Things Left Behind - Kim Sae Byoul [BOOK REVIEW]

Apakah yang terjadi setelah kita mati?

Bagaimanakah kisah sesungguhnya di balik kematian seseorang?

Sungguhkah kesepian membuat orang kehilangan semangat hidup?

Mengapa ada orang yang memutuskan untuk bunuh diri?

Things Left Behind merupakan buku yang ditulis oleh Kim Sae Byoul, seseorang yang bekerja membersihkan barang-barang orang yang sudah meninggal yang disebut juga dengan trauma cleaner. Kalau kalian pernah menonton drama korea Move to Heaven pasti kalian sudah familiar dengan pekerjaan "bersih-bersih" itu. Cerita dari drama korea Move to Heaven sendiri diangkat dari buku ini.

Setiap bab dalam buku ini memuat kisah-kisah yang "ditemui" Kim Sae Byoul dan rekan-rekan kerjanya saat membersihkan barang orang-orang yang meninggal. Ada 4 bagian besar dalam buku ini, bagian pertama berjudul Seandainya Mereka Lebih Mengasihi; bagian dua berjudul Seperti Apa Pun Hidup Kita, Kita Berharga; bagian tiga berjudul Harapan yang Muncul di Titik Terendah; dan bagian empat berjudul Yang Tersisa dalam Hidup Pada Akhirnya. Meski dibagi menjadi 4 bagian besar kurasa setiap bab yang ditulis dalam cerita ini memiliki benang merah yang membuatku melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda secara lebih dalam.

Kisah-kisah yang memberi kesan mendalam untukku adalah kisah-kisah kematian dalam kesendirian. Ada seorang nenek yang memilih untuk tinggal sendiri karena tidak mau merepotkan anaknya. Meski anaknya sudah memberinya uang untuk menyewa tempat tinggal yang bagus, si nenek tetap menyewa kamar kecil dengan harga sewa yang murah. Dan saat kematiannya diketahui oleh kedua anaknya, si pemilik kamar, yang juga sudah tua, mengatakan bahwa saat menyewa kamar si nenek meminta izin apakah boleh ia meninggal di sana dan dia tentu mengizinkan karena ia memahami keinginan si nenek. Ada juga kisah tentang seorang ayah yang juga tinggal sendiri. Si ayah ini susah bergerak karena kakinya mengalami cidera tapi ia selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dengan nada ceria setiap kali anaknya menelepon. Kemudian anaknya semakin sibuk dan ia pun semakin jarang menelepon ayahnya sampai akhirnya ayahnya meninggal sendirian dengan keadaan rumah yang mengenaskan. Karena kakinya cidera si ayah jadi sulit bergerak tapi karena harga dirinya tinggi ia tidak mau meminta bantuan. Semakin lama kakinya semakin lemah dan semakin tidak bisa digunakan sampai akhirnya ia terpaksa buang air kecil di botol minuman keras. Jadi saat itu Kim Sae Byoul dan rekan-rekan kerjanya harus membersihkan ribuan botol berisi air seni dan juga tumpukan kotoran yang menggunung di kamar mandi karena ternyata lubang toiletnya tersumbat. Membaca dua kisah itu rasanya berat sekali buatku. Di satu sisi aku membayangkan orang tua yang begitu keras kepalanya tidak mau menyusahkan anak mereka sementara di sisi lain aku juga membayangkan anak-anak yang merasa sangat bersalah dan menyesal karena mereka kurang memerhatikan orang tua mereka sampai akhirnya orang tua mereka meninggal seperti itu. Mungkin dua cerita tentang si nenek dan si ayah itu terasa berat bagiku karena aku juga pernah berkali-kali membayangkan penyesalan seperti apa yang akan aku rasakan jika aku tidak berusaha merawat satu-satunya orang tua yang bisa ku lihat wujudnya saat ini, apalagi aku pun tidak tinggal serumah dengan mamaku.

"Mengapa parah ayah (dan orang tua lain) mau bertanggung jawab sendiri atas segalanya? Sebetulnya boleh juga berbagi beban sedikit kepada anaknya. Anak yang tidak bisa berbagi beban dan tidak bisa menemani ajal orangtuanya akan merasa sangat bersalah." - Kim Sae Byoul.

Di buku ini, Kim Sae Byoul juga banyak bercerita tentang orang-orang yang hidup dalam kesepian sebelum akhirnya mereka meninggal dalam kesepian juga. Beberapa di antara mereka berusaha untuk melampiaskan rasa sepi mereka kepada barang-barang. Ada seorang laki-laki yang "mengembangkan" kebiasaan mencuri meski ia hidup bekecukupan dan barang-barang yang dicurinya tidak ia pakai, bahkan tidak ia buka dari kemasannya, sampai akhirnya keluarganya menyerah pada dirinya dan ia sendiri pun menyerah pada hidupnya. Ada juga seorang nenek yang hidup dengan banyak barang bagus karena sepertinya ia tidak memiliki hubungan yang baik dengan anak cucunya yang tinggal serumah sampai ketika ia meninggal pun keluarganya baru menemukan jenazahnya setelah 3 hari. Sesibuk apa coba keluarganya sampai mereka baru tahu kalau si nenek meninggal setelah 3 hari. Tapi dari cerita itu aku juga jadi sering melihat barang-barangku yang semakin lama semakin banyak dan mulai berpikir, "apakah barang-barang itu adalah hasil pelampiasan dari rasa sepi yang tidak ku sadari?"

"Yang berarti bagi kita sebenarnya bukanlah rumah, gelar, pendidikan, atau uang. Yang berarti bagi kita adalah kenangan kita yang mengasihi. Kenangan kita mengasihi dan dikasihi oleh seseorang akan dikenang lama, bahkan sesudah kita meninggal pun, kenangan itu akan menghangatkan setidaknya suatu sudut kecil di dunia." - Kim Sae Byoul

Lalu ada juga cerita-cerita lain yang juga membuatku merenung. Ada cerita tentang seorang anak yang membunuh ibunya karena dirinya merasa tertekan dengan sikap ibunya yang selalu meminta anaknya mendapat nilai sempurna, ada cerita seorang perempuan yang dibunuh oleh mantan suaminya dan akhirnya meninggalkan rasa pedih tak terkira di hati anak perempuannya, ada juga cerita tentang anak-anak yang meributkan uang yang orang tuanya dan sama sekali tidak peduli pada orang tuanya yang baru meninggal, ada juga orang yang ikut membantu membersihkan rumah orang tuanya padahal yang ia incar hanyalah uang yang di simpan oleh orang tuanya di bawah kasur yang penuh dengan cairan tubuh mayat. Membaca cerita-cerita ini mau tak mau aku menghela napas berat karena tak habis pikir dengan orang-orang seperti itu.

Semakin lama aku membaca buku ini, semakin aku menaruh rasa kagum pada penulis buku ini yang membagikan "pengalaman" dari pekerjaannya membereskan barang-barang orang yang sudah meninggal. Selama bekerja, Kim Sae Byoul berusaha untuk memahami orang-orang yang sudah tiada itu. Membaca tulisannya rasanya hangat sekaligus haru. Kurasa kalau orang-orang yang sudah meninggal itu tau kalau ada seseorang yang bukan hanya bersedia membereskan barang-barang mereka tapi juga berusaha untuk memahami masalah dan rasa sepi mereka pasti mereka akan pergi ke alam lain dengan lebih tenang, karena biar bagaimana pun rasanya menyenangkan jika ada satu orang saja yang bersedia memahami kita.

Aku juga salut dengan penulis dan juga karyawan lain yang melakukan pekerjaan ini. Dari kisah-kisah yang diceritakan dalam buku, aku tau kalau pekerjaan itu berat sekali. Butuh fisik dan mental yang kuat karena harus berkali-kali "bertemu" dengan sisa-sisa kematian dan tentu mereka yang bekerja akan "menyerap" energi dari orang-orang yang meninggal itu, baik secara sengaja ataupun tidak. Kalau aku pasti sudah mau resign sejak hari pertama. Belum lagi dengan stigma masyarakat yang melekat pada mereka. Saat mereka membersihkan rumah orang yang sudah meninggal, kadang kala ada tetangga atau pemilik gedung yang protes. Mereka pun pernah diusir saat mau makan di restoran mengenakan seragam kerja mereka. Padahal menurutku mereka melakukan pekerjaan yang mulia sekali. Mereka membantu orang-orang yang ditinggalkan mengemasi barang-barang almarhum karena rasanya pasti berat sekali jika kita harus membereskan barang-barang orang yang kita sayangi dalam keadaan berduka. Aku juga jadi paham mengapa judul dari drama koreanya adalah Move to Heaven, Kim Sae Byoul sendiri pun mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang membantu orang-orang yang telah tiada untuk berkemas ke surga.

"Sebagai penyedia jasa membereskan barang-barang peninggalan orang yang sudah meninggal dunia, aku berharap kita akan lebih menghargai orang-orang di sekitar kita dan menemukan makna hidup yang sejati. Aku berharap kita juga dapat mensyukuri hidup kita dan hidup orang-orang yang kita kasihi, serta menyadari bahwa sekadar hidup begitu saja dan hidup dengan rasa syukur itu sangat berbeda." - Kim Sae Byoul

Baca buku ini juga bikin aku makin sadar kalau terhubung dengan orang lain itu penting sekali. Orang-orang yang memilih mengakhiri hidup mereka banyak yang sebelumnya hidup dalam kesepian sebelum akhirnya mereka meninggal dalam kesepian, lalu jenazahnya pun gak segera ditemukan. Kim Sae Byoul bilang kalau pertanyaan sederhana seperti "apa kabar?" akan sangat membantu menguatkan orang-orang dan siapa tau pertanyaan sederhana itu pun bisa membuat mereka untuk mengurungkan niat untuk melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Dan aku pribadi pun sudah pernah merasakan rasa hangat dibalik pertanyaan sederhana itu, rasa hangat yang menyelamatkan. Sejak saat itu aku jadi sadar kalau aku punya orang-orang yang bisa aku jadikan pegangan untuk hidup maka aku pun ingin melakukan hal serupa untuk mereka.

"Salam singkat kita yang menanyakan kabar, atau sepatah kata hangat dari kita, bisa membuat orang-orang yang berharga bagi kita tidak memilih kematian, tetapi memilih hidup. Yang tersisa bagi kita hanyalah satu hal, yaitu kita mengasihi seseorang dengan segenap hati dan dikasihi oleh seseorang." - Kim Sae Byoul

 

Melalui bukunya, Kim Sae Byoul ingin memberitahu pembaca bahwa di sekitar kita ada banyak kematian yang di selimuti kesepian yang tidak kita sadari dan ia berharap dengan membaca bukunya orang-orang jadi lebih peduli terhadap satu sama lain.

"We have many lonely deaths occuring around us. It's heartbreaking that we don't realize it. So I hope everyone will start caring for one another." - Kim Sae Byoul.

Kalau dibandingkan dengan bukunya, drama Move to Heaven menawarkan sensasi yang berbeda karena tokoh utama dari drama itu adalah Han Geu Ru, seorang anak pengidap sindrom asperger, yang tergolong dalam gangguan spektrum autisme, yang berprofesi sebagai trauma cleaner. Karena sindrom yang dideritanya, Han Geu Ru kesulitan memahami emosi manusia lain tapi ayahnya mengajarkannya untuk belajar "melihat" dengan lebih dekat orang-orang yang sudah meninggal melalui barang-barang peninggalan mereka. Dan bersama Han Geu Ru, aku juga ikutan belajar untuk "melihat" dan memahami kehidupan manusia lain yang belum pernah ku temui selanjutnya.

Kim Sung Ho, sutradara dari drama Move to Heaven mengatakan bahwa ia berharap drama tersebut akan menjadi pengingat agar kita lebih memerhatikan sekeliling kita dan juga memandang dunia dengan rasa peduli.

"I hope this drama is not a lesson, but more a reminder to look around yourself and view the world with care. That'd be enough." - Kim Sung Ho

Ku rasa buku dan dramanya adalah dua hal wajib yang perlu kita "konsumsi" agar kita bisa setidaknya belajar untuk lebih peduli pada orang-orang di sekitar kita, terutama di masa-masa pandemi seperti ini. Kalian bisa menonton dramanya di Netflix dan menonton interview sutradara, pemain, dan penulis bukunya di sini.

Comments

Popular Posts