Tentang Penerimaan dan Harapan
Pagi tadi aku mengikuti sesi yang diadakan oleh Dr. Jiemi Ardian dan Kak Nago Tejena tentang Penerimaan dan Harapan yang merupakan sebuah seminar untuk penggalangan dana susu untuk Hiro. Iya, tahu aku kalau hari ini hari Minggu. Banyak orang pasti akan merasa kalau hari Minggu adalah waktunya tidur sampai siang. Tapi, kan aku gak biasa ngikutin orang kebanyakan. Malah aku merasa kalau hari libur itu adalah hari di mana aku bisa melakukan hal yang aku suka sepuasnya. Yah, aku gak suka tidur sih, jadi kalau orang lain lebih memilih tidur sampai siang maka aku memilih melakukan hal lain. Salah satunya mengikuti seminar ini.
cr: Instagram @jiamiardian |
Btw, Hiro itu siapa, sih? Kenapa seminar ini dibuat untuk menggalang dana susu untuk Hiro, memang Hiro kenapa? Jadi, Hiro itu adalah seorang bayi laki-laki yang terlahir dengan kondisi langka. Yaitu Moebius Syndrome dan Poland Syndrome. Apaan, tuh? Meobius Syndrome adalah kelainan langka pada saraf yang menyerang beberapa bagian otak, khususnya bagian saraf otak yang berfungsi untuk mengendalikan otot-otot pada wajah, rahang, mulut, lidah, dan kelopak mata. Dengan kata lain, Hiro tidak bisa berekspresi dan caranya menyampaikan emosi akan berbeda dengan orang-orang kebanyakan. Lalu, kalau Poland Syndrome tuh apa? Poland Syndrome suatu kondisi yang menyebabkan kurangnya perkembangan otot pada satu sisi tubuh. Maka, sampai saat ini, Hiro masih membutuhkan ventilator untuk membantunya bernapas lebih baik (karena Hiro punya Gerd juga yang membuat asam lambungnya sering naik) dan Hiro juga dipasangkan semacam selang di tenggorokannya untuk membantunya makan dan minum. Karena kalau dia makan dan minum lewat mulut, makanan dan minuman yang masuk akan lari ke paru-paru bukan ke sistem pencernaan.
Belum sampai di situ, Hiro juga memiliki keunikan yang lain. Yaitu tangan kanannya bulat. Bulat? Kayak Doraemon gitu tangannya bulat? Iya, ayahnya bilang kalau tangan Hiro kayak Doraemon. Hiro terlahir tanpa jari di tangan kanannya yang dalam bahasa medis disebut sebagai Adactyly, yang katanya mungkin terjadi karena berhubungan dengan Moebius Syndrome.
cr: Instagram @aku.superhiro |
Nah, karena keunikan Hiro yang seperti itu, maka asupan makanan Hiro pun berbeda dengan asupan makanan bayi-bayi lain. Hiro perlu susu khusus untuk membantunya agar tetap semangat. Maka, seminar ini dibuat seharga 2 botol susu untuk Hiro. Kalian bisa lihat selucu apa Hiro di akun instagramnya, aku.superhiro. FYI, Hiro ini adalah anak pertama dari Dr. Andreas Kurniawan dan Kak Sora Tan.
Hmm daripada dibilang aku mengikuti seminar ini untuk membantu Hiro, rasanya lebih tepat jika kalimatnya dibalik. Hiro yang membantu aku.
Beberapa hari (atau minggu) terakhir ini, aku kembali merasa tidak baik-baik saja. Aku kembali mudah marah; kembali mudah menangis (emang udah mudah nangis sih anaknya. Tapi, semakin mudah menangis lagi kalau tersentil dikit); kembali mengalami gangguan tidur; kembali merasakan perasaan "tidak berharga", "tidak berguna", "tidak cukup", dan "tidak-tidak" lainnya. Intinya, seperti istilah yang pernah aku bilang, hawa negatif seolah merangkulku erat sekali, sampai menarik napas pun rasanya sulit sekali.
Kenapa aku bisa (kembali) merasa begitu? Bisa jadi karena memang keadaannya sedang depresif (corona membuat aku gak bisa sering-sering piknik hiks), bisa jadi karena banyak hal yang membuatku kelelahan, bisa jadi karena aku belum melanjutkan sesi konselingku (lagi-lagi karena corona), atau alasan-alasan lain yang aku gak ngeh apa. Iya, kondisi mental itu gak bisa dijawab dengan pasti seperti kita menjawab 1+1=2, kan. Tapi, yang pasti aku tahu kalau memangnya masih banyak hal yang belum selesai.
Karena hal inilah, akhir-akhir ini aku merasa sia-sia pakai skincare, ujung-ujungnya aku pasti bangun tidur dengan mata sembab atau bahkan bengkak dan wajah yang kusam. Entah karena kualitas tidurku kurang atau karena aku menangis terus sampai tengah malam.
Btw, ini aku mau ceritain seminarnya kok malah jadi curhat panjang lebar, ya. Hehe
Oke, jadi seminar yang dibawakan oleh Dr. Jiemi dan Kak Nago ini tentang apa? Tentang penerimaan dan harapan, sesuai dengan judulnya.
Sesi pertama dibawakan oleh Dr. Jiemi, yang merupakan seorang psikiater, yang membahas tentang Penerimaan. Pertama-tama, Dr. Jiemi mengomentari poster yang menjadi media mereka memberitahu seminar ini. Kalau kalian lihat, dalam poster terdapat typo kata PENERIMAAN menjadi PENERIMAN. Kesalahan yang sebenarnya tidak sengaja dibuat oleh Kak Nago sebagai penanggung jawab, tapi malah bisa dijadikan sebagai hal yang berhubungan dengan isi seminar. Kesalahan seperti itu adalah ketidaksempurnaan yang wajar.
Dr. Jiemi kemudian bertanya, "Coba sebutkan satu orang yang hidup dan ada di sekitar kalian, yang sempurna." Jawabannya pasti gak ada. Semua orang itu gak sempurna dan membuat kesalahan adalah sifat alami manusia. Saat Dr. Jiemi menjelaskan hal ini, aku merasa lucu sendiri. Maksudnya lucu adalah seperti ada bohlam lampu yang menyala di atas kepalaku. Membuat kesalahan adalah sifat alami manusia tapi manusia jugalah yang berkali-kali menolak kesalahan. Manusia jugalah yang berusaha mengejar kesempurnaan, padahal gak ada yang bisa sempurna. Lucu kan manusia itu?
Dr. Jiemi mengatakan bahwa "menerima" sebenarnya adalah tindakan yang aktif. Menerima itu tidak sama dengan giving up. Memang banyak orang yang salah kaprah tentang hal ini, termasuk aku. Menerima adalah menerima. Menerima hal yang tidak bisa kita ubah, hal yang ada di luar kendali kita. Sementara giving up itu menerima hal yang sebenarnya bisa kita usahakan, hal yang sebenarnya ada di dalam kendali kita tapi kita biarkan.
cr: Slide seminar Dr. Jiemi Ardian |
Aku jadi ingat satu pertanyaan yang diajukan oleh (mantan) atasanku saat aku interview, "Hal apa yang membuat kamu stres?" Tanpa babibubebo aku menjawab, "Hal yang tidak bisa saya ubah lagi." Itu adalah jawaban yang aku lontarkan sekitar 4 tahun lalu dan butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk menyadari bahwa aku berpegang teguh pada prinsip yang salah. Kan udah tau kalau hal itu gak bisa diubah lagi, jadi yaudah ngapain dipikirin sampai bikin aku stres? Yang perlu aku lakukan adalah menerima.
Tapi, seringkali aku malah bertanya "kenapa?" yang membuatku malah semakin sering melawan realita.
"Kenapa hal ini harus terjadi?"
"Kenapa begini hasilnya?"
"Kenapa aku begini terus hidupnya?"
Dan "kenapa kenapa" yang lain. Iya, pertanyaan "kenapa?" ini ibarat pisau bermata dua bagiku. Saat aku bertanya "Kenapa?" seperti yang sering aku lontarkan dulu, aku malah semakin menjatuhkan diriku, semakin menyakiti diriku karena aku terus-terusan melawan realita yang ada. Tapi jika pertanyaannya aku ubah menjadi,
"Kenapa memangnya kalau begini?"
"Kenapa kamu merasa begini karena hasilnya begitu?"
Pertanyaan "Kenapa?" akan membantuku untuk menerima realita dan menyadari emosi yang aku rasakan saat itu (karena sampai saat ini aku masih belum pandai untuk mengenali emosiku sendiri).
Dalam pembahasannya, Dr Jiemi pun menjelaskan istilah Radical Acceptance, yaitu berhenti melawan realita, secara menyeluruh. Jadi, realita yang ada mau realitanya kita suka atau tidak suka harus kita terima seluruhnya. Misalnya si A bilang, "Dia orangnya abusive sih, tapi dia kadang juga baik, kok." Kalau begitu ceritanya berarti Si A hanya menerima realita "kadang dia baik" padahal "dia orangnya abusive" juga merupakn realita. Kalau si A menolak realita yang dia tidak suka, maka dia akan terus tersakiti. Dengan radical acceptance, kita akan berhenti melawan realita, berhenti melemparkan emosi karena realita tidak sesuai dengan yang kita harapkan, dan berhenti mendapatkan kepahitan.
cr: Slide seminar Dr. Jiemi Ardian |
Ada kan kalimat, "Beautiful lie. Hurtful truth"? Aku akui bahwa realita itu kadang bisa sangat menyakitkan. Hal yang selama ini aku lakukan pun mengabaikan realita yang ada, lari dari realita yang semestinya aku hadapi. Apakah dengan aku mengabaikan dan lari begitu maka realitanya akan berubah? Tentu tidak. Maka, seminar ini selain memberi angin segar pada hari-hariku yang (kembali) terasa kelam, juga kembali mengingatkanku bahwa tak ada gunanya berkelahi melawan realita, yang ada hanya akan menambah kepahitan dan rasa sakit.
"Accept reality as what it is"
Sesi kedua dibawakan oleh Kak Nago Tejena yang merupakan seorang psikolog klinis. Kak Nago menjelaskan mengenai apa itu harapan. Selama ini, aku merasa bahwa harapan = ekspektasi. Ternyata tidak sepenuhnya benar, walau tidak sepenuhnya salah juga. Kak Nago menjelaskan bahwa harapan sebenarnya adalah hal yang bisa memberi arah dan tujuan dalam hidup kita. Harapan memang berada jauh di masa depan, kita gak pernah tahu kapan pastinya harapan kita akan terpenuhi. Tapi, harapan bisa membuat semua hal yang kita lakukan dan rasakan selama ini terasa worth it. Misal, harapan untuk bisa bebas finansial. Saat ini bersakit-sakit dulu gak apa-apa, kerja keras sampai weekend gak apa-apa. Harapannya 5-10 tahun lagi bisa bebas secara finansial.
Menurut Kak Nago, harapan itu juga merupakan tindakan aktif. Bukan serta merta kita diam saja dan berharap hal baik akan muncul, tapi saat kita membuat harapan, kita juga bergerak meuju harapan kita. Kak Nago menambahkan, "kalau kita memiliki harapan, kita bisa memilih-milih masalah mana yang bisa kita prioritaskan, problem mana yang bisa kita selesaikan agar kita bisa bergerak menuju harapan yang kita tuju."
Kalau kita berharap itu pastinya berharapnya hal baik, kan? Sayangnya, kita cenderung percaya dengan kata-kata yang buruk dan spekulasi-spekulasi orang lain.
"Mana bisa kamu jadi dokter, uang kuliahnya kan mahal."
Gimana kalau ternyata bisa jadi dokter?
"Mana bisa kamu jadi orang sukses, sekarang buat makan aja susah."
Gimana kalau kerja kerasmu nanti ternyata membuahkan hasil yang setimpal?
Kata-kata buruk dan harapan yang terlontar itu kan adanya sama-sama di masa depan. Bisa atau engga kamu jadi dokter kan hasilnya muncul di masa depan, bisa atau engga kamu sukses pun hasilnya baru kelihatan di masa depan. Tapi, kenapa kita seringnya lebih percaya dengan kata-kata yang buruk? Kenapa coba, Mei? Coba tanyakan pada dirimu sendiri, deh.
Sesi terakhir adalah sesi tanya jawab dan ada beberapa pertanyaan bagus menurutku.
Q: "Sejauh mana kita perlu menggantungkan harapan kita pada orang lain?"
A: "Sejauh kamu merasa penerimaan orang lain itu penting."
Jeger!! Baru pertanyaan pertama aja tapi rasanya aku disamber gledek. Aku punya banyak problem sebenarnya dan salah satu problem terbesar yang seringkali menghantuiku adalah "penerimaan orang lain" ini. Awalnya aku pikir aku adalah orang yang cuek bebek. Orang mau ngomong apa ya terserah, orang mau ngatain apa ya terserah. Nyatanya, aku gak secuek yang aku kira.
Setelah aku memahami pentingnya self-awareness, aku selalu mengamati apa yang aku pikirkan dan rasakan kalau aku menerima respon dari orang lain. Aku tidak suka melihat orang kecewa, entah aku tahu itu dari raut wajahnya atau intonasi suaranya atau gerakan refleksnya. Maka, aku berusaha untuk menyenangkan semua orang yang aku temui, istilahnya adalah "Peope Pleaser".
Aku merasa kalau bisa menyenangkan orang lain, kalau bisa membantu orang lain, barulah aku berfungsi sebagai manusia. Kalau aku tidak bisa menyenangkan atau membantu orang lain, maka aku akan merasa diriku gak ada gunanya. Maka, respon orang lain sangat penting untukku. Agar aku bisa memvalidasi diri, agar aku bisa merasa berguna dan berharga. Penerimaan orang lain. Kalau responnya jelek, aku akan merasa ditolak dan aku gak ada gunanya. Iya, selama ini aku hidup di antara dua kutub yang sangat berlawanan.
Dulu, psikologku bahkan perlu berkali-kali meyakinkanku agar aku tak perlu TERLALU memikirkan apa yang dipikirkan orang lain atau apa yang dikatakan orang lain tentang aku.
"Kenapa kamu harus memikirkan perkataan orang lain selama hal yang kamu lakukan adalah hal yang positif?"
Pertanyaan itu membawaku pada pemahaman bahwa, "gak semua orang akan menyukaiku, tapi bukan tugasku juga untuk membuat semua orang senang".
Dr. Jiemi mengatakan bahwa dalam pertanyaan yang diajukan itu bukanlah perkara "apa yang kita lakukan VS apa yang orang lain lakukan" tapi "apa yang kita lakukan VS keinginan kita untuk bisa diterima oleh orang lain". Lalu, menurut Kak Nago kalau kita mau menggantungkan harapan pada orang lain tuh sah-sah aja. Tapi, kita gak boleh komplain kalau harapan itu gak dipenuhi.
Dan sejujurnya, saat menulis tulisan ini pun ada kecemasan lagi yang menghantui.
"Apakah aku perlu post tulisan ini?"
"Atau jadi draft aja, ya?"
"Atau diprivate aja?"
Hanya karena (lagi-lagi) aku takut dengan penilaian yang diberikan orang lain padaku.
"Gimana kalau teman-temanku yang gak tau baca?"
"Gimana kalau si ini si itu baca?"
"Apa yang akan mereka pikirkan tentang aku?"
Dan sekian banyak pertanyaan lain yang tak mau berhenti bergema di otakku. Padahal tuh realitanya apa? Belum tentu semua orang yang aku kenal bakal baca.
"Lalu, kalau baca memangnya kenapa?"
"Apa yang mereka pikirkan itu diluar kendalimu, bukan?"
"Yang ada di dalam kendalimu adalah apa yang kamu tulis dan menurut kamu tulisanmu ini untuk apa? Untuk dirimu sendiri, kan?"
"Lantas, kenapa harus takut pada pemikiran orang lain kalau kamu tahu untuk apa kamu menulis?"
"Memangnya kamu menulis tentang hal-hal buruk atau hal-hal yang menghina orang lain atau menulis konten yang tidak senonoh?"
Begitulah kira-kira perdebatan yang terjadi dalam kepalaku, yang tidak pernah berhenti kecuali aku tidur..
Q: "Gimana caranya menerima realita yang menyakitkan tapi tetap bisa berharap sesuatu yang baik?"
A: "Even I don't like it, I'll survive." Itu adalah mantra yang diucapkan oleh Dr. Jiemi setiap kali ia menghadapi hal yang menyakitkan. Katanya, tugas manusia adalah untuk survive. "Kalau sulit membuat harapan yang baik, mari berharap dulu "suatu saat rasa sakit ini akan mereda"".
Aku pun mengangguk setuju. Harapan, jika terlalu tinggi bisa jadi membuat kita tambah sakit, kan? Maka, berharaplah pelan-pelan dulu. Aku pun berkali-kali mengalami itu. Aku merasa bahwa perjalanan untuk sembuh sempurna itu terasa jauh sekali, bahkan seringkali aku berpikir bahwa aku gak akan sembuh. Tapi, sebenarnya harapan untuk sembuh sempurna itu apa, sih? Orang flu aja bisa kambuh lagi, kan? Pikiran yang ada di dalam kepala, masa lalu yang gak pingin diingat-ingat sekalipun pun bisa "kambuh" lagi. Nah, dengan menerima kondisi saat ini dan berharap bahwa akan tiba saatnya bahwa semua rasa sakit akan mereda, aku jadi punya tenaga lagi untuk bernapas.
Q: "Gimana caranya bangkit lagi setelah harapan hancur berkali-kali?"
A: "Gak ada yang berharap kamu perlu bangkit. Kecuali dirimu sendiri. Mungkin, perlu ditanyain lagi pada diri sendiri, "memangnya kenapa harus bangkit?" hal ini bisa memberi makna dan harapan yang baru."
Pertanyaan terakhir menjadi petuah yang harus aku ingat-ingat. Karena walau jalanku panjang, entah sampai kapan sampainya, entah harus berapa kali lagi aku jatuh, tapi aku bisa menanyakan pertanyaan itu, "memangnya kenapa harus bangkit?" agar bisa benar-benar bangkit.
Hmm Rasanya ini adalah jenis tulisan yang udah lama sekali gak aku tulis, ya. Menulis tentang suatu hal secara subjektif, berdasarkan apa yang aku pikirkan dan apa yang aku rasakan. Dan mungkin bisa dibilang ini adalah salah satu tulisanku yang paling jujur. Sebuah tulisan di mana aku mengakui bahwa aku gak baik-baik aja, di mana aku mengakui bahwa aku (masih) perlu pertolongan. Setelah sampai di penghujung tulisan ini, rasanya menulis seperti ini pun gak buruk-buruk amat.
Dari dulu aku punya kebiasaan untuk menulis diary, tapi aku hanya menuliskan yang baik-baik aja. Dengan harapan bahwa kejadian buruk akan terlupa dan hilang begitu saja kalau gak aku abadikan di atas kertas. Nyatanya gak begitu. Psikologku malah menganjurkan "resep" untuk menuliskan semua kejadian yang aku alami, semua perasaan yang aku rasakan, semua hal yang seolah jadi benang kusut di otakku. Dan dari situlah aku belajar untuk lebih mengenal diriku lagi. Mungkin, memang obat yang paling manjur untuk kesembuhanku adalah dengan mau melihat dan memahami diriku lebih baik lagi.
Reference:
"Moebius Syndrome, Kondisi Langka yang Dapat Menyebabkan Kelainan pada Wajah". 2020. alodokter.com.
"Kenali Sindrom Poland yang Bisa Sebabkan Athelia". 2019. halodoc.com.
Comments
Post a Comment