When Breath Becomes Air - Paul Kalanithi [BOOK REVIEW]

When Breath Becomes Air adalah sebuah memoar yang memuat kehidupan Paul Kalanithi, seorang dokter bedah saraf yang hampir mencapai masa puncaknya karena ia akan menyelesaikan masa residensinya dan siap menyambut masa depan yang cemerlang. Namun, ketika Paul mulai merasakan nyeri pungung yang berkelanjutan dan berat badannya menurun drastis, ia tahu bahwa mimpi dan masa depannya yang cemerlang sudah menguap tak bersisa. Di usianya yang ke-36, Paul Kalanithi didiagnosis mengidap kanker paru-paru stadium IV.
 


Di buku yang ditulisnya sendiri, Paul menceritakan pemikiran hidupnya secara mendalam. Ia mulai bercerita dari masa kecilnya; masa di mana ayahnya, yang juga merupakan seorang dokter, memboyong keluarganya untuk pindah ke Arizona; dan "pertemuan"nya dengan sebuah buku berjudul Satan: His Psychotherapy and Cure by the Unfortunate Dr. Kassler, J.S.P.S. karya Jeremy Leven di masa-masa senggangnya sebelum ia masuk universitas. Buku itulah yang memantik Paul (yang pada dasarnya adalah seorang pemikir) untuk mencari makna sesungguhnya dari kehidupan. Berkat buku itu juga Paul memutuskan untuk mengambil kelas biologi dan ilmu saraf disamping studinya pada bidang sastra di Stanford. Agak melenceng jauh memang ya, dari sastra lalu ke ilmu saraf hmm. Tapi semakin lama aku mengikuti pemikiran-pemikiran mendalam Paul, aku pun semakin dibuat paham dengan benang merah yang mengaitkan cabang-cabang ilmu yang nampak berseberangan itu. Paul merasa bahwa ilmu sastra adalah ilmu terbaik yang bisa memaparkan kehidupan pikiran, sementara ilmu saraf adalah ilmu yang memaparkan peraturan-peraturan otak yang paling elegan. Setelah lulus kuliah, akhirnya Paul memutuskan untuk memulai profesinya sebagai dokter bedah saraf, masih dengan tujuan yang sama: mencari makna hidup.

"Bedah saraf memikatku karena menyangkut saling terjalinnya otak dan kesadaran, dan juga saling terjalinnya kehidupan dan kematian." - Paul Kalanithi

Paul juga menceritakan secara detail tentang studinya untuk menjadi dokter bedah saraf. Ada beberapa penjelasannya yang cukup grafis, saat membedah kepala mayat misalnya, yang sempat membuatku bergidik ngeri. Tapi, di bagian ini juga Paul menceritakan perasaannya yang semakin lama menjadi tumpul saat melakukan pembedahan yang jika dibiarkan tentu akan menuju ke ketiadaan moral. Lewat ceritanya, Paul menunjukkan bahwa selain butuh otak yang pintar, menjadi seorang dokter pun perlu keberanian, dedikasi, serta moral yang baik.

Membaca apa yang dituliskan Paul tentang pemikiran mendalamnya mengenai kehidupan membuatku mau tak mau ikut memikirkan hidupku dari sisi yang lain secara lebih mendalam. Dan meskipun Paul adalah seorang pemikir, seorang yang menurutku bijak, dan juga seorang yang sangat tegar, Paul tetaplah seorang manusia biasa. Di masa-masa awal ia mengetahui bahwa ada yang salah dengan dirinya, ia sempat menolak mati-matian untuk mengetahui bahwa kematian sedang mendekatinya, lebih cepat dari yang ia kira.

"Sebelum di diagnosis kanker, aku tahu bahwa suatu hari nanti aku akan mati, tetapi aku tak tahu kapan. Setelah diagnosis itu, aku tahu bahwa suatu hari nanti aku akan mati, tetapi aku tak tahu kapan. Namun, kini aku sangat menyadari kematian." - Paul Kalanithi

Ironisnya, kanker itulah yang merekatkan hubungan Paul dengan istrinya, Lucy, yang hampir retak karena kesibukan mereka. Mereka mulai sadar bahwa mereka harus mengubah segala hal dalam kehidupan mereka secara radikal dan perubahan yang paling tinggi urgensinya adalah mengubah perhatian dan kesadaran mereka untuk hidup di masa kini.

Paul benar-benar mengajarkanku arti sesungguhnya dari kehidupan. Makna kehidupan yang selalu ia cari-cari semakin menampakan dirinya di saat-saat kematiannya sudah dekat. Dokter onkologinya, Emma, berkali-kali bertanya apa hal yang paling diinginkan Paul untuk mengisi sisa hidupnya yang tidak lama lagi dan Paul memutuskan untuk tetap bekerja menjadi dokter saraf dan berhasil menyelesaikan residensinya tepat waktu. Paul ingin tetap menjadi seorang dokter saraf sebanyak sisa waktu yang diberikan semesta ke padanya. Di masa-masa menyakitkan itu, Paul dan Lucy juga memutuskan untuk memiliki seorang anak. Aku sempat berpikir hal yang juga dipikirkan Lucy, bahwa akan terlalu berat bagi Paul jika ia akhirnya harus mengucap selamat tinggal pada satu orang lagi yang disayanginya setelah anaknya lahir, "bukankah mengucapkan selamat tinggal kepada anakmu akan membuat kematianmu lebih menyakitkan?" tapi Paul berkata, "Bukankah akan luar biasa jika itu terjadi?". Saat mengetahui jawabannya itu aku merasa bahwa Paul sudah benar-benar siap untuk menerima kematiannya yang kian mendekat.

Selain membuat buku ini, Paul juga sempat menuliskan essay berjudul My Last Day as a Surgeon yang dimuat di The New Yorker dan Before I go: Time warps for a young surgeon with metastatic lung cancer yang dimuat di Standford Medicine Magazines. When Breath Becomes Air ditulis oleh Paul dengan harapan bahwa kisah hidupnya bisa membantu orang lain untuk menemukan apa yang benar-benar penting dalam hidup mereka. Meski buku ini tidak ditulis oleh Paul sampai selesai, kurasa pesan yang ingin Paul sampaikan sudah tertuang dengan sangat baik dan aku sangat suka dengan pesan yang dituliskan Paul untuk putrinya, Cady, yang menyempurnakan kebahagiaan Paul di saat-saat terakhir hidupnya.

"Saat kau tiba pada salah satu dari banyak momen dalam kehidupan ketika kau harus menceritakan dirimu sendiri, memberikan catatan mengenai seperti apa kau dahulu, apa yang telah kau lakukan, dan apa makna dirimu bagi dunia, kuharap kau tidak lupa bahwa kau telah memenuhi hari-hari seseorang yang sekarat dengan kegembiraan luar biasa, kegembiraan yang tidak kukenal pada tahun-tahun sebelumnya, kegembiraan yang tidak bernafsu untuk meraih lebih banyak lagi, tetapi kegembiraan yang tenang dan puas. Saat ini, sekarang ini, itu hal yang sangat luar biasa." - Pesan Paul untuk Cady.

Tulisan Paul yang tidak selesai ini ditutup dengan epilog yang ditulis oleh istrinya, Lucy. Dari awal membaca aku sudah merasa berhasil menguatkan diri agar air mataku tidak jatuh saat membaca kisah Paul, tapi pertahananku runtuh ketika membaca apa yang dituturkan oleh Lucy. Selama beberapa tahun itu Lucy mengalami kehilangan sekaligus pertemuan dari kehidupan Paul dan Cady yang saling beririsan. Aku membayangkan bagaimana Lucy menatap Paul yang terlihat sudah sangat siap menerima kematiannya dan membayangkan bagaimana ia menatap Cady di hari-hari setelah Paul tiada.

"... kami tahu bahwa satu trik untuk mengatasi penyakit mematikan adalah dengan jatuh cinta secara mendalam-menjadi rapuh, baik, murah hati, penuh syukur." - Lucy Kalanithi

Di balik kesedihan dan kesibukannya, Lucy tetap mendampingi Paul dan mendukung apa pun keputusan yang Paul ambil. Dan menurutku, Lucy adalah sosok yang luar biasa sekali yang juga menjadi pelengkap kebahagiaan Paul di saat-saat terakhirnya.

"Hampir sepanjang hidupnya Paul bertanya-tanya mengenai kematian-dan apakah dia bisa menghadapinya dengan penuh integritas. Pada akhirnya, jawabannya adalah "ya". Akulah istri dan saksinya." - Lucy Kalanithi

Paul meninggal pada bulan Maret tahun 2015, 8 bulan setelah putrinya lahir, tapi sosoknya masih hidup melalui tulisannya yang luar biasa sampai saat ini. Perlu waktu lama bagiku untuk mengumpulkan niat sehingga aku bisa menulis review ini karena setiap kali aku mengingat potongan-potongan kehidupan dan pemikiran Paul rasa sedih langsung menyergapku tanpa aba-aba. Kehilangan memang masih menjadi topik yang sulit kuhadapi, termasuk "menghadapi" kehilangan orang yang notabene tidak ku kenal. Tapi ku rasa, kisah hidup dan pemikiran Paul dalam buku ini perlu dibaca oleh lebih banyak orang lagi agar kita bisa sekali lagi menilik kehidupan kita dan menemukan apa yang benar-benar penting bagi kita saat ini.

Comments

Popular Posts