Tentang Caraku Menyuarakan Duka Berumur 11 Tahun

Suatu sore di bulan April 11 tahun lalu, mamaku menghampiriku yang sedang menikmati saat-saat-rebahan-tanpa-gangguan di sofa ruang tamu. "Ngelayat, gih. Kan itu teman sekelas, masa gak datang." Untuk kesekian kalinya di sore itu, mamaku menyuruhku untuk pergi melayat papa temanku yang meninggal tepat di hari ulang tahunnya. Pada mulanya aku enggan. Alasan pertama karena aku malas bertemu dengan orang banyak di luar jadwal sekolah dan lesku, alasan lainnya aku merasa bahwa aku tidak akan tahan melihat kedukaan temanku itu. Tapi, akhirnya ku putuskan untuk beranjak dari sofa dan mengganti bajuku dengan kaos biru donker, satu-satunya baju dengan warna gelap yang aku punya saat itu. Sepanjang perjalanan ke rumah duka yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumahku, aku membayangkan kecanggungan apa yang akan terjadi saat aku tiba, "apa tepatnya kalimat yang harus aku katakan untuk orang yang sedang berduka?", "apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan keluarganya yang lain?" Akhirnya aku tiba dan aku ingat aku hanya berdiri persis di depan ruangan semi indoor, tapi kecanggungan yang aku takutkan tidak terjadi. Temanku yang sedang berduka itu melihatku datang dan langsung menyambutku dengan senyum lebarnya, membawaku duduk di salah satu meja kosong. Tangannya langsung sibuk menyuguhkan kacang, kuaci, bolu, Aqua gelas, dan camilan lain yang ada di sana. Sesaat aku merasa lega karena selain kecanggungan yang aku takutkan ternyata tidak terjadi, kedukaan yang tak akan bisa ku atasi pun tak tampak. Temanku itu tampak seperti biasa saat dia di sekolah. Tetap banyak senyum, tetap cerewet. Ia bahkan bicara lebih banyak daripada aku. Saat itu kupikir dia sudah ikhlas merelakan kepergian papanya. "Perjamuan" yang hanya berlangsung singkat itu tidak terlalu banyak menyisakan bekas seperti yang aku kira sebelumnya. Tapi, ada hal lain yang tak ku sangka-sangka terjadi. Tiga bulan kemudian, aku kembali berada di rumah duka yang sama. Kali ini bukan sebagai pelayat, tapi sebagai keluarga dari orang yang dilayat.

***********

31 Juli 2010. Aku melewati hari Sabtu seperti Sabtu-Sabtu lainnya. Pergi ke sekolah dengan kemeja garis-garis, celana jins, dan sepatu kets. Saat itu aku masih masuk sekolah di hari Sabtu, diperbolehkan menggunakan pakaian bebas tapi sopan, dan sebagian besar waktuku di sekolah dihabiskan dengan eskul. Aku lupa saat itu aku mengambil eskul apa, mungkin jurnalistik atau mungkin aku hanya numpang baca buku di perpustakaan sementara teman-temanku yang lain berpencar di tempat eskul mereka masing-masing. Aku pulang sekolah dengan suasana hati yang biasa saja. Sampai aku tiba di depan pintu rumahku, aku tahu bahwa ada yang tidak beres.

Sejak tiga tahun sebelumnya, garasi rumahku disulap menjadi toko yang menjual barang-barang MLM. Waktu itu mamaku yang menjalankan usaha itu sementara papaku masih pergi ke kantor setiap pagi. Tak berapa lama, papaku merasa bahwa bisnis MLM lebih menjanjikan daripada bekerja di kantor 6 hari seminggu, jadi dia pun memutuskan untuk pensiun dini dan alih profesi jadi penjaga toko. Sama saja intinya kerja 6 hari seminggu, karena hari Sabtu pun tetap buka. Hanya saja biasanya hari Sabtu toko agak ramai karena teman-teman papaku sesama penggiat MLM sering datang berkunjung untuk melakukan presentasi atau melakukan prospek. Saat aku pulang ke rumah Sabtu itu, ku dapati pintu rumahku tertutup dan tak ada orang di toko. Ku ketok-ketok pintu dan memanggil-manggil mamaku agar aku bisa masuk. Selang beberapa lama, mamaku datang dengan tangan memegang telepon. Raut paniknya saat itu masih ku ingat jelas sampai saat ini.

"Ada apa?" tanyaku. Tapi, mamaku hanya membukakan aku pintu dan langsung kembali ke dalam sambil berbicara di telepon. Setelah ku tutup pintu dan melepas sepatu barulah aku sadar apa yang terjadi. Papaku tergeletak di sofa ruang tamu. Tak mungkin ia sengaja tidur di sana, karena pakaiannya rapi seperti Sabtu-Sabtu biasanya dan ku tahu teman-temannya sempat berkunjung juga seperti biasa. Kejadian selanjutnya  terjadi begitu cepat. Aku hanya ingat mamaku sibuk dengan telepon, menelepon nenekku yang sedang berobat ke Jakarta dengan nada panik yang sungguh kentara. Kemudian beberapa wajah yang ku kenal sebagai teman-teman papaku datang dengan raut wajah yang sama paniknya. Kemudian papaku digotong beramai-ramai naik angkot. Hal selanjutnya yang ku ingat, aku sudah di rumah sakit.

Saat itu aku sedang menjadi ketua koordinator dari acara besar di viharaku. Malam itu seharusnya aku melaporkan sekian banyak hal yang sudah ku siapkan di rapat terakhir. 1 Agustus adalah hari yang ditunggu-tunggu semua orang termasuk papaku, karena motivator idolanya, Andrie Wongso, akan mengisi acara di kotaku dan aku jadi salah satu ketua panitianya. Di rumah sakit pikiranku terbelah, antara memikirkan papaku yang tak kunjung siuman, kondisi mamaku yang semakin lama semakin ketakutan, dan juga menyusun strategi pemindahan tanggung jawab kepanitiaanku. Aku yakin bahwa aku harus merelakan jabatan pertamaku sebagai ketua panitia kepada orang lain karena situasinya jelas tidak memungkinkan. Aku lupa sama sekali dengan keberadaan adikku karena saat papaku di pindahkan ke ruangan lain, mataku terpaku pada satu tempat yang memantik ingatan saat aku kehilangan orang yang ku sukai tiga tahun sebelumnya. Rumah sakit yang sama, kepanikan yang sama, suara tangis histeris yang sama. Semuanya terulang kembali tak berapa lama kemudian.

Tepat jam 6 sore, papaku menghembuskan napas terakhirnya di bangsal rumah sakit, tanpa satu pun alat medis terpasang di tubuhnya kecuali alat untuk memonitor detak jantung. Alat itulah satu-satunya yang memberi tahuku dengan jelas bahwa raga yang terbaring di hadapanku sudah tak bernyawa. Mamaku histeris, kemudian pingsan. Adikku juga histeris, kemudian tanteku membawanya ke ruangan lain untuk ditenangkan. Hanya aku yang berdiri diam di depan jasad papaku. Tak menunjukkan emosi apa pun. Otakku yang biasanya berisik tahu-tahu diam seribu bahasa. Akhirnya aku pun diajak keluar ruangan, entah tangan siapa yang menuntunku berjalan tapi ku rasa tangan itu pun sudah siaga untuk menopang tubuhku kalau tahu-tahu aku juga pingsan. Nyatanya tidak, aku terlihat baik-baik saja.

***********

Satu hari berlalu. Begitu aku terjaga dari tidurku ku lihat wajah mamaku sembab dan matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Ia sibuk memandangi pas foto papaku yang diambil beberapa bulan sebelumnya.. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya saat itu, tapi mataku awas memerhatikan segala gerak geriknya. Takut kalau ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh pingsan lagi. Adikku yang juga histeris dibawa menginap di rumah nenekku agar setidaknya dia bisa tidur dalam perawatan karena terakhir kali ku dengar badannya panas tinggi. Mamaku menolak untuk menginap, tak bisa tidur di rumah orang katanya, tapi aku yakin bahwa di rumah pun ia pasti tak bisa tidur.

"Ayo, ke ATM," katanya lirih. Aku pun mengiyakan. Langsung ku siapkan semua hal yang sekiranya perlu dibawa karena setelah ke ATM kami akan kembali pergi ke rumah sakit untuk mengurus administrasi kematian. Seharian itu aku selalu berjalan di belakang mamaku yang berjalan dengan langkah gontai. Kedukaan yang selama ini aku takutkan terpancar jelas dari dirinya, memaksa untuk menyusup ke dalam diriku juga. Tapi, sepertinya saat itu tanpa sadar aku menolak untuk merasakan apa pun. Seolah-olah otak rasionalku mengambil alih kendali hati, bahkan mengurungnya di ruang tertutup agar ia tak melihat apa pun yang terjadi.

Aku tak ingat kronologi detail kejadian-kejadian selanjutnya. Yang ku ingat aku pulang pergi ke rumah duka selama beberapa hari. Aku dan seluruh keluargaku mengenakan kaos putih polos, seragam untuk orang yang sedang berduka. Aku ingat saat-saat peti mati penuh ukiran di sekelilingnya dibawa dan diletakan di rumah duka. "O'oh beliin peti mati yang paling bagus buat papi kamu, ada ukiran-ukirannya," kata adik papaku yang saat itu menyadari arah mataku. Aku bergeming, ku pikir untuk apa peti mati bagus kalau pada akhirnya akan dikubur. Selama hidupnya papaku hanya tidur di spring bed biasa. Di lain hari ku lihat teman-teman dan guru-guru sekolahku datang melayat tapi tak satu pun dari ucapan mereka yang ku ingat. Ku tebak hanya ucapan penghiburan klise yang mereka lontarkan. Tapi, aku tak ambil pusing karena aku bahkan tak tahu harus bicara apa untuk temanku yang berduka tempo hari. Lalu, wajah-wajah lain pun semakin sering bermunculan. Ada teman-teman papaku dan mamaku yang berdatangan untuk sekadar melayat atau memberikan bala bantuan.

***********

Ada suatu siang di mana aku dan adikku sedang diajak bicara oleh teman sekolah papaku yang bisa "melihat". Dia bilang, "papi masih di sini, mau lihat gak?" Kemudian dia menjentikan tangannya tepat di depan wajahku. Sontak aku langsung membuang muka. "Gak mau lihat, gak mau lihat," kataku, memaksanya untuk "menghentikan" apa pun yang ia lakukan barusan. Aku bisa merasakan kebingungan di wajahnya tanpa perlu menoleh tapi kemudian ia menjentikan kembali tangannya di depan wajahku, "ya sudah kalau gak mau lihat." Dia tidak menawarkan adikku untuk "melihat", mungkin karena takut adikku menangis histeris lagi. Kata-katanya selanjutnya tidak ku dengar jelas karena saat itulah untuk pertama kalinya aku merasakan pertahananku runtuh. Refleks diriku yang membuang muka saat teman papaku hendak "membukakan mataku" adalah bentuk pertahanan diri karena aku 100% yakin bahwa jika benar aku bisa melihat arwah papaku, aku pasti akan menangis, dan aku tak mau papaku melihatku menangis. Di hari-hari sebelumnya ia pasti sudah banyak melihat kesedihan mamaku, adikku, dan keluargaku yang lain. Aku membayangkan perasaannya saat itu, tak ada angin tak ada hujan tahu-tahu ia harus meninggalkan dunia dengan cara yang tak pernah terbayangkan. Entah penyesalan macam apa pula yang menari-nari di benaknya. Jadi, cukuplah aku bertahan dengan wajah tanpa emosiku agar tidak menambah kesedihan papaku kalau benar ia bisa melihat kami saat itu.

Hari demi hari di rumah duka bergulir, sampai tiba saatnya hari penutupan peti. Peti bagus penuh ukiran yang dibelikan oleh adik papaku di tempatkan di sisi sebelah dalam rumah duka dan di dalamnya tergeletak jasad papaku dengan wajahnya yang sudah pucat, mengenakan jas dan sepatu terbaiknya dan mengenakan sarung tangan kain. Dalam keadaan hidup, papaku pasti rewel sekali kalau harus mengenakan pakaian itu, tapi kini hanya ada tubuhnya yang tidak bisa menyuarakan protes dalam bentuk apa pun. Beberapa orang kemudian datang, membawa kaca besar penutup peti. Seketika itu juga rasa sesak menjalari tubuhku tanpa aba-aba. Istri dari teman papaku yang sadar aku menarik napas berat di sampingnya pun merangkulku dengan erat. Sedetik, dua detik, tiga detik kemudian, para pembawa kaca pelan-pelan menaruh kaca besar itu tepat di atas peti, mengoleskan pinggirannya dengan lem, lalu mengencangkannya dengan sekrup-sekrup besar. Tubuhku gemetar, kemudian terguncang hebat. "Jangan ditutup! Nanti papi gak bisa napas. Jangan ditutup!" Ku teriakkan kata-kata melantur itu sekencang-kencangnya dalam kepalaku tapi yang terdengar hanyalah isak tangis yang masih berusaha ku tahan. "Lepasin aja, lepasin aja." Sayup-sayup ku dengar suara istri dari teman papaku di telinga. Rangkulannya semakin kencang. Ia seolah mengerti bahwa selama ini aku berusaha mati-matian menahan diri, berusaha mati-matian terlihat baik-baik saja karena kalau ku tunjukkan emosiku juga orang lain akan tambah kerepotan. Tapi, saat itu pertahananku hancur berantakan. Aku bisa merasakan kesedihan, kepedihan, kedukaan, menguar dengan hebat dari dalam tubuhku sendiri.

Aku lupa bagaimana akhirnya aku berhasil menenangkan diri yang jelas besok harinya otak rasionalku kembali mengambil kendali sementara hatiku hanya diperbolehkan mengintip dari celah pintu yang tertutup. Aku juga tak ingat jelas kronologi detail pada hari pemakaman, segalanya berjalan cepat. Hari-hari selanjutnya aku hanya diperbolehkan memakai pakaian warna gelap, puasa memakai baju-baju warna pink yang sangat ku sukai. Mata yang bengkak masih menghiasi wajah mamaku dan adikku. Aku tidak tahu apakah mereka memerhatikanku atau tidak, yang jelas selama itu aku selalu memerhatikan mereka. Aku mulai bertanya-tanya apa yang sebaiknya aku lakukan. Kedukaan bukanlah sesuatu yang bisa begitu saja diusir, malah bahkan kedukaan akan menetap selamanya di tempat ia memijakkan kaki.

***********

Tak banyak hal yang aku ingat dari papaku. Aku bukanlah anak perempuan yang selalu nempel pada papanya dan dengan manjanya minta dibelikan banyak hal. Adikku yang begitu. Maka aku berasumsi bahwa rasa sakit yang ia rasakan saat itu jauh melebihi rasa sakit yang coba ku tahan. Bagiku rumah tanpa kehadiran papaku terasa tak jauh berbeda. Aku merasakan sedikit kekosongan tapi hanya itu. Karena saat papaku masih ada pun aku sibuk mengurung diri, menutup diri rapat-rapat agar tidak ada orang lain yang bisa menerobos masuk, termasuk keluagaku. Tertutup, keras, dingin. Mungkin itulah tiga kata yang sangat menggambarkan kepribadianku saat itu.

Tapi, untuk pertama kalinya akhirnya aku memutuskan untuk melangkah keluar dari ruangan yang selama ini ku kunci, aku berjalan menghampiri mama dan adikku yang terasa kosong dunianya. Pelan-pelan aku mencoba mencairkan diriku yang sedingin dan sekeras gunung es. Siapa tahu kehangatanku bisa membantu mama dan adikku untuk kembali menjalani hidup. Setelah kehilangan terbesarku, aku pun mengerahkan usaha terbesarku untuk menjadi dekat pada satu-satunya orang tua yang bisa ku lihat wujudnya dan juga satu-satunya adik yang rasanya nampak tak berdaya. Aku tak tahu pasti strategi apa yang ku jalankan untuk menjadi dekat pada orang-orang yang sebelumnya aku jauhi. Tahu-tahu aku jadi sering duduk mengobrol dengan mamaku setiap ia jaga toko, tahu-tahu aku sudah jadi mediator tetap setiap kali mamaku dan adikku berantem, tahu-tahu aku sudah jadi ahli dalam menelaah setiap situasi dan kondisi.

Beberapa tahun berlalu dengan cukup baik, mama dan adikku terlihat sudah bisa merelakan dan kembali menjalani hidup. Sampai suatu ketika mamaku berkata, "waktu dulu di rumah duka teman mami bilang 'Mei-Mei gak nangis, dia bisa tegar'. Mei-Mei gak nangis karena gak sayang sama papi kan?" Pertanyaan tak terduga itu terasa seperti pisau yang dilempar tepat mengarah ke jantungku. Rasa sesak yang sudah ku lupakan kembali memenuhi diriku tanpa aba-aba. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Aku bingung, memangnya bagaimanakah seharusnya aku bersikap. Aku jadi teringat temanku yang berduka sebelum aku. Senyumnya yang tetap sama, sikap cerewetnya yang tetap sama. Begitulah caranya bertahan di hadapan banyak orang, tapi sudah pasti di belakang ia pun banyak menangis karena diam-diam pernah ku perhatikan matanya bengkak saat di sekolah. Nah, bagaimana denganku? Di depan orang-orang aku terlihat begitu tegar sampai mamaku pun mempertanyakan rasa sayangku pada papa sendiri sementara di belakang orang aku pun tetap bersikap seperti itu. Ku rasa semua sudah terlihat baik-baik saja. Tapi, ternyata aku melupakan sesuatu. Aku melupakan diriku sendiri.

***********

Selama bertahun-tahun aku memerhatikan bagaimana mamaku dan adikku memproses kedukaaan mereka. Ada beberapa kenangan yang sudah tak menimbulkan kesedihan apa pun tapi ada kenangan-kenangan lain yang masih terasa berat bagi mereka, hingga saat ini. Seperti dugaanku, duka yang sudah terpatri tidak akan pernah hilang selamanya. Tanpa ku sadari aku pun menyimpan duka yang mendalam di dalam diriku. Walau aku merasa ketiadaan papaku tidak terlalu kentara di rumah tapi ketiadaannya jelas meninggalkan lubang yang besar sekali dalam diriku, mamaku, dan adikku. Ku rasa mamaku dan adikku sudah bisa mengakali agar lubang milik mereka tidak terlalu besar. Tapi, lubangku akan terus menganga lebar entah sampai kapan. Di dalam diriku masih ada aku yang berumur 16 tahun yang takut untuk memulai langkah selanjutnya. Dalam benakku aku merasa aku sudah baik-baik saja tapi nyatanya hanya aku sendirian yang belum benar-benar melanjutkan hidup. Kehilangan terbesar 11 tahun lalu membuatku takut merasakan kehilangan lagi. Aku takut lubangku akan semakin besar atau bahkan muncul lubang baru yang lebih besar. Ku pikir selama ini aku sudah membuka diriku pada orang lain tapi nyatanya aku malah semakin rapat menutup diri. Aku yang dulu sulit untuk didekati, sementara aku yang sekarang seperti mustahil untuk didekati. Tanpa sadar aku menolak segala bentuk hubungan dan kedekatan karena aku paham bahwa setiap pertemuan pasti mendatangkan perpisahan walau entah kapan. Aku merasa takut saat aku bertemu dengan orang yang bisa kuandalkan, aku merasa takut saat bertemu dengan orang yang membuatku nyaman, aku merasa takut saat bertemu dengan orang yang ingin ku lihat wajahnya setiap hari. Selama aku yang berumur 16 tahun itu belum memulai langkah pertama, aku akan selalu merasa takut pada rasa cinta dan kasih sayang yang orang lain berikan untukku. Bagiku mencintai adalah pekerjaan yang menyakitkan.

***********

Tahun-tahun selama aku kuliah entah kenapa aku selalu menangis setiap kali sedang ujian. Bukan, bukan karena aku tidak belajar atau aku takut nilaiku jelek. Tapi, setiap kali ujian entah kenapa aku terbayang papaku. Ku bilang bahwa aku tak punya banyak kenangan tentang papaku, memang benar kalau dibandingkan dengan kenangan yang dimiliki oleh adikku atau bahkan mamaku. Tapi, aku punya cukup banyak untuk bisa ku tampung dalam diriku. Kenangan-kenangan kecil itu bermunculan-sedikit demi sedikit. Saat ujian aku ingat waktu papaku kesal saat mengajariku matematika, dia tahu bahwa aku lemah di pelajaran hitungan tapi dia tidak tahu bahwa otakku setidak mampu itu untuk mengerti apa yang dia ajarkan walau sudah diulang 3-4 kali. Di lain waktu, aku ingat mamaku pernah bilang kalau papaku memperbolehkanku mengambil jurusan psikologi saat kuliah nanti. Mungkinkah kalau papaku tak pergi tiba-tiba aku pun tak akan mengubah haluanku secara tiba-tiba?

Kemudian aku bisa tahu-tahu teringat masa-masa yang sangat menjengkelkan ketika aku terkena infeksi kaki yang memaksaku berjalan hanya dengan tumit karena hampir seluruh telapak kakiku melepuh dan terasa perih. Infeksi itu menyerangku selama masa libur panjang sekolah dan selama masa libur panjang itu sebagian besar waktu ku habiskan dengan berbaring. Suatu hari saat berbaring, papaku masuk ke kamar dan dengan bangga mengangkat tangan kanannya yang membawa obat tetes, salah satu produk andalan dari MLM nya. "Coba pakai ini, pasti cepet sembuhnya," katanya dengan penuh rasa percaya diri. Akhirnya tanpa banyak tanya, ku pasrahkan kakiku pada obat tetes yang katanya mujarab itu. Perihnya ampun-ampunan, sampai saat ini pun telapak kakiku masih merasa trauma dengan rasa perihnya. Tapi, besoknya rasa sakit di telapak kakiku mereda secara signifikan. Dua hari kemudian aku tak lagi harus berjalan dengan tumit dan tepat saat liburan berakhir aku sudah bisa berjalan seperti tidak pernah terjadi apa-apa pada telapak kakiku.

Aku pun seringkali teringat dengan ritual malam tahun baru kami yang tidak pernah direncanakan. Malam tahun baru adalah satu-satunya malam saat mamaku memperbolehkanku begadang. Saat itu belum ada Instagram jadi aku tidak menghabiskan waktu begadangku yang hanya muncul setahun sekali itu dengan sibuk memberi like pada post orang-orang yang tidak ku kenal. Setiap malam tahun baru, aku dan papaku pasti asik menonton film apa pun yang diputar di TV. Seringnya kami menonton film Harry Potter. Walau aku tak berapa paham dengan filmnya tapi aku tetap mengisi waktu begadangku dengan satu-satunya hal yang terasa mengasikan. Aku tak tahu apakah papaku pencinta Harry Potter, yang jelas ia menemaniku nonton sampai filmnya tamat.

Ritual nonton kami yang lain adalah nonton drama Korea yang ditayangkan sore hari di TV. Aku ingat aku pernah hampir menangis saat menonton drama yang karakter utamanya kecelakaan dan hampir mati di episode awal. Papaku yang melihat wajah memberengutku pun sontak berkata, "kalau karakternya mati di awal, dramanya langsung tamat atuh." Saat itu aku menoleh dan raut wajahku seolah berkata, "iya juga, ya". Tapi, saat itu aku merasa bahwa papaku punya bakat alami untuk merusak suasana.

Di waktu yang lain aku teringat saat papaku mengomel karena aku protes pada nama yang terpampang besar-besar di depan toko. "Kenapa sih harus pasang spanduk yang ada tulisan namanya begitu?" Saat itu aku kesal karena anak-anak di sekolah mengejekku dengan nama orang tua. Saat itu ejek mengejek nama orang tua masih ngetren dan karena nama papaku terpampang besar-besar di depan toko, aku jadi sasaran empuk anak-anak pembuat onar. Tapi, sedetik setelah aku melontarkan protesku, aku tahu bahwa tak seharusnya aku berkata begitu. "Papi kan bukan perampok, Mei-Mei!" Kata-kata yang disuarakan dengan geram itu memberiku pelajaran yang masih ku ingat hingga saat ini. Pelajaran bahwa tak ada alasan untuk malu selama aku melakukan hal benar. Ejekan-ejekan yang datang kepadaku di hari-hari selanjutnya tak lagi ku gubris, karena aku sudah sadar bahwa papaku punya rasa percaya diri yang cukup untuk menampilkan namanya besar-besar di hadapan dunia. Lalu, aku jadi ingat kalau orang-orang yang datang ke rumah duka waktu itu selalu mengatakan hal yang sama, "papi kamu itu orangnya baik banget."

Belum lama ini aku memikirkan jawaban dari pertanyaan, "kenapa kamu suka membaca buku?" Seberapa lama pun aku berpikir, aku tak pernah mendapat jawaban yang jelas. "Ya karena dari dulu memang suka," pikirku. Tapi, rasanya kini aku tahu jawabannya. Kegemaranku membaca buku jelas menurun dari papaku. Papaku bisa duduk anteng selama berjam-jam dengan buku di tangan dan tak ada yang berani mengganggu termasuk adikku yang suka manja. Papaku adalah satu-satunya orang yang tidak pernah berkomentar setiap kali aku memborong dua keranjang buku ke kasir. Masa-masa yang paling menyenangkan adalah ketika aku sekeluarga mampir makan di Bakmie Gadjah Mada di daerah Mangga Besar. Sudah hampir pasti bahwa sehabis makan kami akan melangkah menuju Gramedia di dekat situ. Langkahku selalu terasa ringan setiap saat itu datang dan ku rasa papaku pun merasakan hal yang sama. Toko buku adalah tempat di mana kami bisa memasuki dunia kami sendiri. Aku tak pernah benar-benar membicarakan tentang buku dengan papaku, aku bahkan tahu judul komik silat yang suka dibacanya saat kuliah dari cerita adik papaku. Sepertinya memiliki kegemaran yang sama sudah lebih dari cukup agar aku merasakan keterhubungan kami sebagai orang tua dan anak. Setiap kali motivator idolanya, Andrie Wongso, menerbitkan buku baru papaku pasti akan bergegas ke Gramedia dan membawa buku itu ke kasir. Dengan liciknya aku selalu menawarkan bantuan begitu sampai di rumah, "aku sampulin ya, pi," Tanpa curiga sedikit pun ia menyerahkan bukunya yang masih tersegel kepadaku. Lewat tiga jam barulah ku kembalikan setelah melahap habis isinya. Pernah suatu kali saat ke Gramedia mamaku bilang, "minta beliin bukunya ke papi," karena ia melihat aku sudah membawa-bawa novel selang 5 menit setelah aku masuk Gramedia. Aku mengikuti sarannya dan papaku pun langsung setuju tanpa babibubebo, ia bahkan bertanya kenapa aku cuma beli satu buku. Di lain waktu saat aku pertama kali berkeinginan untuk belajar Bahasa Korea dan sedang galau mau beli buku untuk belajar atau tidak, papaku datang dan bilang, "bener mau belajar? Yaudah dibeliin." Sayangnya, papaku tidak tahu bahwa setelah bertahun-tahun pun kemampuan Bahasa Koreaku tidak ke mana-mana.

Kami memang bukan tipe ayah dan anak yang diidam-idamkan banyak orang. Dulu papaku bahkan sering sekali tidak ingat tanggal ulang tahunku juga tidak pernah ingat umurku. Mungkin hanya ingat tanggal ulang tahun adikku. Tapi, apalah arti tanggal ulang tahun dan umur kalau tahu-tahu jiwa kita bisa terlepas begitu saja dari raga. Aku juga tidak punya terlalu banyak kenangan yang bisa diingat, tapi lewat segelintir kenangan yang ku tuliskan di sini (dan kenangan-kenangan kecil lain yang akan terus bermunculan seiring dengan berjalannya waktu) aku tahu bahwa aku akan tetap terhubung dengan papaku. Aku tidak tahu bagaimana cara menyuarakan kesedihan dan kepedihan selain lewat tulisan, dari dulu aku memang tak pandai bersuara, tapi rasanya ini saja cukup untukku mencicil rasa dukaku yang selama ini belum terproses dengan benar karena terlalu sering ku abaikan. Mungkin memang seperti ini lah caraku untuk menyuarakan duka.

Comments

Popular Posts