IWF 2019: Dari Online Naik Cetak

Weekend ini aku mengunjungi acara Indonesia Writers Festival 2019 yang diadakan tanggal 6-7 September lalu di UMN, Serpong. Acara 2 hari itu diisi dengan seminar, workshop, dan diskusi tentang dunia tulis menulis di Indonesia. Pembicaranya pun gak nanggung-nanggung. Dari blogger, penulis novel, penulis skenario, sutradara, aktor, sampai wanita yang paling berpengaruh di Indonesia, Najwa Sihab, pun turut hadir di acara tersebut. Tapi, sebagai budak korporat ya aku cuma bisa datang hari sabtunya aja. Padahal hari jumatnya itu, selain Najwa Sihab, ada juga Andrea Gunawan, Trinity, dan Windy Ariestanty, orang-orang yang aku kagumi karya dan kepribadiannya. Tapi, datang dihari kedua pun aku cukup puas dengan semua hal yang aku dapatkan hari itu. Aku mengikuti 3 sesi dan 3 sesi itu akan aku bahas di 3 post berbeza.



Oh, sebelumnya aku mau cerita sedikit lagi tentang acara ini. Acara yang diadakan 2 hari ini masuknya gratis. Cukup daftar di link yang mereka bagikan lewat Instgram, download aplikasi IWF dan IDNTimes di playstore, lalu share poster mereka di Instagram Story. Istilahya mah pay with exposure. Nah, lewat aplikasi IWF nya kita bisa lihat tuh jadwal acaranya apa aja dan lokasinya di mana aja (beda gedung). FYI, acaranya ini macem-macem, topik yang dibawakan macem-macem, dan kita tinggal pilih aja di aplikasinya mau ikutan yang mana. Ada yang musti daftar dulu karena pesertanya terbatas, ada juga yang terbuka untuk semua orang.

Sesi hari sabtu sebenarnya aku cuma ngincer sesinya Ci Jenny Jusuf, sih. Ehehehehe Tapi, pas aku telaah lagi ternyata banyak topik yang menarik minatku. Sesi pertama yang aku ikuti adalah sesi jam 10 pagi ini. Dari Online Naik Cetak. Pembicaranya adalah Aulia Halimatussaidah yang merupakan penulis sekaligus co-founder dari storial.co yaitu sebuah platform menulis online yang diperuntukan bagi orang-orang yang mau menulis buku. Pembicara satu lagi adalah Aqessa Aninda, penulis novel Secangkir Kopi dan Pencakar Langit yang memulai debut menulisnya melalui platform online Wattpad. Sejujurnya, aku sama sekali gak tau mereka itu siapa. Ahahahaha Aku tau Storial pun baru akhir-akhir ini saat aku temukan iklannya di instastory.



Kalau kalian pernah baca buku di Wattpad mungkin akan ada gambaran tentang si Storial ini. Dua platform ini intinya sama, bisa menjadi media yang menyediakan bahan bacaan bisa juga menjadi media yang menyediakan tempat untuk menulis buku per chapter. Bagi orang-orang malas seperti aku, kalau mau nulis buku mungkin platform seperti ini cocok untuk membuat kita terus konsisten dalam menulis. Apalagi kalau apresiasi pembacanya bagus kita bisa mengajukan buku kita untuk dijadikan buku premium yang akan mendapat royalti sebesar 2 ribu- 5 ribu per chapter. FYI, kalau royalti yang diberikan oleh penerbit media cetak biasanya diberikan 6 bulan sekali, tapi melalui Storial bisa didapat hanya dalam beberapa bulan. Dan lagi kalau ternyata antusiasme pembacanya tinggi, buku kita bisa diteruskan ke editor Storial kemudian dicetak sebagai buku fisik. Hmm lumayan juga, ya.

Nah, kalau Aqessa Aninda atau Kak Eca yang memilih debut melalui Wattpad (dia bilang dulu Storial belum ada) mengaku ide menulisnya berawal dari dirinya yang suka membaca novel tapi gak menemukan novel yang related dengan kehidupannya. "Kok gak ada yang setipe sama saya, sih?" Berangkat dari pertanyaan sederhana itu, dibuatlah novel pertamanya yang berjudul Secangkir Kopi dan Pencakar Langit. Yah, aku gak tau novelnya, sih. Tambahan lagi aku jarang baca buku-buku terbitan Elex Media selain komik wkwkwk. Tapi, aku lihat rating dan reviewnya di Goodreads lumayan juga, barangkali kalau lagi dalam mood mau baca bacaan ringan aku akan mencari buku ini.

Sementara itu, Kak Aulia bercerita sedikit mengenai Storial dan buku-buku yang sudah mereka terbitkan dan akan mereka terbitkan. Btw, kalian tau cerita tentang KKN Di Desa Penari yang sedang viral di twitter? Katanya cerita itu akan dibuat menjadi buku oleh Storial. Katanya mereka ini suka melihat tren baca orang-orang, buku-buku yang mereka terbitkan bertema bebas, apa aja yang sedang digandrungi atau kira-kira akan digandrungi orang-orang. Sebelumnya mereka menerbitkan buku yang berjudul Rahasia Salinem yang diangkat dari kisah nyata nenek dari si penulis. Berkisah tentang seorang abdi dalem wanita yang mengabdikan hidupnya untuk bertugas mengurusi keluarga Keraton. Wow, nampaknya menarik, ya. Aku belum pernah baca buku dengan genre seperti itu, sih. Lalu, dari buku tersebut dibuatlah sebuah restoran di Jogja yang juga bernama Salinem.

Kak Aulia juga menekankan bahwa kita bisa melakukan banyak hal dari menulis buku. Restoran Salinem itu salah satunya. Maka dia memberikan beberapa petuah bagi orang-orang yang mau nulis buku tapi malas, tapi gak konsisten, tapi gak mulai-mulai. Orang-orang macam aku. Ahahahahaha

"Mulai dari mind mapping. Tentukan awal dan tujuan buku itu mau dibawa ke mana lewat mind mapping. Selanjutnya buat cover dan sinopsisnya. Dengan modal itu, kamu sudah bisa upload bukumu di Storial," jelas Kak Aulia. Aku agak bingung dengan peranan cover yang dianggap penting, karena aku pikir cover adalah perkara ke sekian selain judul. Iya, dulu aku pernah bikin cerita tetapi aku merasa susah banget buat nentuin judul yang pas. Ini lagi disuruh bikin cover. Tapi, kemudian Kak Aulia menjelaskan bahwa cover buku bisa memberikan informasi tentang isi buku, kita bisa tau isi bukunya kira-kira seperti apa lewat cover. Bagi penulis, cover juga berperan untuk mengingatkan cerita yang sedang ditulis mau dibawa ke mana. Hmm bener juga sih kalau dipikir-pikir.

"Kita semua punya jiwa yang malas. Tapi, selalu selesaikanlah apa yang kalian mulai. Ada orang yang nulis sudah sampai 5 bab lalu merasa malas, merasa gak pede, atau apa. Kemudian 5 bab itu dihapus. Ya, gak selesai-selesai," katanya lagi. Sebuah pernyataan yang membuatku merasa ditampar sekaligus membuatku tertawa dalam hati. Aku pernah begitu 2x soalnya. Ahahahahahahaha Aku udah pernah cerita belum ya kalau waktu SMA aku pernah mencoba menulis novel (kalau belum pernah cerita kapan-kapan aku ceritakan), novel itu aku tulis tangan di buku tulis Kiky, tau kan buku tulis yang berukuran biasa itu. Sudah sampai satu buku habis, begitu aku ketikan di laptop aku merasa gak pede dan malas seperti yang Kak Aulia bilang, akhirnya gak jadi aku lanjutin dan buku yang berisi tulisanku itu akhirnya aku anggurin sampai berdebu. Dilain waktu, saat aku kuliah kalau gak salah, aku kembali mencoba menulis novel dengan karakter dan cerita yang berbeda dari novelku sebelumnya, kali ini nulisnya langsung di laptop. Tapi, setelah 5-6 bab, novel itu aku hapus karena lagi-lagi aku merasa gak pede dan malas.

Sejak SMA aku bermimpi untuk menjadi seorang penulis dan berandai-andai jikalau aku menemukan bukuku di Gramedia. Tapi, mimpi itu berubah menjadi ke-halu-an semata karena aku terus-terusan gak pede dan malas. Haruskah aku membangkitkan lagi tokoh-tokoh dalam ceritaku yang sudah tertidur bertahun-tahun?

Di sesi ini pun akhirnya aku tergelitik untuk bertanya. Iya, topiknya sungguh menarik untukku, jadi saat moderator membuka sesi tanya jawab, si orang pasif ini adalah orang pertama yang mengangkat tangannya. Luar biasa. Selama sekolah dan kuliah aku sama sekali gak pernah mengacungkan tanganku untuk bertanya loh padahal. Wkwkwkwk

Ada 2 hal yang aku tanyakan, barangkali bisa dikategorikan sebagai pertanyaan mainstream bagi penulis pemula. "Selama masa menulis yang tentunya tidak singkat, bagaimana caranya untuk tetap on track pada mind mapping yang sudah ditentukan di awal (seperti yang dikatakan oleh Kak Aulia)?" "Bagaimana caranya untuk menghadapi writer's block?" See, mainstream bukan? Tapi, jawaban yang diberikan oleh kedua narasumber cukup memuaskan bagiku.

Kak Eca bilang bahwa jika ada ide yang datang, entah dari lingkungan sekitar atau dari dialog dengan orang lain, ia selalu catat dan simpan, kemudian ia pilah-pilah lagi ide tersebut bisa diselipin di cerita yang mana. Lalu, dia bilang juga kalau dia gak selalu terpaku dengan deadline. "Kalau lagi gak mood nulis yaudah, dulu aku pernah gak post cerita (di Wattpad) sampai 3 minggu, karena memang lagi gak mood. Biarin aja gak apa-apa, karena kalau terpaku pada deadline akan merasa ada tekanan." Selain itu dia juga selalu menyiapkan playlist lagu yang sesuai dengan moodnya menulis.

Sementara Kak Aulia menganalogikan menulis buku itu seperti pergi ke suatu tempat naik pesawat. "Kalau ditanya orang di bandara 'mau ke mana?' gak mungkin kan jawabnya gak tau. Misalnya, tujuan perginya mau ke Surabaya, perginya mau direct atau transit dulu di Singapur ya terserah, yang penting sampainya ke Surabaya. Nah, nulis juga kayak begitu. Jangan terlalu terpaku pada mind mapping, yang penting tujuannya aja jelas. Masalah alurnya mau bagaimana itu bebas." Hmm sebuah analogi sederhana yang sungguh menyentil rupanya. Lalu, terkait dengan writer's block, Kak Aulia bilang bahwa ia selalu membuat reading list, buku-buku apa aja yang topiknya mirip-mirip dengan buku yang akan dia tulis, jadi begitu dia stuck dia akan baca buku-buku itu sebagai referensi.

Lalu, pertanyaan lain datang berhubungan dengan pengembangan konflik dari awal hingga akhir cerita. Kak Eca dan Kak Aulia sepakat bahwa ide pengembangan konflik bisa datang dari mana aja, perbedaan karakter misalnya. Iya, aku rasa itu adalah hal yang paling mudah sekaligus paling sulit dikembangkan. Karena buat aku pribadi, memunculkan tokoh yang berkarakter itu seperti membuat dan mengenal seorang anak, aku harus tau segala hal tentang karakter yang aku buat. Aku juga harus bisa membayangkan segala hal kecil yang bisa dilakukan oleh tokoh yang aku buat. Reaksi seperti apa yang akan ia tunjukan kalau begini begitu, perasaan apa yang akan ia rasakan kalau begini begitu. Hmm sepertinya aku tau kenapa novel-novelku gak lanjut. Salah satu alasannya adalah karena aku gak bisa mengembangkan karakter untuk tokoh yang aku buat. Iya, dulu aku sering kebingungan memikirkan dialog antar karakter atau emosi dan reaksi yang akan mereka tunjukan. Dulu aku gak mengenal tokoh buatanku sendiri rupanya.

Terakhir, Kak Eca juga memberikan tips bagaimana dia bisa mencetak bukunya. Saat ditanya, "apakah pernah ditolak oleh penerbit?" Jawabannya adalah gak pernah. Karena sebelum ia memutuskan untuk memberikan naskahnya ke penerbit, ia terlebih dahulu melakukan riset. Penerbit A tipikal bukunya begini, penerbit B tipikal bukunya begitu. Nah, dia apply ke penerbit yang mencari buku seperti buku yang dia buat. Chance untuk diterimanya semakin besar kan kalau begitu ceritanya. Iya, analaoginya barangkali seperti nyari kerja, ya. Budak korporat mikirnya kerja mulu, ya. Wkwkwkwk Aku sebagai lulusan ekonomi-akuntansi yang punya pengalaman perbankan pasti akan mencari pekerjaan yang berhubungan dengan keuangan perbankan, kan. Gak mungkin tau-tau aku apply ke HRD atau IT. Aku pernah apply bagian HRD pas magang, sih. Wkwkwkwk Tapi, kalau mencari kerja kan lebih condong ke bagian yang sesuai dengan kualifikasi aku.

Jadi, begitulah sesi pertama yang aku ikuti selama kurang lebih satu jam berakhir. Waktu memulai acara, sang moderator bilang, "kalian kalau gak niat-niat amat gak akan datang ke sini pagi-pagi, kan. Hari sabtu pula." Iya, IWF ini adalah acara yang bikin aku paling niat sejauh ini. Bangun pagi pas weekend lalu melanglang buana sendirian ke Serpong naik kereta disambung ojol, mengorbankan waktu weekendku yang biasanya pulang ke Karawang. Tapi, sangat worth it untukku. :D

Selanjutnya aku akan post 2 sesi lainnya di sini dan di sini. Monggo dibaca, kali-kali kalian minat juga dengan dunia tulis menulis. :D

Comments

  1. waaaah! menarik banget acaranya mei!!

    btw buat novelnya....sayang banget Mei diapuuusss!! huhuhu

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts