Finding Balance Between Give and Take

Pagi tadi saat aku membuka kulkas untuk mengambil bekal, aku menemukan hadiah kecil berupa kopi susu nescafe beserta notes yang mengatakan kalau kopi susu itu sengaja disediakan untuk siapa pun yang mau. Hadiah kecil itu sontak membuatku senyum-senyum sendiri dan mengucap terima kasih dalam hati kepada siapa pun yang sudah berbaik hati. Kopi susu dan juga kata-kata baiknya itu sungguh menjadi amunisiku di selasa pagi untuk memulai hari setelah lembur mulu dari minggu lalu.



Aku selalu merasa bahwa perasaanku setelah bangun tidur akan menentukan keseluruhan hariku akan berjalan seperti apa. Kalau pagi-pagi ku habiskan dengan mood yang gak karu-karuan atau perasaan gloomy (yang entah disebabkan karena apa), biasanya seharian itu aku akan mudah sekali jengkel dan misuh-misuhin semua hal, bahkan hal kecil sekalipun yang dalam kondisi "normal" gak akan berdampak apa-apa bagiku. Sebaliknya, jika aku bangun pagi dengan mood yang baik (yang sebagian besar disebabkan karena aku cukup tidur tapi tetap saja aku hobi begadang *oops) maka aku akan merasa "ringan" sekali sepanjang hari, mau ada hujan badai pun aku tetap bisa cengengesan. Dan sudah bisa dipastikan bahwa hadiah kecil itu akan membuat moodku baik seharian penuh meski fisikku masih terasa lelah akibat kurang tidur terus.

Dan karena hal ini, selama perjalanan ke kantor tadi, otakku pun mengulang segelintir memori tentang kebaikan-kebaikan kecil yang pernah ku terima dari orang-orang di sekitarku. Tapi sejujurnya, aku lebih suka memberi daripada menerima. Seperti yang seringkali ku katakan bahwa memberi adalah suatu hal yang membuatku merasa hidup. Memberi seolah memompa hormon oksitosinku (salah satu hormon kebahagiaan) ke level maksimal. Sementara aku perlu usaha ekstra untuk bisa menerima pemberian orang lain dengan tulus.

Dulu, ada masa di mana aku risih sekali jika ada temanku yang memberi sesuatu untukku, entah memberi hadiah ulang tahun, memberi hadiah di waktu-waktu tertentu (seperti saat Imlek atau Natal, meski aku gak merayakan Natal), memberi pujian atau ucapan terima kasih, atau memberi waktu mereka untuk mendengarkan ceritaku. Entahlah, aku masih meraba-raba tentang alasan dibalik ketidaksukaanku pada kegiatan "menerima" ini. Kadang kala di saat menerima pemberian orang ada rasa gak enak dan keharusan untuk ngebalikin (Asian culture hits me hard), ada kalanya saat ada orang yang memberi sesuatu aku merasa bahwa aku ini terlihat kekurangan di mata mereka, ada juga kalanya saat aku merasa tidak terbiasa dan tidak layak menerima pemberian orang seperti saat ada orang yang memberi pujian atau memberi ucapan terima kasih.

Aku pun pernah berkata pada teman-temanku yang suka memberi hadiah untuk berhenti ngasih aku barang-barang karena aku risih dan takut teman-temanku itu merasa terbebani (semoga mereka gak tersinggung, ya 🙈🙊) dan dalam hati ku tambahkan kalau aku juga merasa terbebani (karena merasa harus ngebalikin), lalu salah satu dari mereka berkata bahwa memberi tidak membuat mereka merasa terbebani karena ia memang suka memberi sesuatu pada orang lain (ku tebak love language temanku itu pastilah receiving gifts). Jawabannya itu membuatku tertegun dan saat itu aku baru menyadari bahwa ada gap yang jauh antara apa yang aku pikirkan dan orang lain pikirkan (really.. ini adalah suatu hal klise yang saat itu tidak ku pahami).

Momen saat aku pergi ke psikolog dan diajari untuk membantah pikiran-pikiranku pun menjadi salah satu momen lain yang membuatku belajar menerima sesuatu dengan tulus. Aku mulai membayangkan diriku saat aku berada di posisi si pemberi dan si penerima dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diriku sendiri yang harus ku jawab sejujur-jujurnya.

Aku suka sekali memberi. Benar.

Apakah kalau aku memberi sesuatu maka aku mengharapkan balasan? Tidak.

Apakah kalau aku memberi sesuatu pada orang lain maka aku menganggap orang itu kekurangan? Tidak (kecuali kalau memberi donasi).

Apakah kalau aku memberi ucapan terima kasih atau pujian kepada seseorang aku merasa bahwa orang tersebut sebenarnya tidak layak mendapat ucapan terima kasih atau pujian? Tidak (I really hate sugar coating).

Kenapa kamu suka memberi? Memberi adalah satu dari sekian hal magis yang kusukai karena bukannya merasa kurang, dengan memberi aku malah merasa mendapat sesuatu yang seringkali tidak bisa hanya dideskripsikan dengan kata "senang" atau "bahagia". Rasanya content atau "penuh" setiap kali aku memberi.

Dari pertanyaan-pertanyaan itu, aku menarik kesimpulan bahwa ketidaksukaanku untuk menerima sesuatu dari orang lain adalah manifestasi dari ego yang tak ku sadari bersemayam dalam diriku. Memang aku jarang sekali menolak pemberian orang secara terang-terangan, dulu malah gak pernah nolak (it was so hard to say "no"), tapi aku tahu saat aku menerima pemberian itu, aku tidak menerimanya dengan tulus. Rasanya aku seolah tak mengizinkan orang lain untuk merasakan rasa senang dan puas setelah memberi sesuatu yang mereka pikir akan cocok untukku. Aku bahkan merendahkan diriku sendiri karena aku merasa tidak layak menerima pujian atau sekadar ucapan terima kasih. Kenapa sih, Mei?

Kata-kata temanku saat ia berkata bahwa ia suka memberi sesuatu selalu ku jadikan pengingat agar aku tidak lagi-lagi merasa terbebani dengan kebaikan orang lain dan juga mengizinkan orang lain merasakan kesenangan, kebahagiaan, atau perasaan puas yang kurasakan seperti saat aku memberi. Apakah berhasil? Tentu saja belum sepenuhnya, setidaknya untuk saat ini. Kadang kala aku masih merasa risih, merasa harus ngebalikin, dll. Tapi memang selalu butuh waktu yang panjang dan tak tentu untuk berproses ke arah yang lebih baik.

Comments

Popular Posts