Things I Can't Live Without #30DWCDAY03

Tentu saja hal-hal yang harus ku miliki agar tetap hidup adalah oksigen, makanan, dan uang. Tapi saat aku hendak menjabarkan alasan dari pentingnya hal-hal itu otak overthinking dan suara hatiku melakukan aksi demo, yang sebenarnya merupakan hal langka karena jarang sekali si otak dan si hati bisa satu suara. Menurut mereka, selain hal-hal teknis itu, ada hal-hal lain yang tidak kalah penting yang selama ini betul-betul aku andalkan agar bisa hidup sebagai manusia seutuhnya. Jadi inilah pembahasan panjangku akan hal-hal maha penting itu.


1. Empati

Aku pernah menganggap bahwa empati adalah sebuah kutukan. Kenapa? Karena empati lebih banyak membuatku susah dibanding memberiku perasaan menyenangkan. Empati seringkali membuatku tidak bisa tidur setelah membaca berita tentang bencana alam yang terjadi di belahan bumi lain, empati seringkali membuatku resah dan gelisah setelah mendengar kisah malang dari orang-orang yang namanya tidak ku kenal, empati juga seringkali membuatku menitikan air mata sampai berhari-hari atas kehilangan yang sedang di hadapi oleh orang-orang di sekitarku. Tak jarang pula empatiku salah sasaran. Ketika aku membaca buku atau menonton drama korea yang ceritanya sedih misalnya, tetap saja aku mendapatkan gejala yang sama seperti yang ku sebutkan sebelumnya. Aku sering tidak bisa tidur karena tokohnya begini, di lain hari aku menangis semalaman karena tokohnya begitu. Empati membuatku seperti spons yang mudah sekali menyerap emosi dari setiap orang yang ku temui, baik orang-orang di dunia nyata maupun di dunia fiksi, yang tak jarang membuatku lelah sendiri bahkan sampai sakit karena terlalu lama menangis atau karena pikiranku terlalu penuh. Wajar bukan kalau aku merasa bahwa empati itu kutukan?

Tapi belakangan aku baru sadar kalau selama ini persepsiku salah. Empati yang ku miliki bukanlah sebuah kutukan, hanya saja kadarnya terlalu tinggi. Kalian tahu kan kalau setiap hal yang "terlalu" itu pasti dampaknya tidak baik? Seperti terlalu produktif yang menjadi toxic productivity atau terlalu positif yang menjadi toxic positivity. Empatiku yang terlalu tinggi pun lama-lama menjadi toxic empathy (kalau istilah itu ada). Tapi apakah empati itu salah? Tentu saja tidak, empati adalah hal yang sangat baik yang bahkan sudah menjadi "barang langka" di dunia yang penuh dengan orang-orang individualis seperti saat ini. Yang salah adalah caraku memandang empatiku yang ketinggian itu.

Entah apa yang menjadi pemantikku, tapi suatu ketika aku tiba-tiba sadar kalau empatiku ini ibarat kekuatan super. Tahu kan kalau di cerita-cerita pahlawan super awalnya si pahlawan super itu selalu kesulitan dalam mengontrol kekuatan supernya? Bahkan mereka menyembunyikan kekuatan mereka karena mereka pikir kekuatan mereka adalah sumber kehancuran. Seperti si pahlawan super, aku pun perlu belajar untuk mengontrol kekuatan superku ini agar menjadi sesuatu yang berguna, alih-alih menghancurkan diriku sendiri. Karena ternyata selain membuatku (terlalu) merasakan apa yang dirasakan orang lain, empati juga memberitahuku bahwa aku bisa berbuat sesuatu untuk orang itu (meski pada nyatanya tidak selalu demikian). Empati juga ternyata membuatku merasa berharga dan merasa yakin bahwa diriku ini bisa berguna bagi sesama. Jadi, setelah aku meluruskan persepsiku yang salah, aku merasa bahwa empati adalah salah satu hal paling penting yang tidak bisa tidak ku miliki. Empati adalah kiblatku untuk memanusiakan manusia.


2. Rasa Ingin Tahu

Waktu kecil aku adalah seorang anak yang sama seperti anak-anak pada umumnya, punya rasa ingin tahu yang tinggi. Aku ingat aku menyukai buku sejak kecil dan selalu senang jika menemukan hal-hal baru dari buku. Microsoft Encarta adalah hal kedua favoritku setelah buku sebelum aku mengenal wikipedia. Tapi aku juga ingat kalau pertanyaan-pertanyaanku sering mengundang tawa orang lain dan tak jarang disebut sebagai "pertanyaan bodoh". Maka lambat laun aku berhenti mengacungkan tangan di kelas untuk bertanya dan rasa ingin tahu yang sebelumnya menggebu-gebu pun ku pensiunkan secara paksa. Pernah wali kelasku di SMA berkata pada mamaku bahwa aku terlalu pendiam di kelas sehingga dia bingung apakah aku mengerti apa yang diajarkan guru atau tidak. Tapi aku tetap memutuskan untuk bungkam karena takut ditertawakan dan dikatai bodoh lagi.

Aku ingat waktu kuliah, berkali-kali timbul hasratku untuk bertanya di beberapa kelas yang mata kuliahnya kusukai, tapi berkali-kali pula tanganku tak jadi terangkat dan malah keringat dingin yang keluar. Sebegitu takutnya aku untuk bertanya sampai aku tak ingat lagi kapan terakhir kali aku bertanya. Pertanyaan "kenapa?" seolah menjadi hal tabu dan akhirnya lenyap begitu saja dari kosa kataku.

Akhirnya ketika masuk ke dunia kerja, salah seorang bosku berpesan, "Na," saat itu aku dipanggil Nana karena ada orang kantorku yang memiliki nama yang persis sama denganku, "kalau kamu gak paham jangan takut untuk nanya, daripada kamu ngerjain tapi ujung-ujungnya salah yang ada malah kerja dua kali." Petuah yang sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan efektivitasku dalam bekerja itu malah menjadi kata-kata yang memantik kembalinya rasa ingin tahu yang sudah lama ku pensiunkan. Timbul kembali hasratku untuk bertanya dan meski beberapa kali kalah dengan trauma masa kecilku, akhirnya aku berhasil juga mengucapkan kata sederhana itu, "kenapa?". Sejak itu, entah sudah berapa banyak "kenapa?" yang ku lontarkan. Di rumah, di tempat kerja, di dunia pertemananku, di dunia maya, bahkan pertanyaan itu pun sering ku ajukan pada diri sendiri.

Rasa ingin tahu yang menyeruak ke permukaan tanpa bisa ku bendung itu pun langsung membuatku bertanya-tanya, "kenapa selama ini aku begitu enggan bertanya karena luka di masa lalu?" Setelah rasa ingin tahu kembali datang, aku seperti robot usang tak terpakai yang akhirnya dihidupkan kembali. Rasa ingin tahu seperti memberiku kesempatan kedua karena rasa ingin tahu ternyata membantuku memperkaya isi kepala, membantuku menemukan hal-hal menarik di sekitarku, membantuku bisa lebih memahami isi hati orang-orang di sekitarku, dan membantuku mengenal diriku lebih baik lagi. Rasa ingin tahu juga menjaga keinginanku untuk tetap hidup karena aku masih ingin melihat dunia lebih jauh lagi. Maka tentulah rasa ingin tahu juga menjadi salah satu hal terpenting yang tidak bisa tidak ku miliki.


3. Menulis

Sejak kecil, orang-orang selalu berkata bahwa aku dan adikku adalah dua sosok yang bagaikan langit dan bumi. Adikku sangat supel, sementara aku sangat tidak suka bergaul. Adikku sangat suka berbicara, sementara aku pendiam minta ampun sampai tak jarang mamaku menghela napas berat setiap kali menyuruhku berbicara. Mungkin aku memang sudah terlahir dengan cetak biru sebagai orang pendiam atau bisa jadi aku yang pendiam ini semakin pendiam karena mengalami hal-hal tidak menyenangkan yang kupikir akan terjadi kalau aku banyak bicara (bertanya misalnya).

Maka kertas dan pensil menjadi pelarianku sejak kecil. Jika disuruh berbicara, kosa kataku seolah mandek keluar dari mulut dan entah mengapa otakku malah panik sendiri, "aduhaku harus ngomong apa, ya?" Tapi di hadapan kertas, setiap kata dan setiap kalimat mengalir lancar seperti melaju di jalan bebas hambatan melalui jemariku. Sampai sekarang akhirnya otakku seolah lebih sinkron dengan jari dibanding dengan mulutku saat ingin bersuara. Kenapa begitu, ya? Bisa jadi karena saat menulis, aku tidak merasa berada di bawah tekanan. Bisa juga karena saat menulis, aku selalu sendirian (aku sangat suka sendirian). Tapi apa pun alasannya, saat menulis aku merasa bebas. Aku merasa bebas mengeluarkan kata-kata, aku merasa bebas menyuarakan isi hatiku, aku merasa bebas mengurai benang kusut di kepalaku. Saat menulis, aku merasa bebas sebebas bebasnya.


Saat aku didiagnosis mengalami trauma berat, psikologku menyarankan agar aku menulis kapan pun aku merasa cemas. Beliau bilang kalau orang dengan trauma biasanya kemampuan berbicaranya terganggu tetapi kemampuan menulisnya tidak. Karena memang suka menulis, aku mengikuti sarannya dengan senang hati. Dan memang melegakan sekali rasanya setelah memindahkan rasa cemasku yang bergulung tiada henti di kepala ke dalam bentuk tulisan. Sejak saat itu, selain membuatku merasa bebas dan membantuku dalam berkomunikasi, menulis juga menjadi coping mechanism terbaikku. Menulis pun menjadi salah satu hal terpenting yang tidak bisa tidak ku lakukan. Menulis adalah hidupku.

Comments

Popular Posts