Tentang Buku Menjadi dan Penulisnya, Kak Afutami

Andhyta Firselly Utami, atau yang biasa dikenal dengan Afutami, adalah seorang ekonom lingkungan yang saat ini bekerja di World Bank juga orang yang menginisiasi Think Policy. Aku sudah cukup lama mem-follow Kak Afu di instagram dan aku selalu suka dengan cara Kak Afu menjelaskan hal-hal kompleks yang terasa "jauh", terutama dalam kaitannya tentang krisis iklim dan ekonomi lingkungan yang memang menjadi spesialisasinya, dengan kalimat yang "membumi" sehingga orang-orang yang awam seperti aku bisa dengan mudah menangkap isu yang penting itu. Dan menurutku buku Menjadi adalah cara lain Kak Afu untuk menggaungkan isu-isu penting yang terasa "jauh" itu sekaligus wadah untuk menuangkan suara-suara di dalam kepalanya.

Sebelumnya aku perlu mengaku kalau sebenarnya aku cukup kesulitan untuk menulis review tentang seberapa bagusnya buku ini. Aku ingin menuliskan poin-poin penting yang ada di dalam buku ini karena siapa tahu orang-orang yang masih ragu untuk membaca buku ini bisa lebih terbantu. Sayangnya, aku merasa semua poin di buku ini tuh penting 🤣🤣 Jadi yah.. maafkan aku kalau review ini akan terasa tidak habis-habis dibaca saking panjangnya 🙊🙈

Buku ini dibagi menjadi 3 bagian dan aku akan mencoba menjabarkan inti dari masing-masing bagian dengan sejelas mungkin.

Bagian A: Umbi, Serambi, Bahari

Di bagian ini, aku diajak untuk mengenal lebih dalam setiap lapisan dalam diri yang ku miliki serta melihat kembali peran-peran yang melekat dalam diriku. Bagian ini adalah bagian yang terasa paling dekat buatku karena aku pun sering mengalami keresahan dan kebingungan (atau istilah dalam buku ini adalah disonansi kognitif) yang juga sempat di alami Kak Afu. Kadangkala peran atau label yang melekat pada diriku bisa terasa sangat membebani dan membuatku overwhelmed dengan segala ekspektasi yang termuat di dalamnya dan kurasa banyak pembaca lain yang juga akan merasa relate dengan bagian ini. Tentu saja tidak ada orang yang sempurna dan tidak ada orang yang harus sempurna dan penting bagi kita untuk mengetahui cara untuk mengemban peran atau label itu dalam ketidaksempurnaan yang kita miliki dan menemukan esensi dari "menjadi" dalam ketidaksempurnaan itu.

"Pemahaman baru terhadap "diri" sebagai kumpulan proses, pengalaman, label, identitas, maupun peran-peran tersebut bisa sangat memerdekakan. Mereka semua adalah aku, tapi untuk bisa Menjadi dan berpikir dengan jernih, aku mengizinkan diriku untuk memulai dari "diri" di lapisan terdalam dan melepaskan tanggung jawab yang bersifat membebani atau harapan-harapan yang datang dari lapisan-lapisan tambahan."

Di bagian A ini, Kak Afu juga menyuguhkan beberapa teknik yang bisa menjadi alat kita untuk berpikir lebih kritis terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita dan tentu bisa menjadi alat untuk membuka lapisan-lapisan diri kita. Yang paling ku suka adalah ketika Kak Afu menjelaskan tentang cara "melihat masalah dari atas balkon". Bayangkan kita sedang mengikuti sebuah pesta dan terjun ke lantai dansa. Di lantai dansa itu kita akan melihat diri kita dan orang-orang di samping kiri kanan kita berdansa tapi kita tidak tahu apa yang sedang terjadi di ujung lain lantai dansa itu. Dengan kata lain, "di lantai dansa" sudut pandang kita terbatas. Lain halnya jika kita naik ke atas balkon, kita bisa melihat semua orang dari "kacamata" yang lebih lebar. Kita tahu apa yang terjadi di tengah lantai dansa, kita tahu apa yang sedang di lakukan orang di sudut lantai dansa yang lain, dan lain-lain. Dengan cara itu, perspektif kita jadi lebih luas.

Tapi, apakah setelah kita menguasai kemampuan berpikir kritis maka kita akan menjadi orang yang gemar mengkritik setiap hal? Kak Afu menjelaskan bahwa berpikir kritis itu tidak berbahaya seperti yang orang lain kira.

"Berpikir kritis bukan tentang menjadi kritikus, apalagi secara tidak konstruktif. Turunan dari berpikir kritis justru adalah kemampuan berempati. Ketika berpikir secara lebih sistematis, kita juga melatih kepekaan terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain, baik lawan bicara maupun pihak lain yang terdampak oleh isu yang sedang dibahas. Karena itu, dalam menyampaikan masukan, melakukannya dengan empatik adalah bagian tak terpisahkan dari berpikir kritis."

Ada kalimat yang mengatakan, "listen to understand, don't listen to reply" dan ku rasa kalimat itu adalah kalimat yang sungguh tepat untuk menggambarkan apa sebenarnya berpikir kritis itu. Dengan berpikir kritis, kita bisa memahami lebih dalam suatu konteks yang sedang dibahas dan memahami hal itu bisa membuat kita punya rem untuk tidak menghakimi orang lain dengan apa yang kita percaya adalah suatu kebenaran.

Bagian B: Membuka Jendela Pikiran

Setelah kita bisa mengenal diri dengan lebih baik, langkah selanjutnya adalah memetakan hal-hal yang ada di sekitar kita dan juga menyadari bahwa dunia ini jauh lebih luas dari yang kita kira. Bagian B ini adalah bagian yang menurutku paling menarik sekaligus paling "daging" isinya. Di bagian ini Kak Afu berbicara tentang privilese, nasionalisme, serta ekonomi dan lingkungan yang berhubungan erat dengan pengalaman hidupnya sejak kecil. Di bagian ini, Kak Afu juga menyinggung tentang gap yang jauh sekali antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia.

Dari pie chart di atas bisa dilihat ketimpangan sosial yang terjadi karena 45% kekayaan di Indonesia terkonsentrasi di 1% orang terkaya yang mengingatkanku pada tentang kemiskinan struktural saat pembahasan tentang privilese banyak dibicarakan. Penelitian mengatakan bahwa kemiskinan struktural itu ibarat lingkaran setan, karena anak yang lahir dan tumbuh besar dari keluarga miskin kemungkinan besar akan hidup miskin juga setelah dewasa. Maka jelas aku tidak setuju dengan kalimat "If you born poor it's not your mistake. But if you die poor it's your mistake" yang dikemukakan oleh Bill Gates. Karena memang tidak semudah itu kita memetakan kemiskinan struktural karena kalau dibedah lebih dalam, orang miskin tidak melulu karena mereka malas. Ada faktor pendidikan dan layanan kesehatan yang tidak memadai, minimnya akses untuk melihat dunia luar yang lebih luas, minimnya kesempatan untuk bekerja dengan upah yang lebih layak, dan lain-lain. Belum lagi kalau mereka bertemu dengan pihak yang lebih "pintar" dan malah memanfaatkan ketidaktahuan mereka.

Kak Afu juga membahas tentang krisis iklim yang makin ke sini makin meresahkan. Persetujuan Paris yang diselenggarakan tahun 2015 mengeluarkan kesepakatan negara-negara di dunia untuk menjaga suhu bumi naik tidak lebih dari 1.5 derajat celcius. Tapi dengan langkah-langkah santuy para kepala negara dalam menangani isu penting ini, para peneliti memperkirakan bahwa target tersebut pasti tidak akan tercapai dan kita harus bersiap menghadapi bencana alam yang akan jauh lebih parah dari yang sudah-sudah.

Tahun lalu, Kak Afu membuat video yang menyiratkan keresahannya terhadap isu ini dan menurutku penting untuk dilihat bagi banyak orang. Kalian bisa menonton videonya di sini. kata-kata yang ia sampaikan di videonya itu pun ia tampilkan dalam buku Menjadi.


Bagian B juga menjadi bagian yang paling membuatku merenung lama. Aku jadi kembali merenungi fungsiku sebagai seorang individu juga sebagai warga negara. Aku juga mau ambil bagian untuk meminimalisir masalah-masalah yang kompleks itu tapi bagaimana caranya? Setiap kali aku menemukan orang yang menanyakan pertanyaan serupa, jawabannya pasti selalu "mulai dari hal kecil dulu". Maka aku mulai memilah-milah sampah dan mengirimkannya ke tempat daur ulang, mulai mengurangi emisi pribadi secara berkala dengan lebih hemat listrik dan menggunakan kendaraan umum (meski kadang-kadang masih suka pergi atau pesan makanan lewat ojek online). Aku pun berencana untuk berdonasi bibit pohon secara berkala. Tapi, apakah itu semua cukup? Entah. Aku hanya berharap ada lebih banyak orang lagi orang yang membaca buku ini agar ikut bergerak untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik.

Bagian C: Bergerak dengan Kaki

Setelah belajar untuk mengenali lapisan-lapisan yang ada pada diri sendiri dan memetakan apa yang kita rasa penting bagi kita, di bagian C ini Kak Afu berbicara tentang bagaimana kita bisa bergerak dan mengeksekusi hal-hal yang kita rasa penting agar hal itu bisa memberi dampak, tidak hanya untuk kita sendiri tapi juga untuk banyak orang dan lebih baik lagi untuk membuat negeri ini lebih baik lagi.

"Dunia di sekitar kita dibentuk oleh keputusan-keputusan yang lahir dari pemikiran atau persepsi terhadap dunia dari mereka yang berpartisipasi. Ketika kita menolak untuk ikut urun dalam membentuk dunia nyata, kita sedang membiarkan orang lain yang berpartisipasi untuk membentuknya. Mungkin tidak akan selalu jadi masalah kalau orang lain itu punya penilaian yang benar dan kemudian melahirkan tindakan yang benar. Tapi lebih sering mereka yang memimpin, berdiri di depan semata-mata mengedepankan kepentingan pribadi, atau terlalu percaya diri, serta alasan-alasan lain yang bermasalah. Tapi apa artinya berusaha mengubah? Apa yang harus diubah dan ke arah mana? Lewat jalur mana? Bagaimana dengan hal-hal yang tidak jelas-jelas benar dan tidak jelas-jelas salah. Apakah yang abu-abu juga perlu diubah?"

*****

Tanggal 5 November kemarin, aku berkesempatan untuk mengikuti peluncuran buku Menjadi ini yang dihadiri oleh Kak Afu (tentu saja!) dan teman-teman Kak Afu yang membagikan cerita mereka yang beresonansi dengan setiap bagian dalam buku Menjadi. Pengalaman itu adalah pengalaman yang sangat membuatku merasakan banyak sekali emosi menyenangkan secara bersamaan. Ada rasa kagum yang timbul setiap kali mendengar pemikiran-pemikiran dari teman-teman Kak Afu yang sebelumnya bahkan tak ku ketahui siapa mereka, ada rasa haru dan juga rasa syukur karena menjadi salah satu orang yang bisa duduk dan menyaksikan secara langsung acara bincang-bincang santai yang isinya "daging" semua itu.

Di acara itu, Kak Afu menceritakan alasan ia menulis buku Menjadi yang berangkat dari suatu keresahan dalam dirinya karena ia merasa banyak sekali buku-buku di luar sana yang mengharuskan kita untuk menjadi sesuatu. Harus jadi kaya, harus punya ini di umur segini, harus mencapai itu di umur segitu. Dan di dalam diri sendiri pun ada dorongan untuk harus begini harus begitu untuk mengikuti ekspektasi dari luar sana. Padahal sebenarnya di dunia ini tidak ada yang harus. Apa pun boleh kita lakukan yang penting kita tahu konsekuensi dari apa yang kita lakukan. Kak Afu juga mengatakan bahwa proses berubah pikiran itu boleh. Karena tidak mungkin orang bisa tahu sesuatu yang benar sejak awal dan tidak ada proses berubah pikiran di dalam prosesnya bertumbuh. Singkatnya, buku Menjadi adalah buku yang bisa menjadi alat bantu kita untuk mengenal diri kita lebih dalam dan berproses sampai akhirnya kita "menjadi", meski kurasa "menjadi" itu sendiri bukan sebuah titik akhir dari perjalanan kita berproses.

Ada sebuah quote yang bilang "never meet your heroes" yang bisa diganti dengan "never meet your idol/bias/etc" yang seolah menjadi peringatan bahwa hal-hal yang kita lihat hanyalah tampilan yang luar dari orang yang kita idolakan yang membuat kita memiliki ekspektasi yang tinggi tapi begitu bertemu kita bisa kaget sendiri dengan kekurangan dari orang-orang tersebut yang tidak pernah mereka tampakan. Tapi rasanya pengalamanku bertemu Kak Afu secara langsung menangkis kata-kata itu. Kak Afu sendiri adalah seorang figure yang secara terang-terangan menunjukkan dirinya lewat media sosial atau lewat tulisan-tulisannya di blog. Kak Afu bercerita banyak tentang pencapaiannya juga bercerita banyak tentang rasa sedih dan lukanya dan aku sangat sangat mengapresiasi keputusan Kak Afu yang berusaha tampil apa adanya seperti itu. Hal itu pun terkonfirmasi saat aku bertemu secara langsung dengan Kak Afu. Alih-alih merasa kecewa, aku malah semakin kagum dengan sosok Afutami ini, terutama dengan caranya menyuarakan apa yang ingin ia sampaikan (aku sering nontonin diskusinya Kak Afu di youtube, podcast, atau ig live dadakannya dan image yang ku dapatkan di sosial media sama dengan image yang disuguhkan Kak Afu di acara kemarin) dan caranya memperlakukan teman-teman dan juga orang-orang di sekitarnya.

Sebagai penutup, aku ingin mengatakan bahwa aku bukanlah orang yang ambisius, bahkan aku merasa kalau ambisiku minus dan seringkali aku merasa bersalah karena hal itu. Di salah satu IG live nya Kak Afu aku pernah bertanya, "apakah tidak memiliki ambisi itu salah?" Dan jawaban Kak Afu kurang lebih sama seperti apa yang membuatnya tergerak menulis buku Menjadi. "Di dunia ini tidak ada yang "harus". Punya ambisi pun bukan suatu keharusan dan ambisi itu sendiri tidak melulu harus hal-hal besar. Bisa saja punya ambisi untuk berbuat baik, punya ambisi untuk menjadi seorang ibu, atau lain-lain." Membaca buku Menjadi dan mengikuti peluncuran bukunya secara langsung menjadi sebuah pengalaman yang sedikit banyak membuatku punya ambisi untuk terus belajar mengupas lapisan-lapisan diri, dan melihat dunia dengan lebih kritis tanpa lupa berempati, juga membuatku berambisi untuk lebih banyak lagi melakukan hal-hal baik. Terima kasih Kak Afu telah menulis dan menerbitkan buku ini ✨️✨️

p.s. Aku tidak yakin apakah review ini cukup jelas menggambarkan isi bukunya (karena kesannya seperti aku hanya menumpahkan kekagumanku saja, jadi maaf ya kalau review kali ini lebih subjektif dari review-reviewku biasanya ðŸ¤£ðŸ¤£

p.p.s. acara peluncuran bukunya bisa kalian tonton juga di sini, ya.

Comments

Popular Posts