Sumba - Can't Help Falling in Love with You

Like a river flows surely to the sea
Darling, so it goes
Some things are meant to be
Take my hand, take my whole life too
For I can't help falling in love with you

Tau lagu legendaris dari penyanyi legendaris Elvis Presley, kan? Barangkali semua orang yang menginjakkan kakinya di Sumba akan spontan merasakan perasaan seperti lagu yang dinyanyikan Elvis Presley. Eunike Kartini, salah satu influencer di Instagram pernah bilang kalau diibaratkan, Sumba itu kayak cewek cantik yang jomblo. Dan aku mengangguk setuju. Cantik sudah pasti, di mana-mana cantik, di sana cantik, di sini cantik. Jomblo? Iya juga, karena benar-benar masih asli. Belum banyak terjamah tangan manusia dan tempat-tempatnya belum sampai dikomersilkan oleh para kaum borjuis. Walau begitu yah sampah mah masih ada aja. Gak banyak, hanya satu dua ku lihat tapi aduh jangan sampai deh jumlah wisatawan berbanding lurus dengan jumlah sampah yang dibuang sembarangan, ya. Ingat, bawa makanan atau barang-barang lainnya bisa masa bawa sampahnya gak bisa.


Kalau aku lebih suka mengibaratkan Sumba kayak duren dan nasi kotak. Duren? Nasi kotak? Silahkan terbengong-bengong bingung dulu, Sahabat. Kalau udah bengong-bengong bingungnya baru baca penjelasanku. Kalau aku harus menjelaskan enaknya duren ke orang yang belum pernah makan duren tuh kayak apa, pasti aku susah banget ngejelasinnya. Duren itu bukanya susah dan termasuk ke dalam varian buah mahal. Tapi begitu dimakan tuh beeuuh, kata 'enak' tuh rasanya belum cukup mewakili kelezatannya. Lezatnya itu karena ada kombinasi dari aromanya yang semerbak, teksturnya yang lembut di lidah, lalu cita rasanya yang bikin terngiang-ngiang. Musti nyicip sendiri baru tahu rasa enaknya tuh kayak apa. Nah, Sumba juga begitu. Termasuk ke dalam kategori tempat wisata yang mahal, ke sananya penuh effort (transit-transit, naik pesawat baling, lalu nanjak-nanjak atau tracking di bebatuan), kembali meningatkan aku dengan phrase 'beauty is pain'. Tapi, begitu nyampe sana yang bisa aku lakukan hanya dua: tenganga-nganga atau teriak "wagelaaaseeeh!!" berkali-kali. Cantik, indah, menawan, keren, memanjakan hati. Entah kata apa lah yang cocok untuk menggambarkan si Sumba yang  begitu kurang ajar, terus-terusan bikin aku terngiang-ngiang dan gak bisa move on. Musti datang sendiri biar tau keindahan yang begitu memanjakan hati tuh kayak apa.

Tapi balik lagi, gak semua orang suka duren, gak semua orang juga bakal suka Sumba. Kalau yang gak gitu demen sama alam atau lebih enjoy buat city tour mending ke Singapore atau Hong Kong aja sih saran aku. Karena dari sisi harga, pariwisata Indonesia itu bisa dipakai buat jalan-jalan ke luar negeri juga. banyak orang yang bilang "ah mending ke luar negeri aja sekalian" begitu aku kasih tau ke Sumba kemarin aku habis berapa duit. Kasarnya nih ya, untuk akomodasi, tur, dan hedon (hedon apa pula di Sumba selain beli kain XD) tuh aku habis sekitar 8 juta. "Itu bisa foya-foya di Thailand seminggu full, woii!!" Iya!! Akika juga tahu woii!! Tapi di Thailand jelas gak akan ketemu tuh danau dengan gradasi warna biru-toska yang cantik macam Weekuri; gak ketemu juga Pantai yang menenangkan hati macam Bawana dan Walakiri; atau hamparan sawah, air terjun, dan sungai yang menawan hati maca di Deku Watu. Untuk yang suka traveling dengan tema 'back to nature' kayak aku pasti akan setuju kalau gak berasa rugi ngeluarin duit 8 juta sampai musti jadi rakyat jelata selama 3 bulan. X'D

Bentar-bentar, Mei!! Sumba ibarat nasi kotak belum dijelasin. Iya uga. Kalian jelas familiar kan ama nasi kotak. Biasanya isinya ada nasi (iya namanya juga NASI kotak), ada sayur, ada lauknya (entah ayam goreng atau rendang), lalu suka dikasih buah macam pisang ambon yang unyu-unyu menye-menye, lalu aqua gelasnya jangan lupa. Nah, Sumba tuh lengkapnya kayak nasi kotak itu. Mau danau biru-toska ada, pantai dengan pasir putih ada, mau hamparan bukit  yang gak habis-habis ada, mau ke rumah adat ada, ke air terjun ada, sawah ada, sungai ada, bahkan savannah pun ada. Kurang apa lagi coba?

Kemarin aku udah sempet ceritain danau, pantai, air terjun, dan rumah adatnya dari Sumba Barat. Nah, sekarang kita melipir ke Sumba Timur. Ada apa di Sumba Timur? Ada Bukit Wairinding yang bikin merindingJ!! Jadi ceritanya, setelah kami main-main di Desa Adat Praijing, destinasi terakhir kami di Sumba Barat, guide kami langsung ngebut ke Sumba Timur untuk ngejar sunset di Bukit Wairinding katanya. Iya, ngebut dan gak main-main ngebutnya. Perjalanan yang biasanya ditempuh dengan waktu 3 jam, ini ditempuh dengan 2 jam sahaja, saudara-saudara. Salah satu temanku yang berbadan kecil sampai gak berhenti terpelanting ke kiri ke kanan di dalam mobil. Wkwkwkwk Tapi terima kasih banyak buat si abang guide, kami jadi bisa tiba di Bukit Wairinding tepat sebelum matahari terbenam. Dengan nyawa yang masih terpencar-pencar, after effect dari Fortuner yang dibawa ngebut, kami mendaki jalan setapa yang penuh dengan kerikil dan pasir. Begitu sampai di atas, pemandangannya memukau luar biasa. Sekali lagi aku disuruh berteriak, 'WAGELASEEEEH!!!!' Bukit-bukit terhampar begitu aja, dan di sebelah kiri kami matahari sedang melukis warna langit menjadi jingga kemerahan, bersiap mempertontonkan ucapan selamat tinggalnya dengan anggun.



Cukup lama kami berada di sana sampai kami sempat melihat beberapa anak kecil bermain dan berfoto dengan Aren dan kudanya. Foto terakhir ku foto dengan kamera hape karena sayang sekali baterai kameraku habis disaat-saat genting. Barangkali 'membeli beterai kamera cadangan' bisa jadi wishlist yang perlu ku eksekusi dalam waktu dekat. Banyak orang gak percaya waktu aku kasih unjuk foto senjanya Bukit Wairinding, "itu loe gak sengaja kepencet edit kali, Mei." Ya kali edit gak sengaja. Cuma aku terangin aja kok karena pasti backlight kan jatuhnya, tapi suwer deh gak aku apa-apain lagi. Yah, seperti yang sudah ku bilang sebelumnya, perlu datang sendiri biar tahu cakepnya Sumba tuh kayak apa.

Perlu diketahui sebelumnya, Sumba Timur ini berasa lebih kota daripada Sumba Barat. Semakin mendekati pusat kota semakin berasa juga kalau kami kembali memasuki peradaban. Lampu-lampu rumah yang mirip dengan pemandangan malam di Ibu Kota mulai terlihat di sepanjang jalan saat mobil kami melaju menuju Hotel Padadita. Gak kayak di Sumba Barat yang bikin aku bernyanyi-nyanyi "kirii kanaan ku lihat sajaa banyak pohon dan kuda aa". Eits bukan berarti di Sumba Timur gak ada kuda, ya.

Saat kami berkunjung ke Puru Kambera esok harinya, kuda putih, coklat, dan hitam berjejer di hamparan rumput kering yang orang sebut sebagai savannah. Iya, model di Afrika barangkali, tapi rasa Indonesia.


Di Sumba Timur panasnya lebih menyengat daripada di Sumba Barat. Topi, menjadi barang wajib yang langsung aku pakai begitu turun dari mobil. Tapi, mau panasnya semenyengat apa juga tetep semangat tuh aku mengekesplorasi wilayah-wilayah di Sumba Timur. Di Puru Kambera, pohon kering dan ilalang berserakan di mana-mana. Tapi, entah kenapa malah terlihat bagus dan mewah dimataku.


Lihat!! Kayak foto di majalah Vouge gak? XD XD

Selanjutnya kami melipir ke perbukitan kapur. Selamat datang di Tanarara! Tempat di mana Marlina dalam film Marlina: Pembunuh 4 Babak naik kuda. Iya, Tanarara menjadi salah sau lokasi syuting film itu ceritanya. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan bukit kapur yang rasanya gak habis-habis. Angin di sana cukup kencang juga, jadi kalau mau foto ala-ala dengan rambut yang berkibar-kibar sih cucok juga di mari.


Maaf saja, lensa kameraku bukan lensa wide (belum kebeli lensa baru hiks) jadi luasnya Tanarara ini belum berasa di fotoku. Tapi, aku jadinya berpikir-pikir kalau lagi sunset tuh cakepnya kayak apa, sih? #random Suami dari salah satu temanku yang juga saat itu pergi ke Sumba bilang kalau sunsetnya Tanarara jauh lebih bagus daripada sunset di Bukit Wairinding. mataku langsung berbinar-binar mendengarnya. Baru ngebayangin dari 'kata orang' aja udah ampe berbinar-binar, bagaimana kalau aku lihat langsung, ya? X'D Tapi, aku gak mau membandingkan ah. Tanarara mungkin cakep pake banget waktu sunset, tapi Bukit Wairinding tetep masuk jajaran 3 favorit aku dalam kategori 'tempat sunset terfavorit'.

Aku sempet mikir kalau bermalam di Tanarara barangkali bakal seru juga. Pagi bangun-bangun menyaksikan matahari yang terbit dengan malu-malu, lalu sorenya melihat kepergiannya dengan anggun, lalu malamnya menyaksikan langit penuh bintang. Beeeuuuh!! Tapi, lamunanku langsung buyar ketika angin bertiup kencang sampai aku seolah harus berjalan melawan angin. Oke bhay!! Dengan angin yang sekencang itu, mendirikan tenda di sana hampir mustahil, apalagi angin malam biasanya lebih kencang, kan. Lupakan saja ide bermalam di sana, ya. Nanti balik lagi aja waktu sunset. Amiiin!! Kenapa gak pergi pas sunrise lalu balik lagi pas sunset? Dengan waktu tempuh yang lama dan rute jalan menanjak yang panjang, ide 'balik lagi' itu akan menjadi sebuah PR sih.

Next. Kita kembali main air di Pantai Walakiri. Dari semua tempat yang kami datangi di Sumba. Pantai Walakiri menjadi satu-satunya tempat yang effortless. Begitu turun mobil langsung disambut dengan aroma angin laut dan cukup jalan beberapa langkah aja tanpa tracking-tracking udah sampe di pantai yang terkenal dengan pohon-pohon bakaunya itu.



Waktu kami ke sana di bulan November ternyata air laut sedang pasang dan letak mataharinya gak pas berada di belakang pohon bakau yang dikenal juga dengan sebutan dancing tree. Tapi semburat warna jingga dan pink tetep bikin aku hepi. Laut lagi pasang? Oh no problemo. Aku malah seneng, kan jadinya bisa motret sambil main air. Ahahahaha Tapi, buat kalian yang mau ke Sumba dengan ekspektasi dapat foto dancing tree macam foto-foto di instagram mending perginya dibulan Juli-Agustus aja. Air laut lagi surut di bulan-bulan itu.


Waktu hunting foto senja hanya aku dan bos ku aja yang turun ke air, temanku yang lain lebih memilih untuk duduk-duduk di bale menikmati semilir angin dan aroma ombak laut. Lalu kami bertemu dengan orang lokal yang juga merupakan tour guide dari kelompok lain. Si abang (aku lupa namanya siapa) bilang kalau dahulu kala, pohon bakau di pantai itu banyak sekali. Tapi satu persatu mati karena banyak wisatawan yang berfoto dengan seenak jidat. Foto sambil bersandar di pohon lah, atau rantingnya ditarik lah. Ada juga yang menaruh sepatu atau tas di rantingnya. Lama-lama ranting pohonnya rapuh dan pohonnya pun mati. "Tuh lihat, pohon itu baru minggu lalu mati," katanya sambil menunjuk salah satu batang pohon yang terlihat mengapung tak jauh dari tempat kami berdiri menanti senja.

Aku dan teman-temanku awalnya gak tahu juga kalau kecantikan itu ringkih. Barangkali kalau lain kali ke sana lagi atau kalian-kalian ada yang mau ke sana, fotonya gak usah sampai narik-narik atau bersandar di pohonnya, ya. Sayang banget kalau sampai mati. Seperti kata si abang juga, Pantai Walakiri itu terkenal dengan pohon bakaunya. Kalau sampai mati, pantai itu gak ada beda dengan pantai-pantai lainnya. Jadi kalau masih mau melihat kecantikan dancing tree dengan background mentari senja, dipandang-pandangi saja kecantikan itu dari jauh, ya. 'Jaga jarak aman' gak hanya berlaku kalau nyetir di samping truk doang, lho. Berlaku juga kalau mau foto dengan pohon-pohon bakau ini.

Malam terakhir di Sumba kami lewatkan dengan menyantap makan malam di bale. Appetizernya indomie goreng + telur rebus yang rasanya lebih enak dari pada indomie goreng yang biasa aku makan di ibu kota. Barangkali karena makannya ditemani dengan debur ombak, ya. Lalu ada main course makanan laut berupa ikan bakar fresh from the sea (iya, waktu aku makan, para nelayan sedang bersiap untuk melaut), cumi goreng tepung yang endeus, dan kangkung. Dessert nya buah semangka yang merah-merah. Kami, aku tepatnya sih, pulang ke hotel dengan harapan waktu bisa berjalan sedikit lebih lambat. Badanku berasa lelah tapi aku menolak tidur cepat, karena begitu buka mata maka tibalah aku pada hari terakhir ku di Sumba. Aaaaaaa

Di post selanjutnya aja deh aku cerita hari terakhir ku. Wkwkwkwk

Comments

Popular Posts