Ekspektasi Itu Bagus Sih Kalau ....

Saat kita masih kecil seringkali semua tindakan kita diperhatikan oleh orang tua. Bahkan hal sekecil apa pun mendapat perhatian dan apresiasi. Saat baru bisa berjalan, setiap langkah yang kita ambil mendatangkan suka cita; saat mulai bisa makan sendiri, setiap suapan yang kita makan menuai pujian; setiap fase yang kita lalui saat pertama masuk sekolah mendatangkan kebanggaan. Tapi ekspektasi orang tua terus berkembang, seiring bertambahnya usia, melihat anak berjalan sudah hal biasa maka mulai muncul harapan agar bisa berlari. Saat masuk sekolah, gak nangis saat hari pertamanya adalah sebuah kebanggaan tapi kemudian acara naik kelas menjadi hal biasa. Ekspektasi berkembang, yang merupakan hal yang wajar karena menginginkan kita untuk berprogres. Tapi bagaimana kalau ekspektasi semakin gak realistis atau bahkan bersifat memaksa?

Aku hanya mengambil 'orang tua' sebagai analogi, karena kenyataannya yang seringkali berekspektasi bukan hanya orang tua, tapi kita sendiri pun begitu. Entah kita berekspektasi pada orang lain atau berekspektasi pada diri sendiri. Bukanlah hal yang buruk kalau berekspektasi, karena ekspektasi sama dengan keinginan untuk berprogres dan mendapatkan hasil yang lebih baik.


Tapi, baik dalam batas tertentu aku rasa. Kalau ekspektasinya sudah sampai diluar batas wajar atau diluar keinginan bagaimana? Atau barangkali karena kita terlalu saklek dengan ekspektasi, kita jadi gak bisa menikmati jalan setapak yang kita lewati untuk mencapai tujuan yang merupakan ekspektasi itu?

Semakin menyadari hal ini, aku jadi semakin meminimalisir ekspektasiku terhadap semua hal yang berada diluar kendaliku. Selain untuk meminimalisir rasa kecewa, aku juga ingin menjadi orang yang menikmati hal-hal kecil, seperti rasa senangnya orang tua saat anaknya mulai bisa berjalan. Segala hal kecil yang seringkali terlewati tapi kalau dilihat lebih dekat, hal-hal kecil seperti itulah yang malah membuat hidupku lebih menyenangkan dan penuh rasa syukur.

Seperti aku yang akhir-akhir ini mensyukuri jam tidur rata-rataku yang berkisar 7-8 jam setiap hari. Aku bangun lebih segar dan lebih bisa berpikir jernih, entah ada atau gak ada kerjaan di kantor; emosiku juga jadi lebih stabil kalau diperhatiin.

Hidup dengan zero expectation itu agak sulit ku rasa, aku gak tau sih mustahil atau gak nya. Tapi, bagiku jelas sulit. Karena walau aku sudah meminimalisir ekspektasiku terhadap hal-hal di luar kendaliku, aku masih punya ekspektasi yang cukup tinggi terhadap diriku sendiri. Walau kalimat dari salah seorang temanku menjadi pengingat kalau-kalau aku bersikap terlalu keras pada diriku sendiri.

Dan ngomong-ngomong soal 'ekspektasi', tempo hari aku liat salah satu caption Instagramnya josuaiwanwahyudi yang juga membahas terkait hal ini, bagaimana ekspektasi yang seharusnya memotivasi malah membuat kita menyakiti diri sendiri.

Ada 3 macam ekspektasi yang dia bahas:
1. Over Ekspektasi: orang yang seringkali punya ekspektasi berlebihan terhadap segala sesuatu yang malah akan menjadikan orang itu rentan terhadap rasa kecewa dan stress.

2. Kurang Ekspektasi: tipe orang yang sudah antipati duluan terhadap segala sesuatu karena takut kecewa, akibatnya ya gak punya harapan hidup alias pasrah.

3. Manajer Ekspektasi: orang yang bisa bersikap fleksibel dan menyesuaikan ekspektasinya terhadapt situasi atau orang lain yang sedang dihadapi, orang seperti ini punya kemampuan untuk memanage tingkat stressnya dan harapan hidup yang ia miliki.

Nah, dari 3 itu kalian termasuk tipe yang mana? Dan rencananya mau membuat diri kalian menjadi tipe yang mana?

Comments

Post a Comment

Popular Posts