Finding Audrey
Kemarin aku baru saja selesai membaca bukunya Sophie Kinsella - Finding Audrey. Buku itu terngiang-ngiang terus di benakku. Biasa kena hangover. Sejak kemarin -sampai beberapa saat yang lalu- aku sudah membayangkan review apa saja yang mau ku tulis, menyusun kalimat, kata demi kata. Tapi, lagi-lagi ingatanku membelot dengan begitu kurang ajarnya. Aku lupa apa yang mau ku tulis.
Lemme think.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
janebookienary.wordpress.com
Mari kita mulai, menyusun kembali serpihan-serpihan ingatan. Apa yang membuat buku itu terus terngiang-ngiang di benakku. Yang jelas, aku suka Audrey. Pada halaman-halaman awal, gadis 14 tahun itu terlihat menyedihkan, atau setidaknya dia merasa dirinya menyedihkan. Bullying yang dilakukan oleh teman-temannya menimbulkan trauma mendalam dan depresi yang sepertinya cukup parah. Audrey selalu memakai kacamata hitam di mana pun ia berada, bahkan di dalam rumah sekalipun. Karena baginya, melakukan kontak mata dengan orang lain adalah hal yang mengerikan. Audrey bersikap seperti introvert level 1.000 dengan segala pikiran kacau balaunya. Audrey mengatakan bahwa dirinya memiliki kelebihan adrenalin. Sebut saja saat Linus, teman kakaknya, datang. Gadis itu langsung melompat terkejut dan berlari ketakutan begitu cowok itu menyapanya. Audrey bahkan selalu terkejut jika mendengar suara bel berbunyi atau suara getaran handphone (akhirnya ia memutuskan untuk tidak memiliki handphone).
Separah itu kira-kira kondisinya. Ia harus menjalani terapi dengan Dr. Sarah yang terus memantau kondisi mentalnya. Ia harus minum obat setiap hari. Merasa bahwa ia akan selalu aman jika berada di rumah. Menonton saluran TV belanja yang menurutnya merupakan tontonan paling damai, tidak ada suara riuh tepuk tangan, tembak-tembakan, ataupun drama. Tapi, walau sudah begitu, tetap saja otak kadalnya (sebutan untuk otaknya yang selalu panik dan menyuruhnya kabur atau bersembunyi) selalu mengambil kendali.
Sophie Kinsella memang piawai sekali membuat tulisan serius yang disertai dengan humor ringan. Gaya tulisannya benar-benar membuatku tak mau berhenti membaca (perlu diketahui, aku baca buku ini lewat aplikasi handphone. Nanti ku jelaskan). Seru, asik, bikin penasaran. Setiap tokoh digambarkan secara detail lewat sudut pandang Audrey. Sophie juga bisa menggambarkan hal-hal kecil dengan detail, yang seringkali terjadi di kehidupan sehari-hari tapi kita gak pernah ngeh. Berbicara dan berhenti di tengah kalimat misalnya.
Jalan pikiran Audrey yang amburadul digambarkan dengan sangat detail. Saat ia panik dan otak kadal menyuruhnya berlari; saat ia ketakutan; saat ia menggambarkan situasi Frank; saat ia menggambarkan tingkah Felix, si bocah 4 tahun; saat ia menyukai Linus tapi otak kadal menyuruhnya pergi; saat ia pertama kali memulai film dokumenternya; saat ia menaklukan proyek Starbucks; saat ia yakin akan bertemu lagi dengan salah satu pelaku yang membuatnya memiliki adrenalin berlebih, gila, aneh; atau pun saat ia yakin ia ingin sembuh. (oops.. ku harap ini bukan spoiler).
Hal yang paling ku sukai adalah saat Audrey mencoba mengatasi otak kadalnya. Katanya, "jangan lari dari otak kadal, dengarkan dia lalu setelah itu bilang, 'terserahlah.'" Sebut saja saat Audrey membuat film dokumenter, itu asik, aku jadi pingin buat juga; menaklukan tantangan starbucks; melakukan permainan 'mengganggu' orang dengan beberapa pertanyaan bersama Linus, oh itu seru, tapi aku gak mau coba :p; dan saat Audrey yakin bahwa ia bisa sembuh, ia ingin memiliki grafik kemajuan yang lurus, bukannya grafik yang naik turun, naik 2 tingkat, turun satu tingkat.
Aku paling suka yang terakhir. Grafik lurus >< Grafik bergerigi. Semua orang menginginkan hal itu, grafik yang lurus. Kehidupanmu terus meningkat tanpa pernah terjatuh atau mengalami kemunduran. Tapi, rasanya tidak mungkin karena hidup tidak akan semudah itu.
Mum berkata saat Audrey bersikeras menginginkan grafik yang lurus, "... begitulah hidup. Kita semua memiliki grafik bergerigi. Aku tahu begitu. Naik sedikit, turun sedikit. Begitulah hidup."
Yah, ku pikir juga kurang asik kalau grafik kehidupanmu lurus saja. Selalu kemajuan, tidak ada kemunduran. Tidak ada sensasi lain selain rasa senang. Tapi, aku mengikuti perkembangan Audrey, sampai -setelah serangkaian percakapan dan perdebatan dalam benaknya sendiri-, Audrey berkata,
"... kurasa Mum benar soal grafik bergerigi itu. Kita semua mengalami itu. Menurutku, apa yang ku sadari adalah, kehidupan memang tentang mendaki, tergelincir, dan bangkit lagi. Dan kalau tergelincir tidak apa-apa. Selama kau tetap mengarah kurang-lebih ke atas."
Oh ya, Sophie juga menggambarkan keluarga Turner dengan sangat detail Orang tua yang benar-benar orang tua. Hmm.. maksudku yah orang tua kan memang selalu marah kalau anaknya main komputer terus. Dan selalu saja marah-marah masalah game komputer yang katanya merusak, bikin kecanduan, bla bla bla ble ble ble. Sampai-sampai handphone dan game konsol pun dilarang. yah, memang begitu kan padangan orang tua. Walau pada akhirnya Mr. dan Mrs. Turner sedikit-sedikit bisa memahami hobi anaknya dan berbalik mendukung Frank untuk mengikuti kejuaraan LOC!!
Aku suka semua karakter di buku ini. Aku suka Frank, Mum, Dad, bahkan Felix. Tapi, karakter yang paling ku sukai adalah Linus (selain Audrey sendiri). Aku suka saat Linus menyuruh Audrey menanyakan 'apakah kau jual ice cream kelapa?' pada toko ice cream di taman, yang sangat diketahui Audrey bahwa toko ice cream itu tidak pernah menjual ice cream kelapa. Lalu ... kejutan!! Penjual ice cream memberikan ice cream kelapa dan ice cream coklat dan katanya 'khusus untukmu. Semua sudah lunas.' Aku saja senyum-senyum dan merasa tersanjung ada cowok semacam Linus, yah walau bukan aku yang diberi kejutan, sih.
Aku suka buku ini, rating 4,5. 4,5? Ya, karena aku penasaran dengan
latar belakang Audrey mengalami depresi, tapi gak diceritakan. Tapi,
yah kalau Audrey gak mau membahas itu lagi ya sudah.
Ya sudah, cukup panjang juga. (dan cukup banyak spoiler juga rupanya). Maaf, ya.. Tapi, memang suara-suara di otakku tidak mau berhenti jika aku sudah membaca buku yang bagus. Haha..
Oh, iya. Aku bilang kalau aku baca buku ini lewat aplikasi handphone. iJakarta namanya, semacam perpustakaan online, dan kita bisa pinjam buku gratis. Cukup buat account saja.
selular.id
Aplikasi ini asik dan praktis. Membantu mempermudah kita baca buku di mana saja. (apalagi kalau lagi bokek.. #eeh) Tapi, efek sampingnya sih ada. Minus mu bisa saja nambah, apalagi kalau bacanya terus-terusan.
You know what?
ReplyDeleteI'm interesting to use that app. Hahaha So, after finish read your post, i grab my phone and soon install iJak on my phone. You inspire me to read novel again, Mei. Thanks for the thought that you share in this blog. Really really interesting and inspiring, at least for me... ^^ keep writing! I wait to read your post.
Thanks a lot, pik!!
DeleteGak nyangka kalau tulisanku ada yang baca.. Hehehe
Thank you udah mau mampir dan bikin pingin nulis-nulis lagi.. :D