I am at Level 25

Being mature is not an easy task to be done. It feels like you are in you highest level of your game and you must defeat the invincible enemy and befriend with it. Menggerus habis ego adalah startegi yang selama ini aku mainkan. Sayangnya, bukannya menyelamatkan diri seperti yang seharusnya dilakukan, aku malah hampir meluluhlantakkan diri sendiri. Sampai akhirnya aku merasa gagu, karena tak bisa menyuarakan emosi. Aku terus-terusan menyalahkan diri sendiri dan merasa harus memikirkan perasaan orang lain juga. Tapi, tau kah kamu, kalau terus-terusan memikirkan orang lain maka dirimu sendiri akan terabaikan sampai berdebu?

Dulu aku pikir menjadi dewasa bagiku juga sama dengan berdiri di atas kaki sendiri. It's been a long time since the last time I rely on someone. I don't even remember. Tapi tanpa aku sadari, aku menanam bom waktu pada diriku sendiri. Tinggal menunggu berapa lama lagi waktu tersisa sampai bom itu benar-benar meledak.

Tak jarang juga aku merasa bersalah kalau-kalau aku tidak merasa bersyukur atas hidup yang sebenarnya berwarna ini. Tapi sayang, satu hal yang aku lupakan. Aku hanyalah manusia biasa yang wajar aja kalau sesekali salah, wajar juga kalau seselaki merasa kesal. Aku hanya merasa aku gak bisa memakai alasan "aku hanyalah manusia biasa" agar aku bisa merasa tidak bersyukur atau kesal.

Dulu ada seorang temanku yang bilang, "loe terlalu keras sama diri loe sendiri, Mei." Saat itu aku jelas-jelas mendebat pernyataan semacam itu. Karena aku pikir aku harus bersikap seperti ini pada diriku sendiri kalau mau menjadi pribadi yang lebih baik. Lalu, perlahan tapi pasti, waktu memberi fakta yang tak bisa ku bantah. Aku terlalu keras pada diriku sendiri, seperti yang sudah dikatakan oleh temanku sejak dulu.


Lalu aku mulai sadar, menjadi dewasa bukanlah harus memiliki toleransi tinggi, atau wawasan luas, atau pemikiran macam-macam, atau idealisme tertentu. Menjadi dewasa adalah suatu seni. Seni menakar setiap hal yang bisa mempengaruhi hidupku. Karena semua hal jelas punya porsinya masing-masing.

Memikirkan perasaan orang lain itu bagus tapi ada porsinya. Merasa bersyukur dan bersikap positif itu bagus, tapi ada porsinya. Punya idealisme untuk diri sendiri itu bagus, tapi ada porsinya. Bersikap egois pun tak melulu salah, ada porsinya.

Aku mulai paham kalau hal yang dilakukan untuk diri sendiri gak semuanya termasuk ke dalam ego. Memikirkan perasaan diri sendiri saat disakiti orang lain bukanlah ego, tapi self love. Melakukan sesuatu yang aku senangi bukan ego, tapi self love. Memilih jalan hidup dan idealisme sendiri bukanlah ego, tapi self love. Mengutarakan pendapat dan mengeluarkan emosi bukanlah ego, tapi self love. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang menunjukan bahwa ego dan self love itu serupa tapi tak sama.

Dan untuk mengerti dan mempelajari segala sesuatu dalam kehidupan ini gak ada yang namanya kurikulum seperti kita sekolah. Mungkin orang tua kita akan mengajarkan etika-etika sederhana ketika kita masih cilik. Misalnya kayak gimana caranya bergaul, gimana caranya berbagi, gimana caranya untuk berbicara sopan. Tapi menurutku kehidupan gak sesederhana itu. Bahkan lebih kompleks dari hal-hal yang sudah ku sebutkan tadi. Gak tau diumur berapa kita bisa belajar jadi manusia yang gak egois, gak tau juga kapan kita bisa belajar memaafkan.

Sang waktu dan pengalaman adalah guru abadi, sementara aku dan kamu adalah murid abadi.

Diakhir hari ini, diawal levelku yang baru, aku mau make a wish. Iya, make a wish atas semua lilin ulang tahun yang sudah ku tiup dari kemarin. Gak setiap tahun aku punya keinginan spesifik untuk diriku sendiri. Kali ini saja aku ingin berharap sesuatu untuk diriku sendiri. Semoga aku menjadi manusia yang semakin mengerti apa itu rasa syukur.

Comments

Post a Comment

Popular Posts