The Anthropocene Reviewed - John Green [BOOK REVIEW]

Aku sudah jatuh hati dengan tulisannya John Green sejak pertama kali berkenalan dengan karyanya The Fault in Our Stars yang ku baca sekitar tahun 2014. Sejak saat itu aku terobsesi untuk membaca tulisan-tulisan John Green yang lain. Setiap kali membaca buku-buku John Green, aku selalu merasa punya koneksi dengan tokoh-tokohnya. Mungkin karena hampir semua tokoh dalam bukunya John Green adalah seorang deep thinker atau gemar memikirkan sesuatu yang out of the box atau keduanya. Di setiap bukunya pun John Green selalu menyuguhkan banyak sekali hal baru yang sebelumnya tidak ku ketahui. Jadi meski buku-bukunya bergenre young adult, saat membacanya otakku terasa seperti diisi amunisi pengetahuan. Oh! Dan aku sangat menyukai cara John Green menyampaikan sesuatu dengan mengunakan metafora. Semakin banyak aku membaca buku-bukunya John Green, semakin aku bertanya-tanya sebenarnya apa yang ada di dalam kepalanya John Green? wkwkwk Maka aku penasaran sekali ketika John Green menerbitkan buku non fiksi pertamanya yang berjudul The Anthropocene Reviewed ini. Judulnya saja sudah bikin aku excited karena aku tidak tahu apa itu anthropocene (atau antroposen dalam Bahasa Indonesia) dan lagi-lagi John Green menambah pengetahuanku tentang hal yang sebelumnya tidak ku ketahui.

 


Di kata pengantar buku ini, John Green memberitahu bahwa antroposen adalah sebutan bagi zaman geologis terkini, ketika manusia secara besar-besaran mengubah planet Bumi dan keragaman hayatinya. John Green juga memberi intermezo bahwa manusia senang memberikan rating pada banyak hal terutama dalam beberapa dekade terakhir. Rating berskala 1-5 pertama kali digunakan untuk menilai film di tahun 1950an, lalu digunakan untuk menilai hotel di tahun 1979, dan kemudian untuk menilai buku setelah Amazon memperkenalkan fitur user reviews. Maka sesuai judulnya, The Anthropocene Reviewed, di buku ini John Green memberikan review dengan sistem 5 bintang itu untuk banyak hal yang terkait dengan peradaban manusia hingga saat ini. Setiap bab dalam buku ini topiknya akan terasa random (dan bisa langsung terlihat begitu pembaca mengintip daftar isinya), misalnya saja angsa Kanada, komet Halley, air conditioning (iya, AC yang bikin kita gak kepanasan), internet, CNN, perlombaan makan hot dog, matahari tenggelam, wabah kolera, lagu New Partner, grup band The Mountain Goats, dll. Tapi melalui buku ini, John Green seolah mengajakku untuk mengamati, menelaah, mengevaluasi, dan juga mengkritisi banyak sekali hal dalam hidup yang kita jalani hingga saat ini.

Di beberapa bab, John Green menyinggung-nyinggung tentang krisis iklim yang memang semakin lama semakin terasa urgent apalagi kalau melihat banyak sekali bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, atau heat wave yang terjadi di banyak negara. Di bab yang membahas tentang air conditioning atau AC. John Green menyebutkan bahwa AC adalah penemuan yang sangat membantu peradaban manusia. Tapi, dari penggunaan benda yang memberikan kesejukan di dalam ruangan, kita juga membuat suhu di luar menjadi semakin panas.

John Green juga memberi kritik pada manusia-manusia yang semakin minim empati dan mudah sekali "disetir" oleh seorang sosok terkenal ataupun media yang ia bahas pada bab Lomba Makan Hot Dog Nathan's Famous dan CNN. Pembahasan John Green di kedua bab itu membuatku mengangguk setuju karena sampai sekarang pun "fenomena" seperti itu masih terjadi. Banyak sekali orang yang mudah percaya pada berita-berita atau konten-konten yang sebenarnya tidak bisa dipercaya, semakin banyak orang mudah tersulut emosinya dan akhirnya meributkan hal-hal sepele yang sebenarnya tidak perlu diributkan sementara hal-hal penting yang memang harus dibicarakan malah diabaikan dan dilupakan, apalagi dengan semakin banyaknya content creator atau so-called-influencer yang alih-alih memberi pengaruh baik malah menuntun masyarakat menuju kemunduran. Belum lagi dengan hal-hal yang tidak semestinya diucapkan tapi kemudian dikatakan dengan dalih "hanya bercanda".

"Ketika Anda memegang mikrofon, apa yang Anda katakan punya pengaruh besar, meski Anda hanya bermaksud bercanda. Sangat mudah berlindung di balik kata "hanya" dalam "hanya bercanda". Itu cuma gurauan. Kita hanya melakukannya untuk bikin meme. Tapi, hal-hal yang tak masuk akal dan absurd masih tetap bisa memegaruhi pemahaman kita tentang diri kita sendiri dan satu sama lain. Dan kekejian yang konyol tetaplah keji." - John Green

Zaman sekarang "orang yang memegang mikrofon" mungkin bisa disamakan dengan orang-orang yang memiliki banyak sekali followers dan "memegang kendali" atas followers itu sehingga apa pun yang mereka ucapkan bisa dengan mudah dianggap sebagai sebuah kebenaran bagi banyak orang tanpa ada yang berpikir untuk melakukan double check apakah hal yang disampaikan itu memang benar atau hanya asumsi pribadi yang sebenarnya bisa diperdebatkan. Seringkali orang-orang itu hanya berpikir, "yang penting viral dulu, yang penting views dulu. Perkara benar atau tidaknya urusan nanti", karena toh atensi masyarakat cepat sekali berganti dari konten satu ke konten lainnya.

Dalam bab CNN, John Green bilang kalau dalam Bahasa Inggris berita adalah news yang diambil dari kata new yang berarti baru. Jadi sebenarnya media berita seolah punya misi untuk selalu siap menyediakan sesuatu yang baru yang bisa dikonsumsi masyarakat bukan apa yang penting dan patut diperhatikan. Pada 1 Juni 1980, CNN adalah media berita pertama yang mendedikasikan diri untuk selalu menyajikan news yang selalu up to date selama 24 jam. Dan setiap hal yang baru yang terus-terusan diberitakan membuat kita memiliki bias terhadap banyak sekali hal dan cenderung menyederhanakan sesuatu. Kita makin sering melihat dunia sebagai hitam putih padahal dari 1 headline berita ada banyak sekali hal yang tidak diceritakan, tapi sebelum kita bisa mengkritisi berita itu ada berita baru lain yang muncul. Dan aku setuju pada apa yang dikatakan John Green bahwa jurnalisme yang baik berupaya mengoreksi bias-bias pemikiran itu dan membantu memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta dan tempat kita di dalamnya bukan malah menyebarluaskan kebodohan dan kesempitan berpikir. Sebenarnya kita bisa memilah mana saja berita atau konten yang bisa dipercaya kebenarannya dan layak untuk kita konsumsi, tapi di zaman yang apa-apa serba cepat ini ada berapa banyak orang yang bersedia mengambil jeda untuk mengkritisi hal-hal yang berseliweran di berita atau di media sosial?

John Green berkata bahwa lebih dari 150 tahun yang lalu, humoris Amerika Josh Billings menulis, "Sejujurnya, saya percaya lebih baik tak tahu apa-apa ketimbang mengetahui informasi yang tak benar."

Bab yang membahas tentang Mario Kart pun sungguh menarik buatku. Anak generasi 90an mana yang tidak tahu game Mario Kart? Game balap yang dirilis tahun 1992 itu sangat populer di zamannya, sampai aku yang tidak suka main game pun mau tak mau jadi ikut keranjingan karena game balap itu menyuguhkan sesuatu yang menarik. Setiap pemain bisa memilih karakter dan mobil balap yang selain lucu juga punya powernya masing-masing dan track balapnya pun unik-unik. Dulu aku sangat menikmati memainkan game itu meski aku hampir selalu menjadi pembalap terakhir yang mencapai finish. Tapi dibalik permainan yang menyenangkan dan memanjakan mata dengan warna-warni yang cerah itu, John Green bilang bahwa game itu bertolak belakang dengan kehidupan kita. Ia mengamati bahwa orang yang terampil memainkan game balap belum tentu menjadi yang pertama saat bermain Mario Kart, karena dalam game itu keberuntungan berperan penting. Pembalap-pembalap yang berada di urutan belakang bisa saja mendapat banyak power up saat mendapat question box sementara pembalap di urutan pertama seringnya hanya mendapat hal-hal yang tidak berguna seperti kulit pisang. Pembuat game Mario Kart rupanya menjunjung tinggi asas keadilan, karena dalam game tersebut semua orang bisa merasakan kemenangan dan juga kekalahan. Sementara di kehidupan nyata, orang-orang yang berada diurutan pertama lah yang biasanya mendapatkan banyak power up. Di bab ini, John Green menyinggung hal yang anak-anak zaman sekarang sebut sebagai privillege dan mengingatkan kita bahwa hidup ini tidak seadil game Mario Kart.

Selain menulis essay tentang banyak hal yang menyinggung tentang isu sosial, John Green juga banyak menceritakan pengalamannya saat mengidap OCD (akhirnya aku paham kenapa ia bisa menuliskan tokoh Aza dalam bukunya Turtles All The Way Down dengan sangat detail saat OCD yang diidapnya kumat), masa kecilnya saat menghadapi bullying di sekolah, dan masa-masa kelam yang ia alami. Selain itu, John Green juga bercerita tentang hal-hal sederhana yang ia sukai, seperti lagu New Partner yang dinyanyikan oleh The Mountain Goats, grup band favoritnya, yang selalu mengisi momen penting dalam hidupnya atau foto "Tiga Petani dalam Perjalanan ke Pesta Dansa" yang diambil oleh August Sander beberapa saat sebelum Perang Dunia I pecah yang akhirnya menjadi pengingat bahwa kita, manusia, tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Selain itu, John Green juga banyak menyelipkan trivia-trivia menarik (atau setidaknya menarik untukku), misalnya tentang orang-orang Mesir kuno yang menggantung ilalang basah di jendela agar rumah mereka lebih sejuk; tentang sejarah Teddy Bear (iya, boneka beruang yang lucu itu) yang ternyata berkaitan dengan mantan presiden Amerika, Theodore Roosevelt; awal mula sistem rak-rak toko swalayan yang memungkinkan pembeli untuk mengambil sendiri produk-produk yang mereka inginkan; atau sejarah papan ketik QWERTY yang merupakan salah satu benda favoritku di dunia wkwkwk

Di bagian penutup buku ini, John Green bercerita bahwa versi bahasa jerman dari buku ini berjudul, "Wie hat Ihnen das Anthropozän bis jetzt gefallen?" yang berarti, "Bagaimana pengalaman Anda menikmati antroposen sejauh ini?". Melalui judul versi bahasa jerman itu John Green kembali mengajakku untuk merefleksikan apa-apa saja hal yang ku nikmati dalam hidupku sejauh ini. Aku juga diajak untuk merenungi kalimatnya, "kita sedemikian kecil dan sedemikian lemah, begitu luar biasa mengerikannya fana."

Setelah membaca habis bukunya, aku mencari-cari informasi tambahan tentang buku ini di youtube. Meski John Green sudah banyak memberi penjelasan tentang buku ini, aku masih haus dengan pertanyaan "mengapa?". Akhirnya aku menemukan interviewnya di Live Wire Radio. Di interview berdurasi 15 menit itu, John Green memberitahu kenapa ia memutuskan untuk menulis buku non fiksi padahal semua buku-buku sebelumnya adalah buku fiksi dan kenapa buku non fiksi pertamanya adalah tentang antroposen.

"Fiction is written in code and I am the only person who knows the code, knows the relationship between myself and the story. I was trying to navigate that I was aware of the fact that people were going to read me into the story and I was trying to think about how to deal with it. And then after Turtles All The Way Down came out I had sort of serious health and when I was recovering from that I realized that I just didn't want to write in code anymore. I wanted to try to write directly about myself and really kind of myself, not least. Because I needed to write my way back into hope, like hope that my life can be worthwhile and I wanted to remind myself of the importance of connection between people, and the importance of the incredible human capacity for wonder, for awe, for joy. All of that stuff I'd become pretty distant from and so I wrote this book for me." - John Green

Dari interview tersebut, aku menangkap kalau buku ini adalah karya John Green yang membuatnya lebih dekat dengan kehidupan yang ia miliki dan ia jalani sampai saat ini. Karena meski ia membahas banyak hal yang terasa familiar jika dibaca oleh orang lain tapi dalam review yang ditulisnya tentu ada pengalaman dan intepretasi pribadinya terhadap hal itu yang menguarkan perasaan intens dari dalam dirinya sendiri. Dan tentu aku punya pengalaman dan pemahaman berbeda tentang matahari terbenam atau tentang CNN. Sekali lagi, John Green memberi tahu bahwa otak manusia bisa menelurkan sekian banyak pemikiran yang kompleks sekali yang bisa membawa kita ke pertanyaan-pertanyaan lain dan pemikiran-pemikiran lain. Aku pernah berkata kepada sepupuku bahwa selama aku memiliki rasa ingin tahu aku akan memandang dunia sebagai puzzle yang tak akan selesai, sebuah metafora yang sangat kusukai karena memang begitulah hidup yang terlihat dari kacamataku. Bagiku, buku ini menjawab pertanyaanku tentang apa yang ada di dalam kepala John Green sekaligus menjadi amunisiku untuk memandang dunia dari sudut pandang yang lebih luas lagi. Dan kurasa untuk kaum deep thinker, buku ini adalah asupan yang baik untuk otak. Ku beri buku ini lima bintang (tentu saja!)

Sebelum dijadikan buku, The Anthropocene Reviewed lebih dulu hadir dalam bentuk podcast dan bisa kalian dengarkan di spotify. Tapi karena podcastnya itu monolog dan kadang bikin aku ngantuk, aku jadi mendengarkan podcastnya di youtube yang ada video animasinya.

Comments

Popular Posts