A Untuk Amanda - Annisa Ihsani
Buku ini aku baca disela-sela aku membaca Me Before You dan The Man in The Brown Suit (iya aku ini termasuk polygamy reader yang susah setia baca satu buku aja 🙈🙈), yang aku baca dari tanggal 4-10 Maret, tapi karena lagi banyak kerjaan aku baru sempat membahas buku ini sekarang. Sebenarnya aku pikir aku bisa membahas buku ini cukup sepanjang caption Instagram, karena genrenya young adult dan ceritanya seputar cerita anak sekolah. Tapi, ternyata aku salah besar.
A Untuk Amanda bercerita tentang seorang remaja bernama Amanda yang merupakan anak cemerlang yang lurus-lurus aja hidupnya. Di sekolah ia selalu langganan menjawab semua pertanyaan guru dengan benar, langganan dapat nilai A juga, dan di rumah pun ia adalah anak baik yang gak pernah bertindak aneh-aneh seperti anak-anak remaja kebanyakan yang kadang bisa jadi pemberontak di masa-masa puber mereka. Lalu, Amanda juga adalah anak remaja yang vokal sekali. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia adalah seorang feminis dan juga seorang agnostik. Wow.. Di awal bab aku sudah dibuat kagum dengan karakternya Amanda yang bisa dikategorikan sebagai alpha woman. Karakternya kuat lalu pemikirannya pun sangat lugas dan rasional. Tapi, apakah dengan semua hal luar biasa yang ia miliki maka hidupnya akan baik-baik aja? Ternyata tidak. Masalah justru datang dari diri Amanda sendiri.
Di bagian prolog, aku sudah dibuat duduk manis mengikuti kisah Amanda yang mengatakan dirinya menjalani konsultasi dengan psikiater, Dokter Eli namanya. Nah, cerita dengan genre mental health memang menjadi kegemaranku akhir-akhir ini, maka aku bisa anteng mengikuti cerita Amanda sampai habis. Setelah prolog yang menceritakan pertemuan pertamanya dengan Dokter Eli, Amanda menceritakan kisahnya yang awalnya tampak baik-baik aja. Kisahnya dimulai saat Amanda pertama kali masuk ke SMA terbaik kedua di kota kecilnya, ia juga satu sekolah dengan Tommy yang sudah ia kenal sepanjang umurnya. Kalau kalian membayangkan masa SMA, mungkin kalian akan membayangkan masa-masa yang menyenangkan, masa-masa di mana punya banyak teman yang asik, punya pacar pertama mungkin, ikut serta dalam kegiatan organisasi, dan serangkaian kejadian menarik lainnya. Aku sih gak begitu, karena masa SMA aku habiskan dengan sekolah-pulang-sekolah-pulang, yang diselingi dengan kegiatan nongkrong yang hanya bisa dihitung jari selama 3 tahun aku memakai seragam putih abu. Masa SMA Amanda jelas berbeda dari masa SMA yang terlihat menyenangkan ataupun yang terlihat membosankan seperti pengalamanku, masa SMA Amanda diisi dengan serangkaian tanya jawab di kelas, setumpuk PR yang kayaknya gak selesai-selesai, kegiatan klub yang isinya anak-anak jenius, dan sederetan nilai A yang membuat IP semesternya sempurna. Guru-guru di sekolahnya jelas terkagum-kagum dengan kepintaran Amanda, ibunya pun sangat bangga dengan prestasi yang dimiliki Amanda, Tommy yang akhirnya menjadi pacarnya pun merasa puas dengan prestasi Amanda. Hanya satu orang yang tidak merasa begitu, yaitu Amanda sendiri.
Amanda malah merasa bahwa dirinya sekadar beruntung. Beruntung bisa menjawab pertanyaan guru dengan benar, beruntung karena ia selalu mengerjakan PR dengan rajin, beruntung karena pertanyaan-pertanyaan yang ada di kertas ujian adalah pertanyaan-pertanyaan yang ia tahu jawabannya, dan keberuntungan-keberuntungan lainnya yang datang berkali-kali dan jelas gak masuk akal. Gimana ceritanya coba dapat nilai A dan IP semester sempurna itu disebut beruntung? Kalau aku bisa lulus ujian matematika pas nilai KKM tuh baru namanya beruntung, apalagi kalau nilai ujianku sebelumnya hanya berkisar antara 4-5 aja. Aneh kan kalau dipikir-pikir. Tapi, hal itu gak terasa aneh bagi Amanda. Pemikiran-pemikiran itu akhirnya berubah menjadi kecemasan-kecemasan yang terus menghantuinya sepanjang masa SMA dan membuatnya merasa sebagai penipu. Ia menipu semua orang yang menganggap dirinya jenius, guru-guru memiliki pandangan bias hanya karena dia menjawab pertanyaan mereka dengan benar beberapa kali, nilai A adalah sebuah kepalsuan baginya. Tapi, di satu sisi saat Amanda tahu bahwa ia telah berbuat salah atau saat ia gak dapat nilai A, ia merasa telah gagal. Nah, bingung kan. Sebenarnya si Amanda ini maunya apa, sih? Dapat A salah, gak dapat A salah. Dianggap jenius salah, gak dianggap jenius juga salah.
Keadaan Amanda semakin parah karena akhirnya ia terus-terusan mendebat suara dalam otaknya, ia pun sulit konsentrasi dan jadi sering menunda tanggung jawabnya. Ya, aku tau betul bagaimana sesaknya ketika berdebat dengan dirimu sendiri sampai membuatmu merasa serba salah dan akhirnya enggan melakukan apa-apa. Kondisi Amanda yang semakin parah akhirnya membuatnya berada dalam ruangan Dokter Eli yang mendiagnosa Amanda mengalami depresi yang disertai dengan kecenderungan untuk bersikap perfeksionis.
Aku suka dengan cara Annisa Ihsani menjelaskan mental health dengan sangat baik. Lewat sudut pandang Amanda, aku juga jadi tau segala macam pikiran dan perasaan yang membuatnya cemas terus-terusan dan berujung frustasi. Aku suka dengan bagaimana perdebatan dalam kepala Amanda "diperdengarkan". Lalu, sesi konsultasinya dengan Dokter Eli pun diceritakan dengan rinci, mulai dari kunjungan pertamanya yang mengharuskan Amanda mengisi tes kesehatan mental, lalu diagnosa awal yang dikatakan Dokter Eli, diikuti dengan sesi konseling dan psikoterapi lanjutan. Sesi konsultasi Amanda dengan Dokter Eli sedikit banyak membuatku berpikir juga, terutama berpikir tentang eksistensiku di dunia ini, alasan kenapa aku (masih) terus-terusan menganggap bahwa apa yang dipikirkan orang lain itu penting, dan alasan bahwa aku berhak melakukan apa pun yang aku suka.
"Misalnya orang-orang memandang rendah padamu, kenapa kau harus membiarkan apa yang mereka pikirkan memengaruhi kebahagiaanmu?"
"Kau tidak tahu apa yang dipikirkan orang lain. Yang memengaruhi mood-mu adalah apa yang kau pikir sedang dipikirkan orang tentangmu."
Disebutkan pula beberapa istilah psikologi yang dijelaskan secara rinci, seperti apa itu Impostor Syndrome yang dialami oleh Amanda (dan juga dialami oleh banyak orang lainnya, terutama orang-orang yang pintar dan berprestasi), apa itu Distorsi Kognitif, dan apa itu Cognitive Behavioral Therapy. Penjelasan psikologis dalam buku ini kurasa akan membuat mental health terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Selain itu, ada beberapa scene yang menunjukkan stigma-stigma negatif kepada Amanda yang uring-uringan, didiagnosa depresi, dan pergi ke psikiater. Dan stigma itu dilontarkan dari mulut Tommy yang sudah mengenal Amanda sejak ia masih bayi. Tommy selalu menganggap kalau Amanda itu gak berhak merasa depresi karena hidupnya sempurna, sebuah pernyataan yang membuatku ingin membenturkan kepala Tommy ke tembok. Apalagi saat ia menyangka Amanda hanya haus pujian. Ampun deh, Tommy.. Tapi faktanya, di dunia nyata banyak sekali orang-orang seperti Tommy, kan? Orang-orang yang menganggap bahwa mental health itu hanya mitos dan obat psikoterapi hanya akal-akalan dunia medis aja.
Tapi, aku rasa Amanda adalah sosok yang cukup beruntung juga karena memiliki ibu yang siap sedia kapan pun Amanda butuh, mengingat kebanyakan orang tua juga menganggap bahwa mental health itu tidak nyata. Ibunya paham betul kalau Amanda butuh pertolongan dan akhirnya ia pun membawa Amanda ke Dokter Eli. Sosok ibu yang seperti inilah yang kurasa sangat diperlukan oleh orang-orang yang mengalami gangguan mental. Lalu, aku juga suka dengan karakter Helena yang bersedia menjadi pendengar setia Amanda dan gak menghakimi saat Amanda mengaku bahwa ia mengalami depresi.
Setelah sekian banyak penjelasan tentang mental health yang dikemas dengan cara yang sangat baik, Annisa Ihsani pun menyisipkan pesan untuk tidak melakukan self diagnose alias mendiagnosa diri sendiri. Kalau kamu merasa ada yang tidak beres dengan dirimu, konsultasikan dirimu pada profesional seperti psikolog atau psikiater, jangan berkonsultasi pada Google, pada orang-orang yang berkata "mungkin kamu kurang mendekatkan diri pada Tuhan", dan pada orang-orang yang gak terjamin akreditasinya. Melalui buku ini, Annisa Ihsani menunjukkan bahwa gangguan mental itu nyata adanya bisa terjadi pada siapa aja, termasuk kepada orang-orang seperti Amanda yang terlihat memiliki hidup yang sempurna.
Kisah buku ini tidak ditutup dengan kondisi Amanda yang sembuh. Gak, perkara mental health gak semudah itu "disembuhkan". Dan kurasa maksudnya sembuh pun bukannya sembuh yang seperti kalau sakit fisik. Kesembuhan pada orang-orang dengan gangguan mental berkaitan erat dengan yang namanya penerimaan. Apa yang dialami oleh Amanda membuatnya lebih bisa melihat lebih baik ke dalam dirinya, membuat Amanda lebih banyak berbicara pada dirinya sendiri, membuat Amanda mengetahui dengan pasti apa yang ia inginkan, dan membuat Amanda paham bahwa sebuah kesalahan tidak akan membuatnya menjadi manusia yang gagal.
"Aku lupa menghargai kenyataan bahwa atom-atom yang menyusun tubuhku berasal dari bintang-bintang. Dan setelah 13,8 miliar tahun, aku beruntung bisa hidup di sini. Alam semesta tidak punya kewajiban untuk membuatku merasa berharga, aku yang harus melakukannya untuk diriku sendiri."
Oiya satu lagi, Amanda suka sekali dengan sains dan sering menyebut-nyebut buku Pale Blue Dot nya Carl Sagan (yang auto jadi wishlist ku). Dan menariknya, walaupun Amanda mengaku agnostik, pemahamannya yang kritis mengenai Tuhan dan alam semesta membuatku kagum.
"Beberapa orang pernah menyebutku arogan karena memilih untuk menjadi agnostik dan sebagainya, tapi aku tahu seseorang tidak bisa memandang langit tanpa merasa diberi pelajaran akan kerendahan hati, bahwa seseorang hanyalah bagian kecil dari skema kosmos yang jauh lebih agung. Bukankah itu inti dari spiritualisme? Menyadari ada sesuatu yang lebih besar di luar sana?"
5 solid stars ku berikan untuk buku ini, yang sedikit banyak mengingatkanku pada Finding Audrey nya Sophie Kinsela dan Turtle All The Way Down nya John Green. Kalau kalian mau tau lebih lanjut tentang mental health, kalian juga bisa membaca buku Loving The Wounded Soul karya Regis Machdy.
P.S.: Kalian bisa membaca review bukuku yang lain di sini, ya.. 😄😄
Comments
Post a Comment