Mereka yang Selalu Berkeliaran di Sekitarku Selama 11 Tahun Terakhir #30DWCDAY10

Waktu jalan-jalan ke Jogja kemarin, berkali-kali ku katakan pada teman-temanku, "Kita nih anomali, ya. Pantes kita temennya ini-ini aja, wong gak nemu lagi yang gesrek dan dodolnya kayak gini." Perkataan yang ku lontarkan dengan nada bercanda itu sebenarnya mengandung keseriusan karena meski sudah berteman lebih dari 1 dekade, baru kemarin aku benar-benar merasa aku adalah bagian dari pertemanan ini.


Pertemanan kami dimulai 11 tahun yang lalu, sekitar bulan September/Oktober saat kami semua baru menapaki dunia mahasiswa. Aku yang sulit bergaul dan pendiamnya minta ampun, selalu langganan duduk sendirian di baris paling depan di setiap kelas dan selalu celingukan kikuk setiap kali ada waktu senggang di antara jam kelas karena aku sama sekali tidak punya teman (kok sedih kalau diingat-ingat, ya 😂😂). Sampai suatu hari ada satu orang yang datang terlambat ke kelas, Helen namanya, dan dengan terpaksa ia duduk di sampingku di barisan depan. Untuk pertama kalinya ada orang yang ngajak aku ngobrol meski pertanyaannya hanya seputar, "udah bahas sampai yang mana?" Saat kelas usai, sambil takut-takut aku meminta untuk ikut ke kantin kampus bersama teman-temannya yang lain.

Hari itu ada banyak "pertama kali" yang ku alami. Pertama kali ada yang ngajak ngobrol di kelas, pertama kali gak makan sendirian di kampus, pertama kali juga berkenalan dengan yang namanya Debby dan Cindy yang entah bagaimana ceritanya menjadi salah dua dari teman-teman yang selalu berkeliaran di sekitarku selama 11 tahun ini. Dari berkenalan dengan Debby dan Cindy, semesta mengajakku berkenalan juga dengan yang namanya Dio beberapa minggu setelahnya (yang tidak ada di foto ini), lalu berkenalan dengan yang namanya Mey (iya, namanya mirip dengan namaku) di semester berikutnya, dan akhirnya berkenalan dengan Berto di semester 5 aku kuliah (jadi secara teknis pertemanan kami baru berumur 8.5 tahun).

Awalnya aku tidak mengerti kenapa aku bisa nempel dengan orang-orang yang kepribadian dan hobinya sungguh bertolak belakang denganku itu. Aku ingat di masa awal pertemanan kami, aku seperti terkena culture shock dengan sikap mereka yang kurasa kelewat santai. Tapi belakangan aku menyadari bahwa mereka memang kelewat santai tapi saat itu aku pun kelewat serius, maka masa-masa awal pertemanan kami sungguh menjadi tantangan tersendiri bagiku agar bisa beradaptasi.

Tanpa terasa, masing-masing dari kami lulus kuliah dan pertemanan yang selalu didominasi oleh hahaha hihihi itu mulai membuatku mempertanyakan fungsiku bagi mereka dan fungsi mereka bagiku. Saat itu aku menginginkan pertemanan yang bisa membuatku bergerak maju, tidak jalan di tempat, tidak hanya diisi oleh canda tawa, tidak melulu bersikap sebagai bocah-bocah dodol. Pokoknya aku mau maju, meski sebenarnya "maju" itu adalah kata yang sangat abstrak bagiku, karena kalau ditanya, "memangnya mau maju ke mana?" aku pun pasti menggeleng tak tahu. Meiliana umur 20an awal memanglah sosok yang sungguh naif dan sok tahu. Meski begitu, perasaan itu menetap lama sampai membuatku tiba pada kesimpulan "I am not belong with them".

Akhir tahun 2019, aku mulai menunjukkan tanda-tanda breakdown. Bom waktu yang tanpa sadar ku tanam sejak lama mulai menghitung mundur dengan cepat sampai akhirnya ledakan itu tak bisa ku hindari. Semua kesalahan yang pernah ku lakukan dan sekian banyak trauma masa lalu menyeruak ke permukaan tanpa aba-aba. Ketakutan yang tak ku tahu dari mana asalnya menelanku bulat-bulat. Aku seperti nahkoda kapal yang tidak bisa mengendalikan kapalku sendiri. Aku porak poranda. Tapi, saat itu aku hanyalah bocah sombong yang sama sekali belum mengenal diri sendiri. Aku malah menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi denganku, tak terkecuali teman-temanku itu. Aku mengatakan bahwa sikap santai mereka adalah sebuah kesalahan dan aku yang menjalin hubungan bertahun-tahun dengan mereka pun adalah sebuah kesalahan. Saat itu aku juga menyadari bahwa aku merasa pertemanan kami kosong dan tak ada artinya. Akhirnya aku memilih untuk pergi menjauh dari semua orang yang jelas membuat teman-temanku bingung, tapi mau bertanya pun mereka bingung. Yang bisa mereka lakukan hanyalah memberi waktu untukku menyendiri.

Konseling dan terapi di psikolog yang selanjutnya ku lakukan pelan-pelan mengurai benang kusut yang memenuhi kepalaku yang saat itu rasanya mau pecah, membuatku sadar bahwa kemarahanku pada teman-temanku itu adalah manifestasi dari trauma yang mendekam sejak lama. Baru ku sadari bahwa aku takut sekali kehilangan. Pertemanan yang terjalin selama bertahun-tahun itu memberiku perasaan nyaman, bahkan sangat nyaman rasanya sampai aku merasa melekat pada mereka. Dan di satu titik, aku mulai membayangkan akan sesakit apa rasanya jika mereka meninggalkanku seperti orang-orang yang ku kenal dulu. Karena aku tidak mau lagi-lagi merasakan rasa sakit itu, otakku melakukan pertahanan diri: pergi menjauh dari semua orang. Saat itu hal yang ku pikirkan adalah, "daripada aku sakit hati ditinggal mereka, lebih baik aku yang ninggalin mereka".

Kalau dilihat lagi sekarang, logikaku itu nampak melenceng dan rasanya konyol sekali. Tapi nyatanya justru hal itulah yang saat itu ku percaya sebagai keputusan terbaik yang bisa ku ambil. Lalu apakah benar itu keputusan terbaik? Tentu saja bukan. Menjauh dari semua orang malah membuatku bergelung dalam kegelapan yang semakin pekat. Untuk pertama kalinya aku merasakan betapa mengerikannya kesepian itu. Aku menganggap pertemananku sebelumnya kosong dan tanpa arti tapi ternyata aku sendiri yang mengosongkan duniaku dan melenyapkan arti hidupku. Ibarat masuk ke dalam gua yang gelap, aku merasa buta dan buntu. Konseling rutin dengan psikologku saat itu adalah salah satu cahaya yang menuntunku untuk keluar dari mulut gua. Dan setelah aku berhasil menemukan jalan keluar, ku dapati teman-temanku itu menunggu di luar gua seolah mereka ada di sana untuk menjemputku pulang.

Kejadian itu jelas bukan yang terakhir kali. Selama mentalku masih belum stabil, berkali-kali aku menjauh lagi dan memutuskan untuk kembali masuk gua yang gelap, tapi berkali-kali pula mereka menungguku di mulut gua seraya berkata, "take care ya di dalam sana, kalau perlu apa-apa kami ada di luar sini".

Sekarang, hal-hal yang membuatku mempertanyakan fungsi mereka untukku dan fungsiku untuk mereka pun terasa tidak penting lagi. Memangnya kenapa kalau pertemanan ini didominasi oleh canda tawa? Memangnya kenapa kalau pertemanan ini tidak seperti pertemanan-pertemanan lain yang membuat "maju"? Padahal kalau dilihat-lihat, pertemanan ini memberiku banyak sekali hal baik. Selain membuatku menyadari bahwa aku punya bakat menjadi orang gesrek nan dodol (yang entah harus ku syukuri atau tidak), mereka pun memberitahu bahwa hidup santai gak akan membuatku mati muda, mereka juga menjadi orang pertama yang memberi tahu bahwa aku seringkali terlalu keras pada diriku sendiri, mereka mengajariku agar bisa merasa nyaman menjadi diriku sendiri, dan dari mereka pula aku belajar caranya mengutarakan isi hati karena mereka selalu siap menampung setiap kata yang ku muntahkan. Aku juga bertanya-tanya, sebenarnya "kemajuan" seperti apa yang dulu ku inginkan? Karena nyatanya selama lebih dari 1 dekade terakhir ini aku sudah mendapatkan kemajuan yang aku butuhkan. Meiliana 11 tahun lalu pasti tidak menyangka bahwa dirinya akan memiliki kepribadian seperti Meiliana yang sekarang.

Ada pepatah yang mengatakan, "birds with the same feather flocks together", perjalananku ke Jogja bersama mereka kemarin membuatku mengambil kesimpulan bahwa seperti pepatah itu, kami pun ibarat burung-burung yang memiliki "warna" yang sama yang akhirnya bisa membuat DAKU, nama grup kami (tolong jangan tanya kepanjangannya apa), tetap utuh sampai saat ini. Kami adalah anomali dan aku merasa bersyukur menjadi bagian dalam anomali itu.

Aya, teman instagramku, pernah berkata, "mumpung masih bisa ngobrol ya ngobrol aja". Kata-katanya itu terus terngiang dalam benakku sampai saat ini yang membuatku belajar menghargai pertemananku saat ini. Tentu aku tahu kalau pertemanan anomali kami suatu saat nanti akan bubar jalan, tapi daripada terus bergelung dalam ketakutan yang belum pasti, sekarang aku belajar untuk menikmati pertemanan yang masih terjalin ini mumpung masih bisa.

Comments

Post a Comment

Popular Posts