Aku dan Segalanya

Kalau ada satu hal yang bisa ku katakan sebagai inti dari keseluruhan hidupku, mimpiku, zona nyamanku, sekaligus insecurityku, hal itu adalah kegiatan menulis.

Aku gak ingat kapan tepatnya aku mulai menulis. Sejak kecil aku sudah terbiasa menulis. Barangkali sejak mamaku mulai membelikanku buku warna warni yang ku jadikan sebagai buku diary. Iya, barangkali permulaannya dari situ. Dulu aku punya berbagai macam buku diary. Mulai dari yang bentuknya seperti buku biasa, yang isinya sangat warna warni dan penuh gambar, bentuk binder dengan berbagai macam kertas, dan bentuk buku yang digembok (yang ngetren pada jamannya). Sampai sekarang kegiatan menulis diary itu masih berlangsung walau sempat beberapa waktu aku merasa tidak ingin menulis sama sekali.

Aku pernah mencoba untuk menulis diary di komputer menggunakan Ms Word. Tapi, rasanya aku lebih suka dengan cara kuno. Aku lebih suka menulis di atas kertas dengan pulpen hitam. Walau tulisanku seringkali sulit dibaca, apalagi ketika aku menulis dengan emosi yang menggebu-gebu. Tapi, aku menikmatinya.

Hal selanjutnya yang aku ingat adalah aku mulai mencoba menulis novel, cerpen, dan puisi saat SMA. Yang tentu saja tidak pernah aku publikasikan. Saat itu teman semejaku di sekolah sedang senang-senangnya menulis cerita fantasi dengan karakter buatannya sendiri yang terinspirasi dari karakter game dan komik. Akhirnya aku ikutan mencoba menulis novel yang ditulis tangan dengan pensil di buku tulis biasa.

Di kelasku saat itu ada juga temanku yang senang dengan kegiatan membaca dan menulis. Suatu hari tanpa sengaja, dia memergokiku menulis novel itu di kelas saat jam istirahat. Dia akhirnya bersikukuh untuk membaca novel yang belum ada setengah jadi itu dengan mata yang berbinar-binar. Aku yang memang dasarnya tidak bisa menolak akhirnya meminjamkan buku tulisku yang sudah agak kumal karena terlalu sering ku bolak balik itu untuk dia baca, sambil berharap-harap cemas menunggu komentar apa yang akan dia lontarkan.

"Ceritanya bagus. Aku suka."

Komentar singkat itu langsung saja mencairkan ketegangan yang menyerang ototku selama sekian menit dan mengalirkan rasa lega yang bercampur senang. "Wow, tulisanku dipuji oleh orang yang sudah lebih veteran dalam bidang menulis." Perlu diketahui bahwa temanku itu sudah sering mempublikasikan cerpen-cerpennya di majalah dinding sekolah, dan media komersial lain seperti majalah atau koran. Tambahan lagi dia adalah ketua dari tim jurnalistik di SMAku. Coba bayangkan bagaimana perasaanku waktu itu!

Walau akhirnya novel garapanku itu tidak pernah selesai, sih. Saat itu aku berpikir mau memindahkan tulisanku itu ke komputer, saat aku ketik beberapa halaman entah kenapa semangat dan keinginan untuk menulis ulang novel itu lenyap seketika. Yang ada aku malah asik mengomentari setiap kalimat yang aku buat. Aku seolah menjadi komentator sekaligus editor dadakan untuk tulisanku sendiri. Tak berapa lama, aku harus melambaikan tangan pada percobaan karya pertamaku yang akhirnya teronggok begitu saja bersama debu.

Setelah aku merasa bahwa tulisan jangka panjang belum menjadi ranahku, aku beralih mencoba membuat tulisan-tulisan pendek. Muncullah beberapa puisi yang biasanya terinsipirasi dari drama Korea yang habis ku tonton dan cerpen yang seringkali ku selesaikan dalam sekali duduk. Tapi, tentu saja karya-karya kecil itu pun tidak pernah aku publikasikan ke mana pun.

Saat itu aku berlangganan majalah yang isinya kumpulan cerpen, yang aku sudah lupa namanya apa. Dan mereka terbuka untuk pembaca yang mau mengirimkan cerpen yang akan diseleksi dan kemudian dimuat pada majalah edisi selanjutnya. Berkali-kali aku mengumpulkan niat untuk mengirimkan salah satu cerpenku yang sudah ku poles sedemikian rupa ke majalah itu. Tapi, sesaat sebelum tenggat waktu pengirimannya usai, selalu ku urungkan niatku untuk mengirim cerpenku. Tak tahu pasti apa yang membuatku membatalkan niatku itu. Entah karena takut, rasa percaya diri yang minus, atau hal lain yang sulit aku jabarkan. Karena saat itu aku masih menjadi anak yang tidak bisa mengenali segala macam emosi dan perasaan yang terjadi dalam diriku. Mungkin kejadian ini adalah saat di mana menulis menjadi insecurityku. Intinya, aku tidak pernah mengirimkan tulisanku ke mana-mana, tapi aku tetap menulis. Apa pun itu.

Aku mulai mencoba membuat blog. Lagi-lagi mengikuti temanku yang sudah lebih dulu membuat blog. Masih dalam periode masa SMA. Kala itu blog sedang ngetren-ngetrennya, selain Friendster dan Facebook. Tapi, blog yang aku buat hanya berisi cuap-cuap singkat yang lebih cocok disebut sebagai obrolan ngalor ngidul dan review-review buku yang aku baca yang hanya menyisipkan sinopsis buku dan sedikit perasaanku saat membaca habis buku itu. Sungguh krik-krik saat aku baca ulang tempo hari.

Memasuki akhir SMA dan masa awal kuliah. Aku merasakan sekian banyak kehilangan yang membuatku tidak bisa menulis. Karena saat itu aku merasa bahwa aku seharusnya hanya menulis cerita-cerita bagus, kenangan-kenangan baik, yang memang mau ku simpan dan ku ingat lagi dikemudian hari. Maka aku tidak menulis selama merasa sakit hati, sedih, putus asa, dan kehilangan. Aku berharap semua perasaan itu akan berlalu dan hilang begitu saja jika tidak ada jejak dokumentasi hitam di atas putih.

Setelah semua perasaan itu berlalu, aku kembali menulis. Diary, cerpen, puisi, blog. Dan aku merasakan kerinduan yang teramat sangat. Barangkali melebihi rasa rindu saat sudah lama tidak bertemu kekasih.

Sekian tahun berlalu, aku tetap menulis dalam berbagai media dan ku putuskan untuk membuat blog baru yang lebih serius. Kala itu awal tahun 2016 aku mulai membuat blog baru setelah serangkaian keraguan yang menemani siang dan malam. Ragu bahwa aku tidak bisa menulis dengan baik dan malah akan berakhir seperti blog lamaku atau bahkan seperti novel pertamaku yang teronggok berdebu. Tapi, nyatanya keinginan menulisku lebih kuat. Dan blog itu tetap konsisten sampai sekarang.

Tidak lagi berisi obrolan ngalor ngidul dan review kosong, blog baruku tampil dengan lebih berisi. Aku menuliskan apa pun yang mau aku tulis. Entah itu cerita keseharianku, review buku atau film, pemikiranku yang berliku-liku. Mungkin saja terlihat seperti buku diary yang ditulis dalam versi yang lebih rapi dan jelas antara A dan Z. Tapi, selalu ada pelajaran yang bisa diambil di setiap akhir tulisanku.

Aku sempat ragu bahwa aku tidak bisa menulis dengan baik dan kadangkala kebingungan datang saat aku akan menulis kalimat pertama dari tulisanku. Tapi, saat aku mulai menulis kalimat pertama, setiap kata selanjutnya mengalir begitu saja seperti air. Kadang alirannya halus kadang deras, sehingga kecepatan jariku menulis menjadi penentu dari hasil pembicaraan otakku yang begitu menggebu-gebu. Di sini aku merasa bahwa menulis adalah zona nyamanku yang paling nyaman.

Kemudian, sesuatu terjadi pada diriku. Ada masa di mana aku merasa kehilangan arah, tak tahu harus berpegang pada siapa atau apa, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang aku tahu hanyalah ketidaktahuan yang begitu membebani dan menyakitkan. Lagi-lagi aku berhenti menulis. Blog yang selama ini berisi tulisan-tulisan penuh percaya diri yang ditujukan untuk mengingatkanku untuk terus berjuang pun malah kuanggap sebagai sebuah omong kosong besar. Aku menggembar-gemborkan tentang hal-hal positif tapi aku malah bertindak sebaliknya. Aku merasa aku ini munafik. Aku tak percaya pada apa pun termasuk tulisanku sendiri.

Kalau diibaratkan, saat itu aku seperti anak kecil yang terperangkap di dalam gua paling dalam. Duduk diam sendirian tanpa cahaya dan ketidaktahuan pada hal lain selain kegelapan. Tulisan-tulisan lamaku yang dulu ku harap menjadi penerang jalanku di masa depan pun tak kuasa melawan kegelapan itu. Aku abaikan semua kata yang ku tuliskan di masa lalu. "Aku membenci diriku yang menulis segala omong kosong itu," pikirku waktu itu.

Sampai akhirnya, salah satu temanku berkata, "We live in the moment. Semua yang kita rasakan itu sebenar-benarnya terjadi saat itu. Semua perasaan kamu itu yah memang pas pada saat itu dan kalau tidak pas pada saat ini bukan berarti kamu yang kemarin itu hoax. Cuma memang keadaan sekarang tidak sama dengan keadaan yang kemarin. Kayak ngitung matematika aja, sedikit asumsi dirubah hasilnya akan beda. Tapi bukan berarti salah, hanya asumsinya saja yang dinamis." Sesaat setelah aku membaca kalimatnya itu, aku mulai menangis. Entahlah, aku merasa sangat sensitif sampai-sampai aku sedih sendiri saat aku disadarkan bahwa aku tidak seharusnya menyalahkan atau bahkan membenci diriku sendiri.

Akhirnya setelah sekian lama, kegelapan yang menyelimutiku pelan-pelan menghilang. Tulisan-tulisanku yang dulu perlahan memperlihatkan terangnya, menuntunku keluar dari dalam gua.

Dan akhirnya beberapa waktu lalu, aku memberanikan diriku untuk membaca tulisan-tulisanku lagi. Semuanya. Dan aku tertegun karena membaca tulisan-tulisan lamaku. Aku mulai melihat hal yang selama ini luput dari penglihatanku karena aku selalu menerapkan batasan tertentu pada diriku. Padahal, saat menulis aku tak punya batas. Aku melihat diriku berlari dengan begitu bersemangat di setiap kata dan kalimat. Aku merasa bahwa saat menulis aku sangat menikmati menjadi diriku sendiri, diriku yang apa adanya, tanpa intervensi dari siapapun. Hanya aku, pikiranku, dan hatiku. Di setiap tulisanku ada rasa percaya diri yang begitu sederhana tanpa mengharapkan validasi dari orang lain. Aku selalu menulis apa saja yang aku mau, tanpa konten tertentu, tanpa tekanan dari pihak manapun. Aku bebas. Aku hidup.

Dan setelah menyadari semua itu melalui perjalanan yang sangat panjang, ku putuskan kalau aku akan terus menulis. Sampai kapan pun.

Comments

Popular Posts