IWF 2019: Berkaya Tanpa Batas

Sesi terakhir yang aku ikuti pada acara IWF kemarin bertajuk Berkarya Tanpa Batas yang membicarakan hal-hal seputar orang-orang disable dan karya mereka. Sesi ini adalah sesi yang cukup banyak memberiku persepsi baru dan juga membuatku merinding. Pembicara dari sesi ini adalah Indah Darmastuti, founder dari Difaliteria yaitu penyedia sasta dalam media audio bagi para tuna netra, dan Angkie Yudistia, founder dari Thisable Enterprise sekaligus penulis buku Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas. FYI, Angkie Yudistia adalah seorang tuna rungu, maka ia harus menggunakan alat bantu dengar untuk bisa berinteraksi dengan orang lain.



Mba Indah menceritakan bahwa Difalitera yang ia dirikan adalah komunitas volunteer bagi penyandang tuna netra. Saat ditanya kenapa kok dia mau bekerja keras mendirikan komunitas seperti itu bagi orang-orang yang mungkin aja gak dia kenal? Karena ia merasa bahw setiap orang punya hak untuk menikmati sastra, termasuk orang-orang tuna netra. "Saya lebih suka menyebut mereka 'diffable: difference able', bagi saya istilah itu lebih bermartabat. Penyandang tuna netra bisa melihat dengan telinga mereka, penyandang tuna wicara bisa berbicara dengan isyarat mereka." Atas prinsip itu lah ia menganggap bahwa semua orang itu memiliki hak yang sama. Suatu pendirian yang membuatku salut dengan apa yang ia kerjakan.

Dalam membangun Difalitera, Mba Indah tentu mendapatkan tantangan tersendiri. "Jatuh sudah pasti. Ada saatnya saya menyerah, saya bilang ke teman-teman saya 'udah saya gak mau lanjut lagi'. Tapi, setelah saya menyerah itu lah ada seorang teman penyandang tuna netra yang menelepon saya dan mengatakan bahwa Difalitera berguna untuk dirinya dan dia ingin ikut berkontribusi. Disaat itulah saya kembali bangkit, saya akhirnya bilang lagi ke teman-teman saya, 'ayo kita mulai lagi'."

"Momen yang paling mengesankan bagi kami adalah ketika kami bertemu dengan orang-orang yang menyambut dan mengapresiasi karya kami," lanjutnya lagi. Selain itu, salah satu teman dari Mba Indah yang merupakan penulis tuna netra pun turut hadir. Yak aku lupa ya namanya siapa. Tapi, dia sudah menerbitkan 8 buku sejauh ini. "Saya berkarya untuk meningkatkan social awareness. Kalau orang yang difable aja bisa berkarya, orang yang fisiknya lengkap pasti bisa juga."

Sementara Mba Angkie mengatakan bahwa sebelumnya ia adalah karyawan kantoran, terakhir kali ia bekerja di industri oil & gas. Saat industri tersebut anjlok, ia kehilangan pekerjaan. Kemudian ia berkonsultasi dengan dosen di kampusnya dulu saat ia mengenyam S2. Dosennya bilang, "kalau kamu sebagai penyandang disabilitas susah mencari kesempatan untuk bekerja, kamu buatlah kesempatan itu sendiri." Dari sana ia menelurkan karya-karya melalui buku.

Saat ditanya kenapa manusia harus berkarya walau kita punya keterbatasan? Mba Angkie secara jujur mengaku bahwa ia berkarya untuk eksistensi dan pengakuan. "Persepsi orang pada orang-orang difable tuh masih yang, 'aduh kasian ya dia'. Aku mau dikenal orang bukan karena disabilitasnya tapi untuk karyanya."

"Dengan buku, siapa sangka kita bisa jadi change maker. Kita bisa mengubah persepsi orang lain melalui tulisan kita. Kalau membuat buku untuk hobi itu bagus tapi kalau bukunya untuk change maker itu effortnya 2x lipat, karena bukunya bisa membuat orang lain berkontribusi lebih," jelasnya.

"Ketika saya membuat buku, saya melakukan perubahan agar orang-orang mau keluar dari zona nyamannya. Semakin banyak orang membaca buku, semakin dia mengubah persepsinya. Pembuktian kita datang dari buku. Kalau kita bisa, ya teman-teman yang lain juga bisa."

"Dengan buku juga saya bisa jalan-jalan gratis. Saya pernah diundang ke Eropa ke 5 negara bagian, ke Prancis, ke Australia, dan semuanya gratis. Setiap kali saya diundang menjadi pembicara, orang pasti bilang bahwa mereka datang karena buku saya bagus," tambahnya lagi.

Terakhir Mba Angkie bilang kalau mau menjadi pioneer, spirit itu gak cukup. "Disaat kita tenar, kita berada di atas itu banyak angin. Banyak lampu blitz menyala, semua hal yang kita inginkan tuh ada. Kita lebih dikenal orang bahkan orang yang gak kenal pun bisa sok kenal. Tapi, malahan disaat-saat itulah momen di mana kita bisa jatuh. Untuk berjuang di isu disabilitas itu gak semudah yang kita pikirkan. Kita dipaksa untuk lebih pintar dari yang lain. Dan saat lampu blitz itu mati, saya merasa kesepian. Ketika mau bangkit uh kita harus menolong diri kita sendiri dulu baru menolong orang lain, kita harus keluar dari zona nyaman kita.

Dan seperti pembicara-pembicara lain pada 2 sesi sebelumnya, Mba Angkie juga mengatakan bahwa kunci dari semuanya adalah konsisten. "Selesaikan apa yang sudah kita mulai." Wow, 3 orang sudah mengatakan hal yang sama dalam satu hari. Benar-benar tamparan keras buatku yang suka kerja setengah-setengah dan hobi menunda-nunda, ya.



Sekarang ngerti kan kenapa sesi ini adalah sesi yang cukup banyak mengubah persepsiku dan bikin aku merinding. Aku salut sampai merinding dengan kerja keras dan keteguhan mereka. Kalau orang yang fisiknya lengkap diterpa komentar-komentar negatif dari orang lain aja bisa sampai berhenti mengejar mimpi, bagaimana dengan mereka yang dari luar sudah tampak keterbatasannya. Ada istilah "kelemahanmu adalah kekuatanmu", kelemahan mereka itulah yang mereka jadikan bahan bakar untuk terus maju. Menembus batas dan melampaui persepsi orang-orang tentang mereka.

Begitu pulang dari acara ini, energiku habis sekaligus terisi kembali. Semangatku menulis yang suka angot-angotan bisa jadi gak angot-angotan lagi. Dan aku berpikir-pikir untuk kembali membuat novel, kali ini dengan konsisten tentunya. Seperti apa yang dibilang oleh para pembicara yang akan melekat di pikiranku ke depannya.

Ci Jenny Jusuf bilang kalau film yang ia tonton itu sukses jika memberikan value yang sesuai dengan effort yang ia keluarkan untuk menonton film. Hal yang sama berlaku juga untukku. Acara ini sukses karena aku membawa pulang, bukan cuma 'sesuatu' tapi banyak hal, yang membuatku gak merasa sia-sia bangun pagi dan melanglang buana sendirian dihari sabtu.

Sebenarnya, masih ada sesi-sesi lainnya selain 3 sesi yang aku datangi. Ada acara bedah buku, launching buku, gathering komunitas IDN Times, dan penutupan yang dimeriahkan oleh Glenn Fredly. Tapi, aku sudah keburu lapar berat. Iya, di UMN kantin yang buka kemarin tuh cuma segelintir dan makanannya udah pada abis. Jadi, setelah sesi yang ingin aku datangi selesai, aku melipir ke AEON untuk mengisi perut dan kelayapan tentunya. Ehehehehehe

Sekian tulisanku pada seri IWF kali ini. Sesi pertama bisa dibaca di sini dan sesi kedua di sini.

Terakhir, izinkan aku merasa hebat karena bisa menyelesaikan 3 post dalam satu hari. Ahahahahahaha

Comments

Popular Posts