Pappermoon Puppet - A Bucket of Beetles dan Seni Memberi Jiwa Pada Boneka

Beberapa bulan yang lalu aku sempat mendengarkan podcastnya Patjarmerah yang tamunya adalah Maria Tri Sulistyani yang lebih dikenal dengan panggilan Ria Papermoon. Siapa tuh Ria Papermoon? Mba Ria Papermoon adalah salah satu penggagas Papermoon Puppet Theater, teater boneka yang berasal dari Yogyakarta. Di podcast itu, Mba Ria bercerita pada Kak Windy Ariestanty, yang menjadi pewawancara, tentang apa itu Papermoon dan bagaimana cara ia dan timnya yang minimalis bisa membawa Papermoon ke mancanegara. Iya loh, Papermoon Puppet Theater ini sudah berkeliling ke berbagai negara untuk melakukan pertunjukan ataupun diundang untuk mengikuti residency. Dari podcast itu, aku jadi kepo dengan teater boneka ini, dong. Dulu sebenarnya aku sempat melirik-lirik juga instagramnya, tapi waktu itu aku malah merasa bonekanya seram jadi gak aku lanjutin melirik-liriknya. X'D X'D Tapi, setelah mendengarkan cerita Mba Ria, aku jadi merasa bahwa boneka-boneka itu punya ciri khasnya sendiri dan malah terkesan hangat.

A Bucket of Beetles Virtual (Instagram Papermoon Puppet Theater)

Mba Ria bercerita bahwa setiap kali dia melakukan pertunjukan di kota-kota di Indonesia, ia mengijinkan penonton untuk naik ke atas panggung dan melihat Papermoon lebih dekat. Mba Ria juga bercerita kalau pernah suatu kali saat ia melakukan pertunjukan di suatu kota (yah, aku lupa kota apa) ada satu orang yang mendekatinya setelah pertunjukan selesai dan orang itu mengaku bahwa ia sudah mengikuti tur Papermoon di tiga kota. Saat ditanya kenapa, orang itu menjawab bahwa itu sudah menjadi janjinya pada mendiang suaminya, ia merasa bahwa saat ia menonton pertunjukan Papermoon, suaminya pun ikut menonton di sebelahnya. Wow. Aku langsung berkaca-kaca mendengar ceritanya itu, sekaligus bertanya-tanya, "bagaimana bisa sebuah pertunjukan teater boneka bisa memberikan efek sedalam itu kepada penontonnya?" Bukannya aku meremehkan atau apa, aku merasa bahwa pertunjukan boneka adalah sebuah hiburan yang jarang sekali ada. Pertunjukan boneka yang ku tahu paling seperti Sesame Street, Blues Clues (Blues Clues tuh boneka kan, ya? wkwkwk), atau Si Unyil yang ditayangkan di TV. Mba Ria sendiri juga mengakui bahwa pertunjukan boneka seringkali dipandang kekanak-kanakan oleh masyarakat. Tapi, Papermoon gak begitu. Boneka Papermoon menceritakan kisah-kisah sederhana yang seringkali luput dari penglihatan kita, beberapa karya Papermoon juga menceritakan kisah di balik sejarah tahun 1965 yang dikatakan sebagai sejarah senyap. Karya-karya mereka yang terkenal diantaranya adalah Mwathirika, Secangkir Kopi dari Playa, Laki-Laki Laut, Puno (Letters to The Sky), dan A Bucket of Beetles.

Puno, Letters To The Sky (www.papermoonpuppet.com)

Mba Ria ingin menjadikan Papermoon sebagai media yang bisa menyentuh ruang-ruang pribadi penonton, salah satunya adalah menjadikan pertunjukannya nirkata sejak pementasan pertama Mwathirika tahun 2010. Penonton murni menangkap cerita dari gerakan boneka yang menjadi bintang dalam pertunjukan. "Bagaimana bisa?" Lagi-lagi pertanyaan seperti itu muncul dalam benakku. Semakin aku mengulik tentang Papermoon, semakin penasaran aku dibuatnya.

"Perjumpaan" keduaku dengan Papermoon adalah saat Mba Ria Papermoon mengisi workshop di Patjarmerah virtual yang diadakan tanggal 2 Mei lalu. Saat itu Mba Ria mengisi workshop dengan judul Selepas Napas, yang juga merupakan judul buku pertama yang diluncurkan Papermoon. Dalam workshop itu, yang lagi-lagi dimoderasi oleh Kak W, Mba Ria menjelaskan tentang arti "Selepas Napas" untuk Papermoon Puppet. Salah satu pertanyaan awal yang dilontarkan Kak W adalah, "kenapa Mba Ria memilih untuk membahas Papermoon Puppet lewat buku?" Dengan lugas Mba Ria menjawab, "karena kami ingin mencatat sejarah kami sendiri." Lalu, kenapa bukunya diberi judul Selepas Napas? Jawabannya adalah karena ada semacam ritual sebelum tim Papermoon melakukan sebuah pertunjukan, mereka duduk bersama dan bermeditasi. Ritual itu mereka namakan sebagai Magic Circle. Lalu saat helaan napas terakhir dalam ritual mereka itulah mereka "membunuh" diri mereka untuk melebur sepenuhnya bersama boneka yang akan mereka mainkan. Bagi mereka poin paling penting adalah napas yang menjadi kunci antara boneka dan pemain (puppeter).

Secangkir Kopi dari Playa (papermoonpuppet.com)

Lalu, selain membuat pertunjukan, Papermoon juga cukup rajin membuat Pesta Boneka. Apaan lagi, tuh? Pesta boneka ini semacam acara yang mengumpulkan seniman boneka dari berbagai negara untuk belajar bersama dan mengadakan pertunjukan selama beberapa hari. Menariknya, Pesta Boneka ini diadakan di desa. Jadi, para seniman harus berbaur  dan melakukan aktivitas bersama masyarakat di desa itu selama beberapa hari. Masyarakat di desa itu pun membentuk kepanitian untuk membantu keberlangsungan acara. Menarik banget, ya? Pesta Boneka ini diadakan 2 tahun sekali dan rencananya akan diadakan tanggal 8-11 Oktober mendatang. Tapi, karena pandemi menyerang yah bubar jalan, deh. *hiks

Mba Ria juga bercerita tentang kolaborasi Papermoon dengan berbagai seniman, baik seniman lokal ataupun seniman mancanegara. Papermoon juga pernah berkolaborasi dengan Tulus dan Nicholas Saputra, loh! Mereka berdua juga turut menyumbangkan isi kepala mereka dalam buku Selepas Napas. Menurut Mba Ria, projek yang berhasil adalah projek yang menghasilkan pertemanan. Ini adalah sisi lain lagi yang menurutku menarik karena ternyata boneka bisa menjadi medium yang menyatukan orang-orang dari berbagai macam latar belakang, suku, ataupun agama. Ini juga salah satu alasan Papermoon membuat pertunjukan nirkata, karena bahasa gerak adalah bahasa yang universal.

Studio Papermoon (Instagram @papermoonpuppet)

Saat aku mendaftar untuk mengikuti workshop Papermoon di Patjarmerah, aku juga otomatis berada di antrian per order buku mereka, yang cetakannya sempat mandek karena terkendala corona. X'D X'D Dalam buku Selepas Napas, terdapat 25 artikel yang ditulis oleh 24 kepala. Ada tulisan Mba Ria tentu saja dan Iwan Effendi selaku co-artistic Paperomoon Theater yang bercerita tentang apa arti Papermoon bagi mereka, ada juga tulisan dari tim puppeter yang bercerita tentang bagaimana bisa mereka membuat boneka yang mereka mainkan menjadi hidup di atas panggung, lalu ada cerita dari Gamaliel W. Budiharga yang dipercaya sebagai person in charge dari pembuatan desain yang mengemas Papermoon, ada juga cerita-cerita dari seniman lokal dan mancanegara yang pernah berkolaborasi dengan Papermoon. Aku merasa bahwa bukunya sendiri pun menarik sekali untuk dibaca. Seperi aku bilang, semakin diulik malah semakin bikin penasaran sampai akhirnya aku membuat mimpi kecil bahwa aku harus menonton pertunjukan Papermoon suatu hari nanti, walau katanya dapat tiket pertunjukannya susah sekali karena terbatas penontonnya.

kotasis.com

Alasan artistik, teknis, dan kenapa penonton pertunjukan Papermoon terbatas pun dibahas dalam bukunya. Jadi, kenapa penontonnya terbatas sehingga dapat tiket pertunjukannya susah? Karena bintangnya adalah boneka, maka ruangan yang dipakai tidak boleh terlalu besar agar bonekanya kelihatan oleh penonton. "Ukuran panggung, panjang kali lebarnya, tidak lebih dari 9 meter x 9 meter, panggung bertipe blackbox, dan jumlah penonton untuk satu kali pementasan, maksimum adalah 200 orang." Begitulah yang dijelaskan oleh Gading Paksi selaku Manajer Panggung dan Manajer Teknis Papermoon Puppet Theater. Sebuah penjelasan yang sungguh masuk akal dan bikin aku semakin memantapkan diri untuk menonton pertunjukan mereka suatu hari nanti. Karena penontonnya sedikit kan jadi terkesan esklusif juga. Wkwkwkwk

Tapi, nyatanya aku gak perlu menunggu lama untuk bisa mewujudkan mimpi kecilku itu, karena minggu lalu, tanggal 1-2 Agustus, Papermoon resmi mengadakan pertunjukan virtual pertama mereka yang berjudul A Bucket of Beetles. Saat pengumuman penjualan tiketnya diumumkan di Instagram, aku langsung memasang alarm agar tak kelewatan membeli tiket pertunjukan mereka. Aku udah sumringah sekali rasanya saat aku berhasil membeli tiketnya yang harganya hanya 100ribu itu.

A Bucket of Beetles Booklet

A Bucket of Beetles adalah karya yang digarap dari ide seorang anak laki-laki berumur 5 tahun, Lunang Pramusesa, yang tidak lain adalah anak dari Mba Ria Papermoon dan Iwan Efendi. Karya ini pernah ditampilkan di Jepang tahun 2019 (apa 2018, ya?). Aku pernah "bertemu" Lunang beberapa kali di Instagram, lewat postingan dan instagram story mamanya tentu saja, dan sekali lagi saat Lunang dan Mba Ria melakukan live instagram. Pada live Instagram itu, Lunang dan Mba Ria bercerita tentang kaki seribu yang kehilangan sepatunya, dan aku langsung takjub dengan cara mereka bercerita. Lugas, sederhana, dan juga menyenangkan. Ide ceritanya dari Lunang dan mereka juga membuat gambar-gambar hewan yang menjadi media mereka bercerita. Belum apa-apa aku langsung tertarik dengan Lunang dan semakin senang ketika yang ditampilkan dalam pertunjukan virtual mereka bersumber dari isi kepala anak itu.

Lunang Pramusesa (Instagram @riapapermoon)

A Bucket of Beetles, walau berasal dari ide anak kecil tapi inti ceritanya besar sekali. Dikisahkan bahwa ada seorang anak laki-laki, Wehea namanya, yang tinggal di tengah hutan hujan tropis sehingga ia memiliki kedekatan istimewa dengan alam yang menjadi rumahnya. Suatu hari, Wehea melihat seekor kumbang badak yang sangat istimewa yang membuat Wehea menempuh perjalanan panjang untuk bertemu dengan kumbang badak yang kemudian menjadi temannya.

A Bucket of Beetles (Instagram @papermoonpuppet)

Dalam pertunjukan berdurasi 46 menit itu, ditampilkan aktivitas-aktivitas manusia yang merusak hutan dan hewan-hewan di dalamnya. Serangga dan hewan-hewan lain diburu, lalu hutan dibakar dan diubah menjadi perkebunan, sehingga para hewan kehilangan rumah mereka dan harus mencari rumah baru. Ini adalah isu yang tidak kecil. Kalau kalian pernah membaca kasus kebakaran hutan di Indonesia dan mengikuti perkembangan kasus kebakaran hutan Australia awal tahun lalu, kalian akan tidak asing dengan cerita yang dikemas oleh Papermoon dengan begitu sederhana namun berkesan itu. Isu besar yang merugikan itu datangnya dari manusia sendiri.

"A Bucket of Beetles is more than just a story of a beautiful friendship. It is a story about the connection between humans and nature. A story that leaves us questioning: are we taking care of our water, soil, and air enough?"

Setelah pertunjukan selesai, aku ternganga-nganga. Takjub. Gak tau lagi musti berkomentar apa. Pertunjukannya sederhana, apik, dan ending scenenya wow banget! Bikin pingin standing applause rasanya, loh. Dari scene pertama aja, waktu Wehea dibuat "bernapas" aku udah amazed. Belum lagi scene-scene lain di mana para puppeter memainkan boneka-boneka dengan gerakan mendetail yang sangan halus. Setiap gerakan kecil seperti helaan napas, gelengan kepala, menyeka keringat ditampilkan dengan begitu luwes. Benar-benaar gak nyesal aku memasukkan "menonton pertunjukan Papermoon Puppet" sebagai salah satu mimpiku.

A Bucket of Beetles Booklet

Tapi, gak cuma berhenti di situ, karena habis itu ada sesi artist talk dan sesi backstage yang gak kalah menarik dari pertunjukannya. Selama sesi itu, Mba Ria membawa penonton mendekat ke panggung Papermoon agar kami bisa melihat lebih dekat bagaimana boneka-boneka yang menjadi bintang itu di mainkan, apa saja peralatannya, dan apa saja efek yang dimainkan agar membuat panggung jadi lebih hidup. Dan kembali aku dibuat ternganga-nganga. Aku senang membuat sesuatu yang berbau DIY dan melihat backstagenya Papermoon adalah sebuah kesenangan tersendiri bagiku. Mba Ria menjelaskan bahwa semua boneka dan properti yang dipentaskan dibuat berdasarkan hasil gambarnya Lunang. Ada rumahnya Wehea yang terbuat dari batang pohon dan daun jati (kalau gak salah), lengkap dengan ornamen jamur di sekelilingnya. Lalu, belalang dan semut merahnya pun dibuat dengan benang yang tidak beraturan karena Lunang menggambar dengan crayon dan warnanya tidak beraturan, tapi mereka pikir kalau warnanya itu justru indah.

Gambar Lunang (Instagram @riapapermoon)

Mba Ria juga menunjukkan beberapa perlengkapan yang mereka gunakan seperti saat membuat shadow untuk endingnya yang menurutku wow banget. Mereka membuat alat semacam katrol yang akan menarik gambar-gambar pohon perkebunan, dan katrol itu dibuat secara manual! Lalu, semua hal detail lain pun mereka buat manual dengan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka. Prinsip mereka adalah membuat pertunjukan dengan budget seminim mungkin. Semakin takjublah aku karena pertunjukan yang begitu hebat ternyata didatangkan dari bahan-bahan yang sederhana. Gak tau lagi kapan aku bisa berhenti takjub dengan kreativitas mereka.

Ada juga sesi tanya jawab antara Papermoon dan penonton. Ternyata yang menonton bukan hanya dari Indonesia tapi banyak juga yang dari luar negri. Ada yang dari Jepang, Filipina, Australia, dll, dll. Dan aku melihat wajah-wajah yang memiliki ekspresi sumringah yang sama denganku. Banyak juga anak kecil yang menonton dan banyak pertanyaan-pertanyaan teknis yang dilontarkan oleh anak-anak kecil itu. Seperti bagaimana cara mereka membuat scene kebakaran hutan yang ternyata adalah ranting-ranting dan dedaunan yang dibakar beneran lalu divideoin dari dekat, katanya ini adalah salah satu hal yang gak bisa mereka lakukan kalau melakukan pertunjukan offline. Lalu, ada juga pertanyaan terkait dengan teknis memainkan boneka yang ternyata diadaptasi dari permainan boneka Jepang.

Sekitar satu setengah jam bersama Papermoon tanggal 2 Agustus lalu adalah salah satu pengalaman menyenangkan yang paling berkesan buatku. Makanya aku abadikan melalui tulisan ini. Hehe Semoga lain kali aku bisa melihat pertunjukan mereka secara langsung, pasti beda banget pengalamannya dengan menonton secara virtual.

Comments

Popular Posts