Selasa Bersama Morrie - Mitch Albom [BOOK REVIEW]

"Berkenalan" dengan Morrie lewat buku ini rasanya mind-blowing sekali, dalam artian aku gak nyangka bahwa ada sosok yang sangat "kaya" seperti Morrie. Lewat buku ini, Mitch Albom menunjukkan tesis terakhirnya bersama Morrie Schwartz, dosen favoritnya semasa kuliah yang ia panggil Coach, kepada seluruh dunia. Dalam tesis akhir ini mereka membicarakan banyak hal; tentang dunia, tentang mengasihani diri sendiri, tentang penyesalan, tentang kematian, tentang keluarga, tentang emosi, tentang ketakutan menjadi tua, tentang uang, tentang cinta, tentang perkawinan, tentang budaya, tentang maaf. Semua hal itu mereka bicarakan setiap hari Selasa saat Mitch berkunjung ke rumah Morrie sambil membawa makanan yang lambat laun tidak bisa lagi dimakan oleh Morrie karena penyakitnya. Perlu diketahui bahwa Morrie adalah seorang profesor sosiologi yang sangat disegani oleh banyak orang, baik rekan-rekannya yang bergerak dalam pendidikan dan penelitian maupun mahasiswanya. Morrie sangat suka menikmati setiap hal kecil yang hadir dalam hidupnya dan terlebih lagi ia sangat suka berdansa. Ia hidup dalam keoptimisan yang membuatnya sempat berkata, "aku akan menjadi orang tua paling sehat di dunia" pada temannya. Namun suatu hari kondisi tubuhnya mengalami penurunan dan saat diperiksa dokter mengatakan bahwa Morrie terkena ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis) atau yang juga disebut sebagai Lou Gehrig's Desease. Penyakit ini adalah penyakit neurodegeneratif yang pelan tapi pasti merenggut kemampuan Morrie menggerakan anggota tubuhnya. Dimulai dari kelumpuhan kaki, yang membuatnya tidak bisa berdansa lagi dan harus duduk di kursi roda, lalu tangannya mulai sulit digerakan, dan makin lama penyakit itu menjalar menuju organ-organ vital yang membuat Morrie makin sering tersedak dan terkena serangan batuk hebat, hingga akhirnya ia harus bergantung pada selang oksigen untuk membantunya bernapas. "Melihat" Morrie kehilangan kendali tubuhnya satu demi satu membuatku meringis karena ketidakberdayaan itu jelas membawa kepedihan yang luar biasa bagi Morrie.


Tapi ternyata sosok Morrie ini bukanlah sosok biasa. Morrie memang sedih dengan kondisinya yang semakin parah dan ia membiarkan dirinya menangis setiap pagi, tapi ia juga tetap menjadi Morrie yang sama seperti sebelum terserang ALS. Morrie merupakan sosok yang sederhana tapi sungguh "kaya". Pada suatu Selasa, ia berkata pada Mitch bahwa budaya membuat orang-orang mengejar hal-hal yang sebenarnya tidak bermakna.
 
"Begitu banyak orang menjalani hidup mereka tanpa makna sama sekali. Mereka seperti separuh terlelap, bahkan meskipun mereka sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang menurut mereka penting. Ini karena mereka memburu sasaran-sasaran yang salah. Satu-satunya cara agar hidup ini menjadi bermakna adalah mengabdikan diri untuk menyayangi orang lain, mengabdikan diri bagi masyarakat di sekitar kita, dan mengabdikan diri untuk menciptakan sesuatu yang memberi kita tujuan serta makna."  - Morrie Schwartz

Meski buku ini ditulis lebih dari 20 tahun lalu, tapi kalimat Morrie itu masih terasa relevan di zaman sekarang yang apa-apa serba cepat. Malah apa yang ia katakan itu makin terasa penting karena selama ini kita terlalu sibuk hidup dalam distraksi. Kita tidak tahu lagi apa yang sebenarnya penting bagi kita karena kita sibuk mengikuti berita dari orang-orang yang tidak kita kenal kita sibuk membaca komentar-komentar orang di media sosial, atau bahkan sibuk meributkan hal-hal yang sebenarnya gak perlu diributkan. Sibuk ngeributin umur 25 sudah dapat apa misalnya, sibuk ngeributin urusan personal orang mau punya anak atau gak, atau ngeributin kalau jalan-jalan kudu foto atau gak. You know netizen zaman sekarang kayak kekurangan beban hidup maka semuanya diributin πŸ’πŸ»‍♀️πŸ’πŸ»‍♀️

Ada satu kejadian di masa lalu saat Morrie masih menjadi dosen dan suatu kali saat masuk ke dalam kelas ia sengaja hanya duduk dan tidak berkata apa-apa. Keheningan itu terasa lama sampai membuat sebagian mahasiswa kesal dan bergerak-gerak gelisah. Setelah lima belas menit berlalu Morrie akhirnya buka suara dan bertanya, "Apa yang terjadi?"

"Mengapa kita merasa tertekan oleh keheningan? Kenyamanan macam apa yang kita cari dalam bermacam-macam kebisingan?" -  Morrie Schwartz

Bagian ini membuatku terdiam cukup lama karena makin ke sini keheningan seolah menjadi sebuah kemewahan yang tidak diinginkan. Budaya yang semakin cepat membentuk orang-orang dengan sumbu kesabaran yang minim. Berapa lama orang bisa sabar menunggu lift tanpa terus-terusan melihat jam? Berapa lama kita bisa sabar menunggu video youtube yang buffering sebelum akhirnya mencoba menggonta-ganti jaringan internet? Lima belas menit keheningan yang diberikan Morrie pada mahasiswanya jelas akan terasa seperti berjam-jam bagi kita yang sudah terbiasa dengan apa-apa yang serba cepat. Pertanyaan retorik yang Morrie ajukan kepada mahasiswanya pun membuatku tercenung, "Iya, ya. Apa sebenarnya yang membuat kebisingan terasa nyaman dan keheningan terasa menyesakkan walau hanya sebentar?" Untuk orang dengan pikiran yang seringkali susah dibuat diam dan tinggal di ibu kota dengan kebisingan tiada henti, keheningan jelas menjadi kemewahan yang sulit sekali kucari. Tapi ketika keheningan itu datang, biasanya aku hanya singgah sebentar sebelum akhirnya kembali bergelung dalam distraksi. Hmm

Dalam sisa hidupnya yang sudah tidak lama lagi, Morrie masih bersedia menggunakan waktunya untuk berbincang-bincang dengan orang lain dan mendenarkan masalah hidup mereka karena itulah caranya memaknai hidup. Ia ingin berbagi "kekayaan" yang ia miliki kepada orang-orang yang ia kasihi dan juga kepada dunia lewat buku ini dan juga lewat Ted Koppel yang melakukan wawancara tentang dirinya untuk program TV Nightline.

"Menurutmu, apa pentingnya bagiku mendengarkan masalah-masalah orang lain? Belum cukupkah sakit dan penderitaan yang harus kujalani sendiri? Betul sekali. Tapi perbuatan memberilah yang membuatku merasa hidup. Bukan mobil atau rumahku. Bukan pula semua yang kulihat melalui cermin. Ketika aku memberikan waktuku, ketika aku dapat membuat seseorang tersenyum setelah sebelumnya merasa sedih, aku merasa sesehat yang pernah kurasakan." - Morrie Schwartz

Morrie... πŸ₯ΊπŸ₯Ί

Sejak awal membaca buku ini tuh ada perasaan hangat yang menjalar masuk hingga ke relung hatiku yang paling dalam yang kurasa akan menetap lama di sana. Sosok Morrie ini bukan fiksi walau aku masih sulit percaya bahwa ada sosok yang begitu "kaya" dan begitu tabah seperti Morrie. Morrie paham bahwa ALS bisa merenggut nyawanya kapan saja dan ia berharap bahwa ia tidak akan meninggal dalam kesakitan tapi untuk kondisinya yang kian parah harapannya itu jelas sulit terwujud. Maka dengan waktu dan tenaga yang ia punya, Morrie berusaha untuk menerima dan berpasrah pada takdir. Apa yang akan terjadi ia biarkan terjadi, yang penting ia tetap menjadi Morrie dengan semangat berbagi yang meletup-letup.

"Penyakit ini juga menyerang jiwaku. Tapi ia tidak akan mendapatkannya. Hanya tubuhku yang kena, bukan jiwaku." - Morrie Schwartz

Morrie juga banyak berbicara tentang hal-hal sederhana dalam hidup dan juga tentang kematian.

"Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, berarti kita belajar tentang bagaimana kita harus hidup."  - Morrie Schwartz

Dalam buku ini, Mitch Albom juga menunjukkan betapa ia mengagumi dan juga mengasihi Morrie dan menjadikannya seorang guru sepanjang hidupnya. Aku suka sekali dengan cara Mitch Albom mengeluarkan perasaan-perasaannya yang berkecamuk dari awal ia bertemu lagi dengan Morrie, setelah 16 tahun tidak pernah bertemu, hingga akhirnya ia mengucapkan salam perpisahannya di hari Selasa terakhir mereka bertemu. Mitch Albom jelaslah sangat beruntung karena memiliki guru seperti Morrie tapi aku juga merasa aku (dan orang-orang yang membaca buku ini) beruntung karena "dipertemukan" dengan sosok seperti Morrie.

Salah satu pesan yang paling kuingat dari perbincangan Morrie dan Mitch adalah tentang hubungan kita dengan orang lain. Mitch menceritakan bahwa ia ingin sekali menemani adiknya, Peter, yang juga sedang sakit dan perlu menjalani terapi tapi adiknya menjaga jarak dengan Mitch dan juga keluarganya yang lain dan tidak mengizinkan mereka berada didekatnya. Hubungan yang seperti gunung es itu pun akhirnya meleleh bersamaan dengan air mataku yang ikut meleleh 😭😭 Aku pun jadi ingin berusaha lebih keras untuk mempertahankan hubunganku dengan orang-orang yang ku anggap penting.

Buku ini jelas menjadi salah satu buku terbaik yang kubaca sepanjang tahun ini dan kuharap banyak orang bisa membaca buku ini dan "bertemu" dengan Morrie. Untuk Morrie, terima kasih karena telah "hadir" dan memberiku banyak sekali 😭😭

Comments

Popular Posts