I am Malala - Malala Youfsafzai

Beberapa waktu lalu aku menonton interviewnya Emma Watson dengan Malala Youfsafzai di youtube yang membahas tentang isu feminisme dan juga perjuangan Malala dalam memenuhi hak bersekolah bagi seluruh anak, khususnya anak perempuan. Kemudian aku mulai membaca buku I am Malala di Ipusnas dan suka sekali dengan buku itu!



Malala adalah seorang anak perempuan yang lahir dan tumbuh besar di Lembah Swat, Pakistan, di mana masyarakat di sana masih di selimuti oleh tradisi patriarki yang kental sekali. Di tempat tinggalnya itu, saat sebuah keluarga memiliki anak perempuan, si ibu akan bersedih dan si ayah tidak akan mendapat ucapan selamat dari kerabat atau teman-temannya. Anak perempuan diperlakukan berbeda sekali dengan anak laki-laki. Mereka tidak boleh sekolah, tidak boleh bekerja, bahkan tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi laki-laki! Budaya patriarki membuat kaum perempuan hidup seperti burung dalam sangkar tanpa pernah tahu seberapa jauh mereka bisa terbang. Belum lagi kaum perempuan sering juga menjadi korban dari tradisi keluarga, seperti menikah di usia muda atau menjadi 'tumbal' atas perselisihan dua keluarga yang membuat Malala bertanya, "Mengapa kehidupan seorang anak perempuan harus dirusak untuk menyelesaikan perselisihan yang sama sekali tidak berhubungan dengannya?"

Tapi, Malala memiliki orang tua yang berbeda dari orang tua kebanyakan. Ayahnya, Ziauddin Youfsafzai, paham sekali bahwa ia memiliki privilege yang tidak dimiliki oleh saudara-saudara perempuannya, yaitu bersekolah. Ia mau memastikan bahwa Malala dan anak-anak perempuan lain di Lembah Swat mendapat pendidikan. Maka, ia pun membangun sekolah yang dinamakan Sekolah Khusal. Sekolah yang awalnya hanya terdiri dari 3 orang siswa. Keluarganya adalah keluarga miskin, tapi Ziauddin memiliki kegigihan yang tidak tertandingi. Ia tetap mempertahankan sekolahnya apa pun yang terjadi, walau ia harus berhutang, walau ia kesulitan membayar gaji guru-guru, dan walau sekolahnya mendapat cercaan dari banyak orang karena mengizinkan anak perempuan untuk belajar. Aku kagum sekali dengan kegigihannya itu yang kemudian menurun pada Malala. Malala sangat menyukai sekolah dan ia hampir selalu mendapat juara pertama di kelasnya.

Ayah biasa berkata, "Aku akan melindungi kebebasanmu, Malala. Teruskan mimpi-mimpimu."

Dalam buku ini, Malala menceritakan secara lengkap semua peristiwa yang terjadi di tempat tinggalnya. Mulai dari pergolakan pemerintahan, bencana alam yang terjadi, perselisihan antara Pakistan dan AS, sampai akhirnya Taliban datang dan memporak porandakan semuanya. Malala mengatakan bahwa pada mulanya saat Taliban datang tahun 2004, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka adalah orang jahat. Mereka terlihat seperti orang-orang yang siap melakukan pembaharuan. Maka, orang-orang Lembah Swat yang sudah lelah dengan kinerja pemerintah pun mendukung Taliban. Ketua Taliban, Maulana Fazlullah, mulai melakukan siaran radio setiap hari dan menyebutkan nama-nama yang ia rasa bersalah dan orang-orang selalu mendengarkan radio itu untuk mengetahui dosa yang diperbuat tetangga-tetangga mereka.

Akhirnya, kedudukan Taliban pun semakin mengakar dan pada tahun 2007 mereka mulai melakukan aksi terorisme. Mereka membuat aturan-aturan yang melarang orang-orang untuk bersuara; melarang perempuan untuk pergi ke tempat-tempat umum termasuk ke pasar; membakar komputer, TV, dan CD; meledakkan lebih dari 400 sekolah di Swat; dan membunuh orang-orang yang menentang mereka. Kengerian semakin menjalar setiap hari dan Malala berkata bahwa ia khawatir dengan keselamatan ayahnya yang menjadi salah satu penentang keras kaum Taliban. Ziauddin tahu bahwa ia bisa saja menjadi target selanjutnya dari orang-orang Taliban yang membunuh teman-temannya dengan barbar. Tapi, ia menolak diam. Malala mengikuti jejak ayahnya. Ia mulai membagikan kisahnya di BBC Urdu dengan nama samaran Gul Makai. Buku harian itu cukup membantu masyarakat luar untuk mengetahui kejahatan yang dilakukan Taliban, tapi buku harian itu belum cukup. Malala dan ayahnya terus berbicara pada media yang meyiarkan kekejian Taliban dan kinerja Pemerintah dan pasukan militer yang seolah berpihak pada Taliban. 

"Jika seorang lelaki, Fazlullah, bisa menghancurkan segalanya, mengapa seorang anak perempuan tidak bisa mengubahnya?"

Selain merasakan kengerian yang seolah tiada akhir, Malala pun sempat berhenti sekolah karena Taliban melarang anak perempuan bersekolah. Ia dan keluarganya pun sempat mengungsi ke kota lain karena ada pertarungan antara pasukan militer dan pasukan Taliban yang membuat banyak bangunan hancur dan banyak orang tewas. Tapi, setelah semua kekacauan itu, Taliban belum juga pergi sepenuhnya. Taliban seolah bersembunyi dan tetap menargetkan pembunuhan yang disebut dengan Talibanisasi privat. Dan ironisnya, Malala lah yang menjadi korbannya!

Pada tanggal 9 Oktober 2012, saat Malala pulang sekolah bersama teman-temannya setelah mengerjakan ujian, segerombolan laki-laki mencegat bus sekolah yang mereka tumpangi. Salah seorang dari mereka menghampiri anak-anak yang keheranan dan bertanya, "Yang mana Malala?" Tidak ada yang menjawab tapi semua mata tertuju pada Malala dan sedetik kemudian suara tembakan pun terdengar. Tiga buah peluru ditembakkan, sebuah peluru menembus mata kiri Malala, dan peluru lainnya mengenai dua teman Malala. Darah berceceran di mana-mana dan kondisinya gawat sekali. Supir bus langsung membawa Malala ke rumah sakit dengan kecepatan penuh dan Ziauddin pun diberitahu keadaan itu saat ia sedang menjadi pembicara di suatu tempat.

Perasaan hancur jelas sekali tergambarkan saat Ziauddin dan istrinya melihat anak perempuan mereka terbaring di ruang ICU dengan sekian banyak alat medis terpasang di tubuhnya. Akhirnya, dokter pun melakukan operasi darurat sesegera mungkin untuk mengamankan kondisi Malala yang jauh lebih parah daripada kelihatannya. Aku bisa merasakan betapa remuknya Ziauddin karena ia sempat merasa bahwa apa yang terjadi pada Malala adalah karena kesalahannya. Ia menganggap Malala adalah semestanya dan penembakan Malala yang dilakukan oleh Taliban adalah mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan. Banyak orang berkata bahwa Malala tidak akan selamat, tapi ternyata keadaan berkata lain. Setelah menjalani operasi pertama, Malala dipindahkan ke rumah sakit Queen Elizabeth di Bringmingham, Inggris. Karena kondisi yang mengkhawatirkan, Ziauddin menolak menemani Malala karena ia takut istri dan kedua anak laki-lakinya juga menjadi korban Taliban.

Akhirnya, setelah seminggu, Malala pun membuka mata dan hal pertama yang ia tanyakan adalah keberadaan ayahnya. Malala terluka cukup parah. Peluru membuat tulang kepalanya pecah dan membuatnya mengalami pembengkakan otak dan terdapat saraf wajah yang putus yang membuatnya tidak bisa berekspresi. Anak perempuan yang sangat vokal, ceria, dan mudah tersenyum itu terbaring tak berdaya akibat kekejian orang-orang Taliban. Sampai di sini aku geram sekali dengan Pemerintah Pakistan yang seolah tidak peduli dengan kehancuran negaranya. Kenapa sih mereka tega sekali membiarkan rakyat mereka ditindas dan dibunuh tanpa sebab yang jelas oleh Taliban?

Karena penembakannya, yang menggemparkan seluruh dunia, Malala mendapat penghargaan Nobel Peace Prize dan dinobatkan sebagai peraih penghargaan Nobel termuda dalam sejarah, karena saat itu ia baru 16 tahun. Seorang anak perempuan berumur 16 tahun beran menentang Taliban yang merenggut haknya dan hak kaum perempuan lainnya untuk mendapat pendidikan. Lalu, setelah menjalani pemulihan selama berbulan-bulan, Malala melanjutkan sekolahnya di Bringmingham dan melanjutkan perjuangannya untuk memastikan kaum perempuan di seluruh dunia mendapat hak mereka untuk bersekolah. Ia percaya bahwa pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk menyudahi semua perang yang terjadi dan jika seluruh kaum perempuan mendapat pendidikan makan perekonomian dunia bisa meningkat.

"One child, one teacher, one book, and one pen can change the world."

Tahun 2015, film dokumenter He Named Me Malala dirilis. Di situ ada salah satu pertanyaan yang diajukan kepada Malala, "Who would you have been if you were just an ordinary girl from the Swat Valley?" And then Malala Answered, "If I was an ordinary girl from Swat Valley, I'm still an ordinary girl. If I had an ordinary father and an ordinary mother and a conservative family then I would have two children now."

Aku merasa, gak setiap orang, bahkan di negara berkembang atau negara maju sekalipun, memiliki orang tua yang bisa membiarkan anaknya mengejar impian mereka. Aku rasa memiliki orang tua yang supportif itu adalah sebuah privileged, apalagi di negara dengan budaya patriarki yang masih kental sekali seperti di Pakistan. Ziauddin Youfsafzai yakin bahwa budaya patriarki dihilangkan, bukan hanya kaum perempuan yang bisa bebas mengembangkan diri tapi kaum laki-laki juga akan berkurang bebannya karena istri dan saudara perempuan mereka bisa mandiri.

"People ask me what special is in his mentorship, which has made Malala so bold and so courageous and so vocal and poised? I tell them, don't ask me what I did. Ask me what I did not do. I did not clip her wings, and that's all."

Ibu Malala juga mengizinkan anaknya untuk speak up dan ia sendiri juga belajar membaca, menulis, dan belajar Bahasa Inggris. Aku kagum sekali dengan semangat belajarnya. Ia seolah menekankan bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar.

Ziauddin menamai anak perempuannya Malala dari seorang pahlawan rakyat Pakistan, Malalai from Maiwand, yang menggerakkan para pejuang Pashtun untuk melawan tentara Inggris pada pertempuran Maiwand tahun 1880. Dan rasanya sosok Malala mengikuti jejak Malalai. Bedanya, Malala bukan berjuang melawan penjajah, tapi ia berjuang melawan kebodohan. Sebenarnya, ada rasa bersalah yang timbul saat aku mengikuti kisah Malala. Because when I was a student I didn't appreciate education that much. I took education just for the sake of degree, I went to school because all my friend did and because my mom asked me to go to school. I didn't do my best and I took education for granted. Somehow I feel ashamed of myself because I didn't realize how important education was. But, I feel grateful because I realized how important education is and I'll repay my mistakes in which my past self did by learning everything I want and use my knowledge to help others.

Malala bukan hanya perempuan yang berani untuk speak up dan memperjuangkan haknya tapi ia juga perempuan yang tangguh dan berjiwa besar. She said, "I used to think that the Talib would come and he would just kill me. And then I said, 'If he come, what would you do, Malala?' Then, I would reply myself that, 'Malala, just take a shoe and hit him.' But, then I said, 'If you hit a Talib with your shoe and then there would be no difference between you and the Talib. You must not treat others that much with cruelty and that much harshly. You must fight others, but through peace and through dialogue and through education. Then I said, I'll tell him how important education is and that I even want education for your children as well. and I would tell him, that's all what I want to tell you. Now do what you want."

Malala menunjukkan bahwa Islam itu penuh kasih. Ia berkata bahwa ia sama sekali tidak marah dengan apa yang telah terjadi pada dirinya.

"Islam teaches us humanity, equality, forgiveness."

Taliban bukanlah Islam, mereka hanya orang-orang barbar yang sengaja menyalahartikan Islam dan membenarkan apa yang mereka perbuat atas nama Islam padahal merekalah yang mencoreng nama Islam di mata dunia. Mereka mencuci otak orang-orang yang mudah sekali terperdaya, orang-orang yang tidak bersekolah sehingga mereka tidak tahu mana yang baik mana yang buruk, dan membuat orang-orang itu mengikuti ajaran sesat Taliban sampai mengorbankan nyawa mereka dalam aksi bom bunuh diri dang menganggap amal ibadah mereka besar sekali karena telah membela Islam. Aku jadi kasihan dengan orang-orang yang menjadi korban pencucian otak Taliban. Mereka mati sia-sia diperdaya oleh pemimpin mereka yang hanya menginginkan kehancuran.

Membaca kisah Malala membuatku tidak bisa berhenti merasa takjub, kagum, terharu, sedih, dan ngeri. Malala dan keluarganya adalah orang-orang yang hebat. Hebat sekali. Aku merasa bahwa buku I am Malala benar-benar mengubah cara pandangku dan membuatku semakin ingin menjadi versi terbaik dari diriku dan memperjuangkan impianku. Buku ini adalah yang harus dibaca oleh semua orang! Malala dan ayahnya mendirikan Malala Fund yang memiliki misi untuk membantu anak-anak di seluruh dunia untuk mendapatkan pendidikan.

Comments

Popular Posts