Me After Bookstagram

Terinsipirasi dari postingan Kak @readyn.diary, aku jadi kepingin ikutan juga bikin perbedaan before dan after aku join komunitas bookstagram. Dan ternyata bikin post ini aku malah jadi banyak merenung terlebih lagi aku emang suka merenung sih anaknya (satu geng sama para overthinker).




Akhir tahun lalu aku bilang kalau membuat akun bookstagram adalah keputusan terbaik yang ku lakukan sepanjang tahun 2021 dan per hari ini akunku umurnya sudah hampir 1.5 tahun. Jadi apa aja sih yang ku dapat setelah aku jadi bookstagrammer? Ini hasil perenunganku: 

1. Diversifikasi Bacaan

Sebelum jadi bookstagram:

- Komik (Doraemon, Miiko, Detektif Conan)

- Young Adult (mostly John Green's book)

- Metropop (mostly Ilana Tan's book)

- Misteri Detektif (mostly Sherlock Holmes)

- Children Book

Bisa dilihat kalau sebelum jadi bookstagram bacaanku genrenya itu-itu aja dan dari penulis yang itu-itu aja 😂😂


Setelah jadi bookstagram:

- Fiction

    - Poetry Book

    - Coming of Age

    - Mental Health

    - Feminism

    - Education

    - Misteri Detektif

    - Psychological Thriller

    - Historical Fiction

    - Slice of Life

- Non Fiction

    - Mental Health

    - Memoar

    - Sains

    - Self help

Genre lain yang coba ku baca tapi belum merasa nyaman bacanya:

- Sastra

   Nampaknya otakku belum siap mencerna buku sastra apalagi sastra klasik yang gaya penulisannya aduhai sekali

- Buku tentang kekerasan seksual

   Aku masih belum sanggup mengikuti rasa frustasi korbannya saat mencari keadilan untuk dirinya sendiri. Meski ada hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual tapi orang-orang di persidangan (hakim, juri, jaksa, dll) seringkali gak memihak korban, bahkan memojokkan korban 🤬🤬

- Fantasi

   Masih dalam tahap ngumpulin mood buat baca Harry Potter 😬😬

- Finance

   Meski backgroundku dari finance tapi aku mager banget baca buku finance (padahal butuh 😅😅)

Terlihat banget kan ya bedanya buku-buku yang ku lahap di masa pra-bookstagram dan setelah join bookstagram. Yang paling mencolok adalah ketertarikanku pada buku-buku non-fiksi, terutama yang topiknya tentang mental health. Dulu-dulu mana mau aku nyentuh non-fiksi karena dalam pikiranku buku non-fiksi itu berat dan boring. Hayo, siapa yang mikirnya kayak aku juga? Tapi, ternyata pas dicicipi tuh gak seberat dan semembosankan yang aku kira! Tapi, bacanya memang harus baby step. Pilih buku yang tipis dulu atau yang topiknya kita butuh, jangan langsung baca yang 500 halaman. Yang ada belom apa-apa udah gumoh wkwkwk


2. Lebih kepo pada banyak hal

Poin 2 ini berkaitan dengan poin 1. Bacaanku makin terdiversifikasi karena aku banyak membaca review-review bookstagrammer lain tentang buku-buku yang genrenya belum pernah aku baca, lalu aku kepo dan akhirnya coba-coba baca. Selain itu, kalau menemukan bahasan yang menarik pun aku jadi lebih banyak mencari tau. Misal saat membaca Sweet Bean Paste, aku jadi mencari tau tentang sejarah Hansen Disease (atau kusta) dan bagaimana penyakit itu menjadi trauma bagi masyarakat Jepang, lalu saat membaca Susu dan Telur aku pun mengulik banyak hal tentang AID (donor sperma) yang penuh dengan pro dan kontra.

 

3. Lebih banyak ikut diskusi buku

Poin 3 berkaitan dengan poin 2. Karena aku kepo dan kurasa mencari di google aja gak cukup, maka aku ikut banyak diskusi buku. Dan ternyata menarik sekali rasanya bisa mendengar impresi dari pembaca-pembaca lain ataupun pendapat dari pembaca-pembaca lain dari 1 buku yang sama. Di buku Norwegian Wood, ada 1 tokoh yang mengatakan, “If you only read the books that everyone else is reading, you can only think what everyone else is thinking”, dan aku sama sekali gak setuju dengan kalimat itu. Karena nyatanya, sebuah buku bisa dibedah dari berbagai sisi dan juga bisa melahirkan berbagai sudut pandang. Dan juga concern setiap orang pada suatu buku pasti berbeda-beda. Ada yang menyoroti tokoh utamanya, ada yang menaruh perhatian pada tokoh pendukungnya, ada yang merasa plotnya menarik, ada yang merasa endingnya bisa memiliki kemungkinan lain. Belum lagi kalau buku tersebut mengangkat isu sosial, wah pasti makin ramai lagi diskusinya

 

4. Buddy read

Poin 4 ini tentu aja berkaitan dengan poin 3 wkwkwk Aku jadi suka ikutan baca bareng yang biasanya dilakukan di periode tertentu biar bisa ikutan diskusi bukunya. Atau kadang ada temanku sesama bookstagram yang juga ngajakin baca bareng, habis selesai baca kami saling berbagi impresi kami setelah membaca. Dulu-dulu aku pikir membaca itu lebih asik kalau dilakukan sendirian tapi ternyata kalau ada teman bacanya pun gak kalah menyenangkan! Malah lebih seru karena bisa heboh bareng 🙊🙈


5. Wishlist meningkat drastis, begitu juga jumlah teman

Nah, karena sering baca review-review bookstagram lain, tentu aja wishlistku meningkat drastis. Tapi dari situ juga aku jadi dapat teman banyak. Komentar sesederhana, "Wah, reviewnya bagus. Jadi pingin baca", atau "Aku juga suka banget sama buku ini. Tokoh yang aku suka..." itu bisa jadi pemantik pertemanan di dunia maya. Lalu belum lagi kalau aku sharenya di ig story dan ada yang dm tentang bukunya ataupun sebaliknya. Akhirnya gak jarang aku ngobrol seru tentang buku lewat dm sampai berhari-hari tapi masing-masing saling gak tau namanya siapa 🤣🤣 Hal terfavorit dari menjadi bookstagrammer adalah memangkas perkenalan basa-basi 👍🏻👍🏻

 

6. Jadi lebih kritis sekaligus merasa lebih bodoh (in a good way)

Dengan lebih banyak membaca, mencari tau, dan berdiskusi, aku jadi lebih kirits dan lebih open-minded dalam memandang segala sesuatu. Yang tadinya aku asik sendiri di dalam dunia kecilku, aku jadi lebih berani melangkah ke dunia yang lebih luas dan karena itu lah aku jadi merasa bodoh. Kalian tau kan dengan paribahasa, "padi semakin berisi semakin merunduk"? Itulah yang aku rasakan. Di hadapan pengetahuan, aku ini bukan apa-apa. Di hadapan dunia yang luas ini, ada banyak sekali hal yang belum aku ketahui. Dan semakin aku mencari malah lebih banyak lagi hal yang belum ku ketahui. Karena itu aku jadi merasa bodoh. Tapi karena aku merasa bodoh, aku jadi semakin penasaran dan semakin ingin mencari tau lebih banyak.


7. Membuatku melihat sisi lain dari media sosial

Poin 7 ini adalah rangkuman dari poin 1-6. Banyak yang mengira bahwa media sosial itu penuh dengan hal-hal negatif yang bisa membuat kita kecanduan dan tidak produktif. Aku sependapat, karena memang akan begitu jadinya kalau kita tidak tau bagaimana cara menggunakan media sosial yang baik. Tapi sejak punya akun bookstagram, aku banyak "bertemu" dengan hal-hal baik dan orang-orang baik. Dan satu hal lain yang sangat kusukai dari komunitas bookstagram adalah orang-orang di dalamnya sangat beragam, sangat chill, tapi juga sangat supportif.

Kalau ada orang yang bikin ulah di dunia literasi (seperti pembajakan, ngata-ngatain yang beli buku bahasa inggris itu tukang flexing, book shaming, dll), mereka pasti satu suara berusaha "membasmi" orang-orang itu sekaligus merangkul orang-orang yang jadi korban secara langsung maupun gak langsung. Seperti saat berhadapan dengan isu pembajakan buku, banyak yang mengedukasi kerugian yang ditimbulkan dari pembajakan dan juga memberikan tips dan trik untuk membaca buku secara legal tapi ramah di kantong. Atau yang kemarin heboh gara-gara ada yang ngomong list bacaannya Maudy Ayunda itu terrifying (dari sekian banyak ulah netijen, "terrifying" ini jadi kejulidan yang paling menghiburku, sih 🤣🤣), banyak yang akhirnya menyuarakan pendapat mereka tentang buku-buku yang masuk list bacaannya Maudy Ayunda yang sebenarnya gak se-terrifying itu kalau dibaca. Nah, kalau bertemunya dengan komunitas yang baik dan supportif kayak komunitas bookstagram ini kurasa banyak orang akan merasakan sisi lain dari media sosial yang jauh lebih positif seperti yang aku rasakan.


8. Growing as human

Selain poin 1-7, bergabung di komunitas bookstagram juga membuatku menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Kemampuan toleransiku jadi lebih baik karena aku lebih paham kalau setiap orang berhak punya pendapat mereka masing-masing. Kemampuan bersosialisasiku juga jadi meningkat drastis, karena menjadi ramah pada orang lain itu menyenangkan dan begitu juga sebaliknya. Aku gak terus-terusan mikirin followers (memang gak terobsesi pingin punya followers puluhan ribu, sih. Cuma sekali-sekali ya ada juga overthinkingnya) dan percaya apa yang aku tuai ya apa yang aku tanam. Jadi kalau bookstagrammer lain punya followers sampai ribuan itu karena mereka rajin posting, punya personal branding yang kuat, dan lebih niat juga dibanding aku wkwk. Tapi, aku juga lebih suka kalau orang-orang follow aku karena suka dengan caraku mereview buku atau memberikan suatu hal positif bagi mereka.

Dan yang terpenting, bergabung di komunitas bookstagram ini membuatku percaya bahwa masih banyak orang-orang baik di bumi yang sudah semakin semerawut ini. Meski makin ke sini yang "berisik" dan viral itu adalah konten-konten yang yah.. gitu deh.. tapi dari komunitas ini banyak orang yang punya niat untuk membagikan hal-hal baik dan menggerakkan roda literasi meski banyak sekali halangan rintangannya.

Jadi yah begitulah hasil perenunganku selama beberapa hari terakhir. Dan sejauh ini, membuat akun bookstagram masih menjadi salah satu hal terbaik yang aku lakukan sepanjang hidup 🙆🏻‍♀️🙆🏻‍♀️

Comments

Popular Posts