To Finish The Unfinished Puzzle

10 hari lagi berakhir sudah tahun 2020 yang meliak-liuk dan naik turunnya melebihi roller coaster. Dan post ini seperti mandatory post tahun-tahun sebelumnya. Hmm awalnya aku agak bingung sih aku perlu nulis apa, karena aku merasa tahun 2020 ini memberikan sensasi yang aneh yang agak sulit untuk aku deskripsikan dengan kata-kata. Dan tadinya aku berpikir begini, "Tahun ini aku gak melakukan apa-apa." Yah, kalau dibandingin dengan resolusi dan rencanaku yang hampir semuanya gagal terchecklist (kecuali resolusi untuk membaca lebih banyak buku) ya bisa dibenarkan kalau aku bilang tahun ini aku gak melakukan apa-apa. Tapi, waktu aku menilik lagi agendaku, yang menemaniku selama hampir 12 bulan terakhir, ada banyak banget kok hal yang aku lakukan.

Tahun ini isi agendaku jauh lebih penuh dari tahun-tahun sebelumnya. Aku mengeksplor lebih banyak hal daripada tahun-tahun sebelumnya, aku mengikuti jauh lebih banyak workshop & webinar daripada tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun aku lebih fokus belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Korea daripada tahun-tahun sebelumnya. Tapi, kenapa ya aku merasa gak achieve sesuatu? Jawabannya aku dapatkan kemarin malam setelah mengikuti diskusi akhir tahun tentang rasa syukur dari Penerbit Haru, Goodreads, dan Klee. Apa jawabannya? Karena apa yang aku lakukan tahun ini tuh gak ada target yang terukur, konkret, dan jelas. Aku banyak belajar, aku eksplor banyak hal, aku mencoba produktif, semata-mata untuk meningkatkan moodku yang naik turunnya melebihi grafik IHSG dan juga aku mengantongi alasan yang sama dengan orang-orang kebanyakan: untuk bertahan. Yah, walau jelas caranya mungkin berbeda dengan orang kebanyakan, ya. Wkwkwk

Apa aja hal yang aku eksplor? Macam-macam. Workshop pertama yang aku ikuti adalah workshop tentang Bahasa Isyarat, lalu aku juga ikut beragam diskusi buku dengan beragam genre, ikut workshop menulis dan penyuntingan, ikut workshop tentang finance, lalu ikut beberapa workshop tentang mental health dan mindfulness juga. Saat keadaan normal, jelas aku gak akan mengikuti wokshop sebanyak itu. Karena selain perlu menyesuaikan waktu dan jarak tempuh ke lokasi, otakku selalu punya 1001 alasan yang membuatku gak jadi datang ke workshop yang sudah aku idam-idamkan. Tapi, tahun ini ikut workshop/webinar cukup buka zoom/google meet di laptop, kan? Bagiku mengikuti acara secara online adalah keuntungan tersendiri, karena seringnya aku merasa takut dan canggung setengah mati berada di satu ruangan yang penuh dengan orang-orang asing. Yah, inilah salah satu caraku untuk bertahan di tahun 2020 ini.

Seperti yang aku bilang sebelumnya kalau aku gak merasa achieve apa pun karena aku gak punya target yang terukur, konkret, dan jelas. But, in the end I can connect the dots. All the things that I learned this year help me to be a better person in some aspect. Tanpa aku sadari aku jadi tahu lebih banyak hal dan aku jadi bisa mendengar lebih banyak perspektif dari orang lain tentang suatu topik yang aku minati. And when I ask myself, "What are you doing actually?", "What do you want to do with all the things that you've learned?", "What is the purpose of your exploration?" I can come up with this conclusion: to finish the unfinished puzzle.

freepik.com


Beberapa waktu lalu, saat aku mengobrol dengan sepupuku setelah kami selesai melakukan rutinitas belajar Bahasa Korea mingguan, dia bilang kalau pengetahuanku luas karena aku banyak baca buku dan banyak eksplor. Saat itu aku terdiam. Gak mengiyakan, gak juga menolak. Otakku malah sibuk memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang ku sebutkan tadi, kemudian jawaban itu pun muncul. To finish the unfinished puzzle.

Aku merasa bahwa dunia ini terlalu besar untuk aku eksplor sendiri, terlalu besar untuk aku lihat hanya dengan dua buah mataku, terlalu banyak hal yang bisa ditangkap oleh telingaku, dan terlalu banyak hal yang belum aku tahu. Dan mungkin ini adalah esensinya. Esensi dari membaca, berdiskusi, dan mencari tahu, cara-cara yang aku lakukan untuk mengkeksplor lebih banyak hal. Semakin aku mengeksplor semakin aku merasa kurang, karena saat aku pikir aku menemukan jawaban atas pertanyaanku, pertanyaan-pertanyaan baru mulai bermunculan dan mengantri untuk dicari tahu jawabannya.

Setiap tahun aku juga selalu merasa aku sudah belajar banyak hal, aku sudah menjadi individu yang lebih baik dari tahun sebelumnya dan seringkali dengan sombongnya aku berpikir, "Apa lagi yang bisa lebih baik dari diriku yang sekarang?" Banyak! Setiap tahun aku berpikir aku sudah cukup baik, tahun berikutnya pula aku mendapat banyak sekali pelajaran yang membuat diriku lebih baik lagi. Jadi ada banyak sekali hal yang masih perlu aku eksplor, baik hal-hal di dalam diriku ataupun hal-hal di luar diriku. Setiap saat aku seperti menemukan potongan puzzle baru, tapi begitu potongan puzzle tersebut aku taruh untuk melengkapi susunan puzzleku yang sebelumnya, papan puzzleku malah semakin membesar dan terlihat permukaan kosong yang semakin luas. (Aku gak tau sih penjelasanku ini bisa dipahami atau engga. Wkwkwkwk) Dan di situlah aku menyadari bahwa puzzleku gak akan pernah selesai sampai kapanpun.

Lalu, untuk apa jadinya aku terus-terusan mengeksplorasi hal baru kalau sudah tau puzzleku gak akan pernah selesai sampai kapanpun? Mungkin jawabanku akan terdengar aneh, but I find my fulfilment through exploration. Setiap aku menemukan hal baru, aku merasa di dalam kepalaku seperti ada letupan-letupan kembang api yang membuatku langsung bersemangat. Entah hal itu adalah hal yang menarik untuk orang lain ataupun engga (kebanyakan sih engga, ya wkwkwk), aku tetap cari tahu. Sesepele kenapa keyboard itu hurufnya berantakan dan terkenal dengan merk QWERTY, kenapa jumlah baris di microsoft excel adalah 1.048.576, kenapa di Jogja ada yang namanya juru kunci, dan hal-hal "membosankan" lainnya. Dan aku pikir ini adalah salah satu hal yang membantuku untuk berpikir kritis. Terbiasa bertanya, "Kenapa?" Sederhana, ya. Cuma tanya, "Kenapa?" aja dan googling maka kita bisa tahu semua hal yang menari-nari di otak kita. Kalau merasa belum cukup dengan googling, aku akan baca buku atau berdiskusi dengan orang-orang yang mau aku ajak diskusi. Yah, gak semua orang bisa tahan membicarakan buku, pulpen, atau solatip selama berjam-jam, kan. (Maka di post ini juga aku mau berterimakasih pada sepupuku itu yang entah kenapa obrolannya bisa nyambung sama aku wkwkwk)

Ada satu kegalauan lagi yang seringkali aku pikirkan tahun ini. Aku ini kepo tapi gak punya ambisi. Wkwkwkwkwk Seringkali aku menggunakan rasa ingin tahuku yang menggebu-gebu untuk mengeksplor suatu hal sampai aku puas. Lalu, aku bertanya-tanya, "Apa jadinya kalau "skill" ini aku gabungkan dengan ambisi?" Bukannya aku sombong atau merasa tinggi atau gimana, aku hanya bertanya-tanya bisa jadi kayak apa aku kalau aku punya ambisi. Tapi, kemudian aku berpikir lagi mungkin aku bukannya gak punya ambisi, tapi aku punya kemampuan untuk merasa cukup, maka aku gak perlu mengejar lebih.

Asal gajiku cukup untuk masa kini, masa depan, dan masa-masa harbolnas *loh* itu cukup. Asal aku bisa sehat dan gak engap pas jalan atau lari, maka berat badan yang nyerepet dikit dari berat badan ideal itu cukup. Asal aku bisa melakukan hal-hal kecil untuk membantu orang lain, gak perlu jadi influencer ataupun orang besar pun sudah cukup. Tulisanku gak perlu sampai dimuat di koran nasional dan jadi viral dulu untuk menggerakan hati banyak orang, kalau ada 1-2 orang yang bilang tulisanku bagus menurut mereka rasanya juga sudah cukup.

Satu-satunya hal yang menurutku gak cukup adalah pengetahuan, maka aku putuskan kalau aku akan terus kepo dan terus mengeksplor hal-hal baru untuk menyelesaikan puzzleku yang gak akan pernah selesai.

Comments

Popular Posts