Sekarang Sudah Dapat Apa?

Saat makan siang tadi, aku sempat bercakap-cakap tentang banyak hal dengan dua temanku. Salah satu hal yang kami bicarakan adalah, "berapa IQnya Bill Gates?" Agak random memang, aku pun gak tau kenapa bisa muncul pertanyaan itu (kayaknya gara-gara aku bilang kalau yang bikin microsoft excel itu jenius), tapi dari pertanyaan ini jadi ada obrolan lain yang bikin aku kembali mempertanyakan hidup.

Temanku: "gue udah lama sih gak tes IQ, pas SMA deh kayaknya terakhir tes IQ"

Aku: "Pas SMA hasil tes IQku 133. Entah sekarang berapa"

T: *brb googling* "Wah IQnya Mei termasuk superior, loh. Smart"

T: "Lalu sekarang udah dapet apa?"

Pertanyaan itu memunculkan sensasi aneh yang menggelitik hatiku. Dengan IQ segitu aku sudah dapat apa? Memangnya harus dapat apa? Apakah kalau aku bilang "aku sudah dapat hidup yang aku mau" apakah itu bisa dianggap jawaban? Apakah "aku sudah dapat hidup yang aku mau" bisa disandingkan dengan jawaban "aku sudah punya aset 1M", "aku sudah lulus S2 dan sekarang mau S3", "aku sudah merintis start up A dengan valuasi sekian?" Atau apakah dengan IQ "superior" aku tidak bisa hidup biasa-biasa saja sebagai antimainstream mediocre?

Aku agak lupa sih tadi siang aku jawab apa atas pertanyaan temanku itu tapi mungkin jawabannya, "ya begini aja". Tapi dapat kupastikan bahwa tidak ada sedikitpun nada meratap dalam jawabanku itu. Kemudian aku mengaku kalau aku gak punya ambisi untuk mencapai suatu hal besar, mencapai suatu hal yang bisa dibanggakan, atau mencapai posisi yang bisa membuat orang berkata, "enak banget sih hidupnya dia, gue pengen deh kayak gitu".

Aku akan bercerita sedikit tapi perlu diketahui bahwa ceritaku ini bukan ditujukan untuk pamer.

Sejak kecil aku merasa aku selalu dijadikan panutan, mungkin karena aku cucu pertama dari pihak papaku dan juga anak pertama juga jadi setiap jejak yang kutorehkan akan menjadi contoh bagi adik dan sepupu-sepupuku. "Dijadikan panutan" selama bertahun-tahun membuatku seolah berjalan di atas kaca tipis yang membuatku harus ekstra hati-hati saat melangkah. Waktu SD aku menjadi langganan masuk ranking 3 besar, rajin ikut lomba ini itu ina, dan jadi anak yang dikenal guru. "Tekanan" itu semakin terasa saat aku masuk SMP, saat aku mulai berpikir bahwa semua teman sekelasku adalah saingan. Aku mulai takut kalau-kalau aku terjatuh, aku akan dianggap gagal tapi di satu sisi tidak ada yang memberitahuku untuk apa aku harus mencapai sesuatu seperti nilai yang bagus atau bahkan dapat ranking. Kalau kalian tau bagaimana tipikal Asian parents, kalian pasti tau konsekuensi apa yang akan didapat kalau aku dapat nilai jelek. Dimarahi terus-terusan sampai kuping panas tuh cuma konsekuensi "level pertama". Maka setiap nilai jelek yang kudapat selalu kusembunyikan di bawah tumpukan nilaiku yang bagus. Rankingku turun dari 3 besar menjadi 10 besar dan akhirnya saat SMA masuk 20 besar pun tidak. Dari luar aku bersikap seolah aku baik-baik aja tapi sebenarnya kepercayaan diriku pun anjlok bersamaan dengan nilai-nilaiku yang anjlok. Saat masuk kuliah, aku berniat untuk membuktikan diri dengan menyabet banyak nilai A di semester-semester awal, tapi kemudian aku bertanya-tanya lagi, "untuk apa sebenarnya aku dapat nilai A?" Banyaknya nilai A yang kudapat pun tidak serta merta membuat rasa percaya diriku naik, rasa percaya diriku tetap minus.

Setelah lulus kuliah, kupikir aku bisa benar-benar mulai menjadi orang dewasa. Tapi nyatanya tidak begitu. Aku malah terserang kegalauan besar yang seringkali disebut sebagai "quarter life crisis". Pemutusan hubungan kerja yang ku dapat di tahun pertamaku bekerja pun membuatku kembali memacu diri untuk kembali mengejar pembuktian yang lagi-lagi membuatku bertanya-tanya. Tapi, semakin sering aku bertanya-tanya semakin aku merasa aku hilang arah. Karena serangkaian hal lain, dua tahun lalu aku pun merasakan stress parah, merasa sangat tidak berguna, merasa duniaku gelap, dan merasakan keinginan kuat untuk mengakhiri hidup. Setiap hari aku mempertanyakan hidup dan juga memikirkan kematianku sendiri. Jangankan mencapai sesuatu, setiap hari aku hanya meratap sambil berharap kalau besok rasa sakitku bisa berkurang sedikit. Sampai di titik yang terlalu menyakitkan, aku memutuskan untuk mengulurkan tangan pada diriku sendiri. Aku mencari pertolongan psikolog.

Berbulan-bulan menjalani konsultasi dan terapi ke psikolog membuatku belajar untuk berjeda. Berjeda dari segala tuntutan yang kulontarkan pada diriku sendiri, berjeda dari perasaan bahwa aku tidak berharga, berjeda dari hal-hal negatif yang dicekoki oleh pikiranku sendiri setiap hari. Momen yang sangat menyesakkan itu membuatku menurunkan ekspektasiku atas hidup sampai ke tingkat terendah: aku hanya ingin merasa hidup.

Jadi, untuk pertanyaan, "sekarang kamu sudah dapat apa?" Mungkin jawaban paling tepat yang bisa kukatakan adalah, "aku sudah dapat keinginan untuk hidup". Terlepas dari apa yang ingin ku lakukan atau aku capai nanti (entah bisa menyandang gelar master dibidang yang kuinginkan, bisa punya banyak skill dari hal-hal yang kusukai, punya properti sendiri, atau apapun itu) yang jelas aku ingin semua hal itu ku dapat karena aku sudah lebih dulu menginginkan hidup.

Comments

  1. Baca ini jadi serasa mirip makna film Soul deh Mei... Sampai akhirnya Mei-Mei menemukan spark itu. Gw tau ini klise, tapi tetap semangat ya Mei. Tuhan menempatkan Mei-Mei di dunia pasti punya tujuan khusus... Jadi gw harap jangan sampai kepikiran lagi untuk mengakhiri hidup sendiri karena akhir hidup itu, Tuhan saja yang tentukan. Kalo butuh seorang pendengar untuk keluarin uneg-uneg, gw bersedia kok Mei untuk jadi pendengar supaya beban dalam hati Mei bisa berkurang. Gw harap ke depannya Mei bisa jadi lebih baik lagi dari sekarang ya. (*^▽^*)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya ampun makasih banyak ya, Pik.. 🥺🥺 Tau kalau ada yg bersedia mendengarkan aja rasanya adem gitu 🥺🥺
      Pas sebelum corona g udah sempet ke psikolog juga, sih. Sekarang udah much better kalau dibandingkan dengan beberapa tahun lalu haha Iya, ya. Kalau dipikir lagi mirip memang sama film Soul trus g pun bisa merasa relate dengan karakter utamanya yang akhirnya nemuin spark dari hal2 sederhana 😆😆

      Delete
    2. Sama-sama Mei ^^ Untung Mei-Mei mencari psikolog untuk proses penyembuhan beban mental Mei-Mei.. Syukur juga Mei-Mei sudah much better yaaa

      Iyaaa kaaan.. Pas baca ceritanya pun gw langsung inget film Soul hahaha

      Delete
    3. Iya ya, Pik.. 🥺🥺 Untung juga g punya akses ke psikolog, ya. Dulu pun gara2 didorong2 temen g juga untuk konsultasi, kalau engga mah 😂😂

      Delete
    4. Syukurlah support system Mei bagus... Semoga semakin lebih baik ya Mei!!!

      Delete
    5. Thank you, Pika~ 🥺🥺

      Delete

Post a Comment

Popular Posts