The Good Son - Jeong You Jeong [Spoiler Review & Kesanku pada Genre Psychological Thriller]

Gara-gara menjajal baca bukunya Akiyoshi Rikako Sensei sekitar dua tahun lalu, aku jadi keranjingan dengan buku-buku bergenre psychologycal thriller, terutama yang ditulis oleh penulis-penulis Jepang. Buku-buku psychological thriller yang sudah ku baca kebanyakan ditulis dari sudut pandang orang ketiga dengan adegan pembunuhan yang cukup grafis dan bikin aku bergidik ngeri dengan kelakuan tokoh-tokohnya. Kalau buku-buku yang ditulis dengan sudut pandang orang pertama biasanya menyoroti trauma masa kecil si tokoh sehingga aku bisa berempati pada mereka yang akhirnya melakukan tindak kejahatan karena inner child mereka terluka. Tapi ketika aku membaca buku The Good Son yang ditulis oleh penulis Korea Selatan, Jeong You Jeong, rasanya sungguh lain. Membaca buku yang ditulis dari sudut pandang orang pertama dari tokoh utamanya yang juga adalah pelaku, Han Yujin, membuatku merasakan perasaan takut dan ngeri yang belum pernah ku rasakan saat membaca buku. Jeong You Jeong menggambarkan apa-apa saja yang dipikirkan dan dirasakan Yujin sebagai seorang psikopat yang paling berbahaya di antara para psikopat dengan sangat detail sampai aku sempat mengalami serangan panik dan ingin cepat-cepat "keluar" dari bukunya.


Cerita bermula saat Han Yujin yang bangun tidur dan mencium bau darah. Kemudian ia mendapati tubuhnya penuh darah sampai ia pikir ada orang yang menyiram seember darah segar kepadanya. Tidak hanya itu, kamarnya pun penuh darah. Dan ternyata darah itu bukan miliknya. Adegan pembukanya saja sudah membuatku kaget karena penggambaran situasi yang begitu detail dan membuatku langsung bersikap waspada untuk membuka halaman-halaman selanjutnya. Teka teki pertama muncul saat Yujin mendapati tubuh ibunya tergeletak di lantai bawah apartemen mereka dengan kondisi yang sangat mengenaskan, Yujin mengatakan bahwa luka tusuk yang menjalar dari telinga kiri sampai telinga kanannya membuat ibunya terlihat seperti Joker yang tersenyum lebar. Penggambaran itu kurasa hanya memperhalus kondisi mayat ibunya yang kepalanya hampir putus dan aku langsung membayangkan adegan pembunuhan yang sangat sadis dan brutal sampai darah ibunya muncrat ke mana-mana. Tersangka pertama tentu saja Yujin yang terbangun dengan tubuh penuh darah. Kalau bukan dia, lalu dari mana sumber darah yang ada di bajunya dan juga di kamarnya? Sayangnya, Yujin tidak ingat satu hal pun kejadian pada malam sebelumnya. Ia hanya ingat bahwa ia baru saja pulang dari acara kampusnya dan ia habis minum-minum padahal penyakit epilepsi yang dideritanya membuatnya tidak boleh minum minuman keras. Di titik itu aku sudah mulai curiga dengan penyakit epilepsi yang diderita Yujin. Benarkah epilepsi? Atau ada penyakit lain yang sebenarnya disamarkan sebagai epilepsi? Awalnya aku pikir dia mengidap kepribadian ganda, tapi ternyata jauh lebih parah dari itu.

Selanjutnya, lewat ingatan Yujin yang muncul samar-samar aku diajak menebak-nebak apa sebenarnya yang terjadi pada ibu Yujin yang menyebabkan ia tewas secara mengerikan. Di sela-sela kegiatan mengingatnya, Yujin juga seringkali teringat dengan masa lalunya. Ia bercerita tentang ayah dan kakaknya yang sudah lama meninggal; ia bercerita tentang Hae Jin, anak laki-laki yang diadopsi ibunya; ia bercerita tentang ibu dan bibinya; ia juga bercerita tentang kecintaannya pada berenang. Sebenarnya, aku agak kesulitan mengikuti cerita Yujin karena tidak ada batas yang jelas saat ia bercerita tentang masa kini dan masa lalu. Jadi meski aku gak betah dengan ceritanya yang terlalu berdarah-darah, gak banyak bagian yang bisa aku skip (gak betah tapi tetap dibaca sampai habis juga ya, Mei..😂😂)

Aku dibuat semakin penasaran ketika Yujin menemukan buku catatan ibunya yang menceritakan segala hal tentang Yujin seolah anak itu diamati secara intens oleh ibunya sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi sampai seorang ibu harus mengamati pergerakan anaknya sedemikian rupa? Buku catatan ibu Yujin adalah kunci yang menguak apa yang terjadi pada ibunya, yang sebenarnya sudah bisa ku tebak dari awal. Yujin adalah psikopat predator/pemangsa dan obat "epilepsi" adalah obat yang harus ia minum untuk menahan hasratnya untuk memangsa. Melalui buku ini, aku dibuat paham kenapa psikopat predator disebut predator/pemangsa. Karena secara teknis mereka memang memangsa orang-orang yang sudah menjadi target mereka. Dan karena aku suka mendengarkan cerita true crime, aku tahu kalau biasanya penjahat-penjahat psikopat membunuh korbannya dengan sangat sadis sampai membuatku tak habis pikir kenapa ada orang yang bisa berbuat sekejam itu.

Membaca The Good Son pun membuatku ingat dengan drama korea Mouse yang menjelaskan bahwa seorang psikopat terlahir tanpa gen MAO-A yang berfungsi untuk mengendalikan emosi manusia. Seorang psikopat tidak punya emosi tapi dia bisa merasakan emosi orang lain dan memanfaatkannya. Seorang psikopat pun gemar berbohong dan tidak seperti orang yang menunjukkan tanda-tanda saat mereka berbohong seperti tidakbisa melakukan kontak mata, sering menggaruk-garuk hidung, dll. Seorang psikopat malah tampak tenang saat menyuarakan kebohongan, malah terlalu tenang.

Mengikuti narasi buku ini dari sudut pandang Yujin membuat perasaanku terombang-ambing. Rasa ngeri dan takut tentu mendominasi, terutama saat Yujin mengakui kegilaan yang telah ia lakukan dan menunjukkan rasa senang yang aneh setelah ia memangsa targetnya. Tapi ada satu titik di mana aku merasa iba karena mengira Yujin sama seperti Bareum di drakor Mouse yang meratapi nasibnya yang berbeda dengan orang-orang "normal". Aku jadi berandai-andai juga, apakah jika ibu Yujin membesarkan Yujin tanpa memaksanya minum obat apakah Yujin akan bisa hidup normal? Atau apakah jika Yujin tetap diizinkan berenang maka ia bisa mendistraksi hasratnya untuk memangsa pada hal yang lebih baik? Tapi setelah aku membaca halaman-halaman selanjutnya, aku menyesali diriku yang sudah membuang-buang waktu untuk merasa iba pada Han Yujin, karena sudah bisa dipastikan kalau ibu Yujin tidak mengindahkan kata-kata adiknya maka ia akan meninggal lebih cepat dan tentu saja hasrat memangsa seorang psikopat predator tidak bisa dialihkan hanya dengan berenang karena nyatanya hasrat itu sudah muncul jauh sebelum Yujin dilarang berenang, kematian kakaknya lah yang menjadi bukti dari kebiadaban Han Yujin. Sungguh emosi sekali aku karena buku ini, apalagi saat aku tiba di bagian ending yang menunjukkan pengkhianatan Yujin pada Haejin yang kematiannya sungguh sia-sia. Rasanya aku kepingin mengguncang-guncang bahu Haejin saat ia tidak langsung melaporkan Yujin ketika rumah mereka didatangi polisi. Mungkin kalau Haejin tahu Yujin adalah psikopat predator ia akan langsung menelepon polisi setelah ia menemukan mayat ibu dan bibi angkatnya yang mengenaskan. Hhh..

Selain batas yang blur antara cerita di masa kini dan masa lalu, aku pun dibuat bingung dengan kematian ayahnya Yujin yang tidak diceritakan secara rinci. Apakah ayah Yujin tenggelam karena berusaha menyelamatkan Yumin atau tenggelam karena didorong juga oleh Yujin? Aku juga bingung dengan kata-kata bibi Yujin sebelum ia meninggal. Selain itu aku juga merasa kurang sreg dengan sekian banyak kebetulan yang diterima Yujin padahal dia sudah memakan banyak sekali korban. Untuk seorang pembunuh berdarah dingin, kehidupannya yang dikelilingi oleh orang-orang baik sungguh bikin aku tidak rela 😭😭

Setelah membaca buku ini sampai habis, aku dibuat penasaran dengan alasan Jeong You Jeong menulis buku ini. Tentu aku mengira bahwa ia memiliki alasan yang cukup kuat untuk membuatnya "menghidupkan" tokoh manusia yang sungguh tidak manusiawi seperti Yujin dan pertanyaanku terjawab di bagian belakang buku tempat Jeong You Jeong menuangkan catatan pikirannya yang berjudul "Manusia Berevolusi Menjadi Pembunuh". Jeong You Jeong bercerita bahwa ada suatu kejadian yang menjadi pemantik ketertarikannya pada sisi jahat manusia. Kejadian itu adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pria muda berumur 23 tahun. Pria itu kuliah di luar negeri namun malah asik berjudi sampai menumpuk hutang. Saat ia kembali ke Korea, sang ayah menyebutnya orang tak berguna. Akhirnya pria itu marah dan membunuh kedua orang tuanya. Ia menikam ayahnya sebanyak 50 kali dan menikam ibunya sebanyak 40 kali lalu membakar rumah beserta keponakannya yang sedang tidur untuk menghilangkan bukti (dan sepertinya kasus ini pernah ku dengan ceritanya dari channel Korea Reomit). Saat itu Jeong You Jeong mengaku bahwa ia sama sekali tidak paham dengan alasan pemuda itu membunuh keluarganya dengan cara yang begitu kejam dan tidak merasa menyesal sama sekali. Ia berkata bahwa ia hanya memiliki petunjuk dari Freud.

"Bahkan orang yang bermoral dan berhati baik sekalipun tanpa sadar menyimpan khayalan tentang perbuatan-perbuatan yang terlarang, keinginan-keinginan kejam, dan khayalan-khayalan tentang kekerasan yang mendasar. Yang membedakan orang jahat dengan orang-orang lain pada umumnya adalah apakah mereka akan bertindak menuruti keinginan gelap itu atau tidak."

Dari pemahamannya itu, ia pun menjawab pertanyaan tentang mengapa ia begitu tertarik pada sisi jahat manusia. "Karena setiap manusia memiliki "hutan gelap" dalam dirinya". Menurutku, jawaban Jeong You Jeong, juga kata-kata Freud tidak hanya tepusat pada seorang psikopat predator/pemangsa tapi juga kita sebagai spesies manusia biasa.

Saat pertama kali membaca buku genre psychologichal thriller (di Jepang dikenal dengan nama iya-misu) dan merasakan perasaan tidak nyaman setelah tamat membaca bukunya, aku bertanya-tanya bagian mana persisnya yang membuatku merasa tidak nyaman. Awalnya ku pikir karena buku-buku ini menyuguhkan ending yang tanpa penyelesaian. Tapi ternyata dugaanku salah. Hal yang membuatku tidak nyaman adalah hal yang dikatakan oleh Jeong You Jeong dan Freud itu. Buku-buku psychological thriller yang sudah ku baca biasanya berfokus pada apa yang dipikirkan dan dirasakan tokoh-tokohnya dan semua pikiran jahat yang muncul di benak mereka selalu dituliskan dengan gamblang. Hal itu membuatku merasa kepergok karena aku pun kadang punya pikiran jahat yang tidak ku suarakan (meski aku gak sampai kepingin menggorok leher orang ya astagfirullah..). Sungguh menyebalkan sebenarnya membaca buku-buku sejenis itu, tapi justru dari buku-buku itulah aku menyadari bahwa aku ini tidak sebaik dan selurus yang aku kira.

Tapi, Minato Kanae Sensei pernah berkata bahwa buku-buku seperti itu justru bisa membuat kita lebih berpegang erat pada kompas moral karena lewat tokoh-tokoh yang mengeksekusi pikiran jahat mereka. Kita jadi tahu bahwa konsekuensi dari hal jahat itu sungguh tidak main-main. Secara paradoks, buku yang menyuguhkan pikiran-pikiran jahat manusia justru memotivasiku untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Maka meskipun seringkali merasa tersiksa, aku masih betah baca buku psychological thriller 🤣🤣

Comments

Popular Posts