama beberapa waktu, selain karena aku membaca kisah Baek Se Hee yang seperti itu-yang terasa jauh lebih kelam dari pada buku pertama-, saat membaca buku ini pun aku (kembali) berada dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Aku rasa hal ini perlu menjadi catatan bagi kalian yang mau membaca bukunya Baek Se Hee, terutama buku kedua ini. Bacalah setelah kalian benar-benar sudah memastikan kalau kalian baik-baik saja, baik secara fisik ataupun mental, karena isi buku ini tidak secerah warna covernya. (:

Dan di buku keduanya ini, Baek Se Hee mencoba menggambarkan penderitaan yang ia rasakan dan alami dengan jujur. Aku bilang dengan jujur, karena saat membaca buku ini ada banyak hal yang sebenarnya juga aku rasakan hampir sama persis, tapi aku seringnya menghindari perasaan itu. Iya, aku ini punya "bakat" untuk lari dari perasaan dan emosiku sendiri. Maka dari itu aku ingin berterima kasih pada Baek Se Hee karena ia sudah bersikap jujur pada dirinya sendiri dan membuat diriku merasa perlu untuk berlatih tentang kejujuran itu darinya.

"Apa salahnya ingin terlihat baik?

Apa salahnya ingin dicintai?"

Dalam buku ini, ada beberapa bagian yang benar-benar relate dengan diriku. Saat Baek Se Hee mengatakan bahwa ia merasa sangat lelah bekerja di perusahaannya dan ia merasa bahwa ia perlu menunjukan bukti bahwa ia benar-benar kelelahan dan menunjukan luka di tangannya sebagai bukti bahwa ia tidak baik-baik saja dan terus-terusan menyakiti diri sendiri. Saat itu psikiaternya berkata, "... perlukah Anda secara berlebihan menunjukan kebenaran dari hal-hal yang mereka sangsikan?" Hmm kalimat psikiaternya itu benar-benar membuatku merenung. Aku tidak berada di posisi yang sama dengan Baek Se Hee, tapi aku seringkali merasa bahwa aku mencari perhatian orang lain secara berlebihan.

Seperti Baek Se Hee, kadangkala aku memiliki hasrat untuk berkata pada orang-orang di sekitarku, "Aku ini lagi benar-benar sedih, loh. Aku kumat lagi, loh. Percayalah kalau aku lebih menderita daripada kalian." Perasaannya pasti tidak persis sama tapi aku rasa kurang lebih mirip. Bedanya, saat aku mulai mendapatkan perhatian yang aku cari-cari, aku malah menjadi takut sendiri. Aneh, kan. Di satu sisi aku haus akan perhatian tapi di sisi lain aku takut dengan perhatian yang berlebihan (atau sebenarnya menurut orang lain wajar, tapi aku menganggap mereka berlebihan hmm). Dan setelah aku melewati perenungan (yang gak panjang-panjang amat), aku mengambil kesimpulan bahwa aku tidak perlu membuktikan kalau aku sedang begini begitu begina, sebagai jawaban atas pertanyaan psikiaternya Baek Se Hee. Apalagi jika orang yang aku tuju itu menyangsikan semua hal yang aku katakan dan tunjukan. Bukankah hal itu malah membuatku tambah lelah? Hmm

"Janganlah memandang diri sendiri secara negatif. Anda selalu membuat standar yang ideal di dalam diri Anda dan berusaha menyesuaikan diri dengan standar itu. Anda memaksa diri, mengharuskan diri, memenuhi standar itu bagaimanapun caranya. Jangan berpikir bahwa diri Anda berkekurangan. Anda perlu menikmati kelebihan yang Anda miliki dibanding kekurangan Anda."

Aku merasa bahwa kata-kata itu ditujukan kepadaku. Dulu itu aku pernah menganggap diriku sebagai robot. Jangan ketawa dulu! Tapi, memang benar begitu. Bertahun-tahun aku menganggap diriku sebagai robot. Kalau robot dimasukkan sistem dan program baru maka robot itu akan jadi lebih baik dari sisi teknis dan kinerja, kan? Aku menganalogikan diriku sebagai robot dan pelajaran hidup yang aku alami sebagai program dan sistem baru. (Iya, aku ini agak terobsesi dengan yang namanya analogi.) Jadi, setiap kali aku mendapatkan "sistem" dan "program" yang baru, aku akan menginstallnya pada diriku dan menjadikan "sistem" dan "program" itu sebagai idealisme dan pedoman untukku bertindak. Pokoknya harus sesuai dengan idealisme dan pedoman itu. Sampai suatu ketika, aku melakukan kesalahan (atau aku menganggapnya kesalahan, padahal bukan), aku melanggar idealisme dan pedoman itu. Kalau terjadi kesalahan program pada robot yang terjadi adalah apa? Error. Iya, aku merasa ada error dalam diriku yang perlu aku perbaiki. Aku terus-menerus menelaah error itu dengan cara yang buruk. Terus-terusan menyalahkan diriku sendiri, "Kenapa bisa-bisanya terjadi error seperti ini?" Dan kejadian itu berulang selama beberapa bulan lamanya. Membuat diriku kacau balau, porak poranda, dan menangis hampir setiap hari. Iya, keadaan ini adalah keadaan yang membuatku memutuskan untuk mencari pertolongan profesional. Dan aku merasa bahwa keputusanku itu sudah tepat.

Hal yang aku lakukan itu sama seperti yang dikatakan oleh psikiaternya Baek Se Hee. Aku terus-terusan memaksakan standar (yang seringkali tidak masuk akal) pada diriku sendiri dan aku terus-terusan melihat kekuranganku dan berusaha memperbaikinya tanpa mau melirik pada kelebihan yang aku punya. Katanya, orang biasanya lebih lancar menyebutkan kelemahan mereka dibanding kelebihan mereka. Iya, aku bisa menuliskan kekuranganku secepat kilat sementara aku perlu berpikir lama sekali untuk menyebutkan satu saja kelebihanku. Kadangkala kalau ada orang lain yang memujiku, aku malah menyangkal mereka dengan berkata, "Jangan menilaiku terlalu tinggi". Aku ini terlalu rendah diri rupanya. Hmm lagi-lagi aku merasa bahwa membaca buku ini sama seperti aku sedang mengikuti konseling. XD XD

Selain buku ini membuatku tidak nyaman dan ada beberapa bagian yang membuatku tambah frustasi, buku ini juga membuatku senang dan juga lega. Kenapa? Karena pelan-pelan, Baek Se Hee menunjukan tanda-tanda bahwa ia berangsur-angsur membaik. Pelan-pelan ia mulai bisa menahan keinginan untuk menyakiti dirinya sendiri saat mendengar perkataan orang lain yang tidak menyenangkan, pelan-pelan ia mulai bisa mengontrol perasaannya sendiri, pelan-pelan ia bisa lebih cepat bangkit dari keterpurukan, pelan-pelan ia mulai membangun habit baru yang lebih positif, pelan-pelan ia bisa berteman dengan dirinya sendiri, pelan-pelan ia mulai tahu bagaimana caranya mengamati diri dengan sabar dan rasional.

"Dibandingkan menerima kekurangan diri, aku memutuskan untuk tidak memandang negatif diriku sendiri. Aku juga punya banyak sisi yang bercahaya. Aku hanya menolak untuk melihatnya, sampai aku jadi frustasi."

Dulu Dr. Jiemi Ardian pernah berkata bahwa perjalanan untuk sembuh ini gak tahu sampai kapan. Yang tahu sudah membaik atau belum adalah diri kita sendiri yang mengalaminya. Seperti yang dikatakan Baek Se Hee bahwa dengan berakhirnya buku keduanya ini bukan berarti dia sudah sembuh dari distimia yang dideritanya, ia hanya tidak mau meninggalkan buku kedua ini menggantung seperti buku pertama. Tapi, ia tahu pasti bahwa kondisinya sudah membaik dari pada sebelumnya.

Saat selesai membaca bab terakhir dari buku ini, rasanya aku ingin memeluk Baek Se Hee dan bekata, "Terima kasih karena tetap hidup", kata-kata yang sebenarnya aku tujukan untuk dirinya dan diriku sendiri. "Kamu tahu kalau apa yang kamu lalui itu tidak mudah, benar-benar tidak mudah. Tapi, kamu sudah melaluinya dengan baik. Terima kasih." *pukpuk

Di halaman depan buku ini, Baek Se Hee menyisipkan kata-kata dari Viktor Frankl dalam bukunya From Death-Camp to Existentialism.

"Penderitaan manusia mirip dengan perilaku gas. Jika gas dalam jumlah konstan dipompa ke dalam ruangan kosong, seberapa pun besarnya, ruangan itu akan dipenuhi oleh gas secara merata. Begitu pula dengan penderitaan manusia. Penderitaan memenuhi jiwa dan kesadaran kita tanpa peduli besar kecilnya penderitaan tersebut. Penderitaan sifatnya sangat relatif."

Menurutku, perkataan Viktor Frankl ini benar-benar mengingatkan kita bahwa kita tidak tahu secara pasti apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain, bagaimana kondisi mereka saat mendapatkan sebuah trigger, apa saja yang mereka rasakan dan pikirkan. Kita tidak tahu dengan pasti, karena seperti Viktor Frankl bilang bahwa, "Penderitaan itu relatif". Bisa saja apa yang dianggap sepele bagi kita ternyata memenuhi hati dan jiwa orang lain seperti gas yang memenuhi ruangan kosong.

Lalu, saat kemarin aku menonton IG Live nya Dr. Jiemi Ardian, ia berkata, "Orang-orang yang pernah mengalami rasa sakit sebenarnya mempunyai privillege. Karena mereka bisa merasakan empati pada orang lain yang juga merasakan penderitaan yang sama." Karena para profesional bisa saja punya pengetahuan yang banyak dan pengalaman bertahun-tahun dalam menangani pasien, tapi mereka tidak pernah berada di posisi pasien yang merasakan betapa sulitnya menjalani hidup dengan gangguan mental. Psikologku pun pernah menyarankanku untuk mencari komunitas yang memiliki gejala yang mirip denganku agar aku lebih merasa relate dengan orang lain dan memilliki motivasi lebih tinggi untuk pulih.

"Only those who have suffered truly understand suffering." - Dr. Oh Ji Wang (It's Okay To Not Be Okay)

Bagi Baek Se Hee, bagiku, bagi kalian, dan bagi mereka yang mengalami dan merasakan hal serupa, keadaannya bukan lagi, "Aku lebih menderita dari pada mereka", "Aku yang paling menderita di sini, yang lain gak akan paham", tapi lebih terdengar seperti, "Aku tahu ini semua gak mudah, tapi kamu gak sendirian. Ayo, kita lewati sama-sama". Biar bagaimanapun, hidup itu bukanlah kompetisi, perjalanan menuju kesembuhan pun bukanlah kompetisi.

Jadi, bagi kalian yang sedang merasa tidak baik-baik saja, semoga buku ini bisa merangkul kalian dan membuat kalian tidak merasa sendirian (walau aku masih tidak menyarankan kalian untuk baca buku ini kalau kalian sedang dalam keadaan "tidak baik-baik saja"). Untuk kalian yang sedang merasa baik-baik saja saat ini, semoga kalian tetap merasa baik-baik saja esok hari dan esok harinya lagi..


Another book review:

* I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki

Loving The Wounded Soul

I Decided To Live As Myself

Norwegian Wood

Penance

* and so on

 

Comments

  1. Baru baca review nya aja udah nangis

    ReplyDelete
  2. Halo! Wishlist aku juga nih! Harus berurutan dr yg pertama atau kalau baca langsung yg kedua ini okeoke aja?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Better baca yg pertama dulu, sih. Krn penulisnya menjabarkan pengalaman dia konseling karena distimia di buku pertama, di buku kedua ini dia menceritakan proses kesembuhannya dan penerimaan dirinya.

      Delete
  3. Hallo, aku suka bngt blognya. Cara penulisanya juga bagus bngt, enak bngt pokoknya. ๐Ÿ˜ŠSemangat terus ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah terima kasih ya sudah membaca ๐Ÿ˜†๐Ÿ˜† Komentarmu bikin aku pingin menulis terus ๐Ÿฅบ๐Ÿฅบ๐Ÿ™๐Ÿ™

      Delete

Post a Comment

Popular Posts