The Kite Runner - Khaled Hosseini [SPOILER BOOK REVIEW]

Seorang guru les Bahasa Inggrisku pernah merekomendasikan sebuah buku, "you should read The Kite Runner since you love to read. That's my favorite book". Aku sudah sering melihat buku The Kite Runner dan juga sering membaca review orang-orang yang berkata bahwa buku itu bagus dan wajib dibaca sekali seumur hidup tapi kata-kata guru lesku itulah yang menjadi pemantik rasa ingin tahuku terhadap buku yang berlatar di antara Asia Tengah dan Asia Selatan itu, tepatnya di Afghanistan, sebuah negara muslim yang ku tahu penuh dengan konflik dan perang. 


Bab pertama dari buku itu menawarkan pemandangan Afghanistan yang sama sekali berbeda dari yang selama ini ku ketahui. Mengambil latar cerita tahun 1970an, Khaled Hosseini menunjukkan Afghanistan yang masih sangat layak ditinggali lewat sudut pandang Amir, seorang anak laki-laki yang lahir dari keluarga Pashtun yang terpandang. Ayahnya, yang ia panggil Baba, merupakan seorang pria bertubuh tinggi besar yang sangat disegani oleh masyarakat di kota tempat tinggal mereka. Baba terkenal dengan integritasnya dan juga suka menolong orang lain tanpa pamrih. Menjadi anak dari orang seperti Baba merupakan kebanggaan sekaligus tekanan tersendiri bagi Amir karena apa pun yang ia lakukan, ia selalu hidup dalam bayang-bayang ayahnya, orang Pasthun yang terhormat.

"Kalau kau membunuh seorang pria, kau mencuri kehidupannya. Kau mencuri seorang suami dari istrinya, merampok seorang ayah dari anak-anaknya. Kalau kau menipu, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan kebenaran. Kalau kau berbuat curang, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan keadilan." - Baba

Di rumah mereka yang besar, Amir dan Baba tinggal bersama seorang pelayan, Ali, dan anaknya Hassan. Ali dan Hassan adalah orang-orang dari suku Hazara, suku yang menjadi minoritas sekaligus menempati kasta terendah di Afghanistan. Orang-orang dari suku Hazara umumnya melakukan pekerjaan kasar ataupun menjadi pelayan yang sering mendapat penyiksaan dari majikan mereka. Jadi untuk ukuran orang Hazara, Ali dan Hassan tentu termasuk beruntung karena mereka bekerja bersama dengan majikan yang memperlakukan mereka seperti keluarga. Baba dan Ali sebenarnya memiliki sejarah mereka sendiri. Ayah Baba adalah seorang hakim yang memungut Ali saat ia masih kecil karena orang tuanya meninggal dalam kecelakaan, jadi Baba dan Ali bisa dikatakan tumbuh besar bersama. Dan seperti mengulang sejarah orang tua mereka, Amir dan Hassan, yang usianya hanya terpaut satu tahun, pun tumbuh besar bersama. Amir selalu membacakan buku untuk Hassan yang buta huruf di bawah pohon rindang di bukit dekat rumah mereka, sementara Hassan selalu menolong Amir jika ada anak-anak nakal yang mengganggunya.

Halaman-halaman pertama buku ini membuatku terbuai dengan kehidupan Amir dan Hassan yang terasa nyaman dengan kehidupan masa kecil mereka yang menyenangkan. Sampai aku tiba di bab 8, bab yang menjadi pembuka tragedi bertubi-tubi yang terjadi di bab-bab selanjutnya.

Meski tumbuh besar bersama, sejak kecil Amir selalu merasa iri dengan Hassan yang mendapatkan kasih sayang Baba dalam porsi yang sama seperti dirinya. Semakin beranjak dewasa, sifat iri hati Amir semakin menjadi-jadi, terlebih ketika ia mendengar kekhawatiran Baba terhadap dirinya yang lebih suka bergelung dalam kata-kata daripada bermain bola bersama anak-anak lain. Amir merasakan penolakan yang teramat sangat dari satu-satunya orang tua yang ia punya yang menjadi pemantik pengkhianatannya pada Hassan.

Di Kabul, tempat tinggal Amir dan Hassan, adu layang-layang merupakan kegiatan yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua warga. Butuh strategi dan juga kegigihan untuk bisa memutus semua layang-layang yang berkibar dan menjadi satu-satunya layang-layang yang mengudara di angkasa sampai permainan berakhir. Setiap layang-layang yang putus selalu menjadi mangsa empuk bagi anak-anak. Mereka mati-matian mengejar layang-layang itu seolah layang-layang itu adalah piagam emas yang bisa mereka banggakan kelak. Hassan adalah pengejar layang-layang terbaik di kota itu. Tak pernah sekalipun ia pulang dengan tangan kosong saat mengejar layang-layang yang kemudian selalu ia hadiahkan untuk Amir. Tahun 1975 adalah tahun yang sangat penting bagi Amir karena kepada Baba ia berjanji bahwa ia akan menjadi pemenang dalam adu layang-layang itu. Amir merasa dirinya akan segera mendapatkan hal yang ia dambakan selama bertahun-tahun jika ia memenangkan pertandingan itu, kasih sayang tanpa batas Baba. Tapi, siapa yang menyangka bahwa hal yang sangat didambakan Amir menuntunnya pada tragedi yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Kasih sayang Baba yang selama ini ia inginkan harus dibayar mahal dengan pengkhianatan dan kepergian Hassan dari hidupnya.

Pada tahun 1976, konflik di Afghanistan pecah. Pergantian kepemimpinan akibat kudeta meluluhlantakan kedamaian Afghanistan. Amir dan Baba pun terpaksa mengungsi ke Amerika. Baba menganggap dirinya meninggalkan kampung halaman sekaligus kejayaannya sementara Amir menganggap ia terbebas dari dosa yang telah ia perbuat kepada Hassan dan bisa memulai kehidupan baru di Negeri Paman Sam. Sayangnya tak semudah itu masa lalu melepaskan Amir. Setelah Amir dan Baba bisa menemukan ritme di Amerika yang sama sekali berbeda budayanya dengan Afghanistan, pada 2001 Rahim Khan, sahabat lama Amir dan Baba, menelepon Amir dan memintanya untuk kembali ke Afghanistan serta menebus dosa yang ia lakukan bertahun-tahun silam.

Selain membuka kembali luka yang berusaha ia kubur rapat-rapat, kepulangan Amir ke Afghanistan pun menguak sebuah kebohongan besar dari kehidupan Amir dan juga Hassan. Afghanistan yang kembali dilihat Amir setelah sekian lama sama sekali berbeda dengan Afghanistan tempat ia menghabiskan masa kecilnya. Kota tempat tinggalnya yang dulu nampak hidup kini penuh dengan sisa-sisa pembantaian yang terjadi sejak Taliban berkuasa. Amir bahkan menyaksikan secara langsung teror yang ditunjukkan oleh Taliban saat mereka menghukum orang-orang yang mereka anggap telah berzina di hadapan ratusan orang. Taliban juga menumpas semua kaum Hazara yang mereka anggap tidak setara dengan suku-suku Afghanistan lain. Hassan adalah salah satu orang Hazara yang mereka bunuh.

Yang tertinggal dari Hassan hanyalah putranya Sohrab, yang namanya berasal dari salah satu pahlawan dari buku kesukaan Amir dan Hassan saat mereka kecil. Mendengar nama putranya saja sudah memunculkan rasa pilu di hatiku tapi ternyata masih ada kejadian-kejadian yang jauh lebih memilukan yang menyambut Amir ketika ia berusaha memperjuangkan Sohrab. Anak laki-laki yang masih kecil itu sama sekali tidak pernah mencicipi masa kecil yang menyenangkan seperti ayahnya dan Amir. Ia tidak pernah bermain bersama anak-anak lain, nonton di bioskop, apalagi main adu layangan. Masa kecil Sohrab diisi dengan suara tembakan dan suara bom bertubi-tubi. Kematian orang tuanya dan pelecehan yang ia terima seolah melengkapi nasib buruk anak itu yang membuatku sama sekali tidak bisa membayangkan rasa sakit seperti apa yang bermuara di dalam tubuh kecilnya. "Aku lelah dengan semuanya", kalimat itu yang ia lontarkan kepada Amir setelah ia terselamatkan dari percobaan bunuh dirinya.

Setelah membaca habis buku setebal 600an halaman ini, pikiranku melayang jauh memikirkan penderitaan orang-orang di Afghanistan sana, negara yang belum pernah ku datangi. Aku jadi berharap bahwa Thanos benar-benar ada dan dengan jentikan jarinya bisa memusnahkan orang-orang barbar seperti Taliban. Sungguh berat sekali rasanya aku membaca bagian yang menggambarkan Taliban secara detail dan sangat grafis. Kekejian Taliban membuat negara yang penuh dengan keramahtamahan yang dibanggakan orang-orang Pashtun terasa seperti mitos belaka. Kisah Sohrab dalam buku ini membuat hatiku terasa seperti diiris pelan-pelan lalu aku semakin menghela napas berat ketika membayangkan ada berapa banyak Sohrab yang menjadi korban kebrutalan di negara mereka sendiri.

"Ada begitu banyak anak-anak di Afghanistan, tetapi hanya secuil masa kanak-kanak yang ada di sana." - Amir

Benar kalau buku ini dibilang sebagai buku yang berkisah tentang kemanusiaan karena tidak hanya menyoroti takdir getir antara Amir dan Hassan tapi juga menyoroti pergolakan politik di Afghanistan, diskriminasi tiada akhir yang menimpa kaum Hazara, memberitahuku apa sebenarnya integritas dan loyalitas itu, juga membuatku memahami bahwa setiap kita punya potensi untuk menjadi orang baik.

Tentu saja Hassan menjadi tokoh favoritku. Kepolosan dan loyalitas tanpa batasnya pada Amir membuatku langsung mengkategorikan Hassan sebagai orang yang langka. Mungkin ada yang bilang bahwa Hassan itu bodoh karena sebenarnya ia tahu bahwa Amir mengkhianatinya tapi ia tetap menganggap Amir sahabatnya. Tapi kurasa Hassan sama sekali tidak bodoh, ia bijaksana dan berjiwa besar. Hassan tahu apa yang menjadi pergulatan batin Amir, ia bisa melihat siapa sesungguhnya Amir yang bahkan luput dari orang-orang di sekitarnya bahkan Amirnya sendiri. Obrolan Amir dan Hassan saat duduk di bawah pohon menunggu layang-layang yang putus terbang ke arah mereka merupakan bagian favoritku. Di situ Hassan benar-benar berikrar akan selalu setiap pada Amir dan Amir akan terus menjaga integritasnya. Namun, pada akhirnya hanya satu dari mereka yang memegang janjinya.

Di bagian akhir aku juga diperlihatkan perkembangan karakter Amir setelah ia memantapkan hati untuk memboyong Sohrab apa pun yang terjadi sebagai penebusan dosanya pada sahabatnya dulu, orang yang sangat berarti bagi dirinya tapi terlambat ia sadari. Aku terpukau sekali dengan cara Khaled Hosseini menggambarkan karakter Amir yang penuh dengan keragu-raguan tapi hati kecilnya terus meronta-ronta karena sadar bahwa apa yang ia lakukan itu tidak benar. Aku menemukan sisi yang manusia sekali dalam diri Amir, bukankah setiap dari kita pernah menjadi Amir? Karakter Amir jugalah yang membuatku menyadari bahwa setiap kita punya potensi untuk menjadi orang baik. Seperti kata Rahim Khan, "ada jalan untuk kembali menuju kebaikan".

Selain When Breath Become Air, The Kite Runner juga menjadi buku yang sangat membekas di hatiku dan juga sulit sekali untuk aku buat reviewnya karena aku harus menggali ingatan tentang hal-hal memilukan yang tertulis dalam buku dan tentu saja mau tak mau perasaan sedih dan sakit hati pun kembali muncul ke permukaan. Tapi tentu aku setuju bahwa buku ini adalah buku yang bagus sekali dan wajib dibaca minimal sekali seumur hidup.

Comments

Popular Posts