Everybody Has Something To Deal With

Dahulu kala ada seorang perempuan, sebut saja namanya Bunga. Bunga ini selalu merasa dirinya kecil dan biasa-biasa aja. Ruang lingkup pertemanannya kecil dan hidupnya ya gitu-gitu aja. Dari masa sekolah, nilai Bunga biasa-biasa aja yang penting naik kelas ceunah. Bunga juga tipikal anak yang gak suka nyari gara-gara, main aman bahasa halusnya mah. Jadinya dia gak pernah mau nyoba hal baru, karena orang yang senang main aman kan gak mau ambil resiko. 'Susah' adalah kata favoritnya. Tapi, si Bunga ini merasa nyaman berada dalam kehidupan seperti itu. Dan setiap tahun hidupnya ya begitu-begitu aja. Kalau orang bilang mah namanya comfort zone. Nah, si Bunga ini senang berkubang dalam comfort zone nya. Enggan mencoba hal baru karena takut begini takut begitu, yah di situ-situ dia jadinya. Setiap ketemu kenalan yang menanyakan kabar, Bunga akan selalu menjawab, "ya begitulah."

Di belahan bumi yang lain, ada perempuan lain bernama Mawar. Si Mawar ini terkenal sebagai cewek jutek dari dia masih kecil. Mukanya seolah disetting dengan settingan default: tatapan mata serius dan bibir yang sulit melengkung ke atas. Ada 2 sifat lain yang paling terkenal selain jutek, yaitu pendiam dan suka mencak-mencak. Kalau lagi senewen, si Mawar ini kagak ngomel merepet macam cewek kebanyakan, tapi malah teriak-teriak gak jelas. Si Mawar ini adalah spesies manusia yang seringkali kesulitan dalam mengatur emosi. Mengeluh adalah kegiatan favoritnya.

Si Bunga dan si Mawar adalah aku bertahun-tahun yang lalu. Seseorang yang enggan mencoba hal baru dan selalu mengeluh siang dan malam. Bertahun-tahun aku diam duduk-duduk aja, berkubang dalam comfort zone ku sambil memperhatikan orang lain berjuang, memperjuangkan apa yang mereka anggap penting. Bertahun-tahun juga aku merasa iri dengan teman-temanku yang udah bisa ini udah bisa itu, mengeluhkan hidup yang aku rasa sulit. Tapi, yaudah gitu aja, gak ada keinginan lain selain keinginan untuk iri dan mengeluh. Mau bisa ini bisa itu tapi do nothing. Hmm

Dan ternyata, gak selamanya aku bisa duduk diam. Karena aku gak pernah mau ambil resiko, maka resikolah yang datang kepadaku. Aku dijejali seabrek hal yang mau gak mau membuatku bangkit berdiri dan meninggalkan aktivitas nyamanku selama ini. Aku disandingkan dengan berbagai hal yang membuatku memutuskan untuk mengambil langkah pertama, meninggalkan comfort zone ku. Perlahan tapi pasti, ku tanggalkan hobi mengeluhku dan kugantikan dengan hobi baru yaitu menghitung berkat. Kata favoritku bukan lagi 'susah', tapi 'dicoba dulu, ya'. Tampilan wajahku gak lagi default dengan settingan tatapan mata serius dan bibir segaris lurus, tapi mataku kini seringkali berbinar dan bibirku tersenyum lebar karena hal-hal kecil.

Kenapa kok terjadi perubahan signifikan seperti itu? Jawabannya adalah: aku capek. Aku capek merasa iri dengan teman-temanku yang udah bisa ini udah bisa itu tapi di satu sisi pantatku nempel saja di comfort zone, enggan beranjak. Ibaratnya, aku ini haus tapi aku gak mau ambil minum, tapi mengeluh haus. Ya itu tuh gimana, ya. Aku juga lama-lama capek memberengut terus, lalu aku mencoba untuk tersenyum dan kurasakan otot-otot wajahku jauh lebih relax dari sebelumnya. Aku capek merasa takut melakukan hal-hal yang belum pernah aku coba. Dan aku rasa gak fair kalau aku hanya berpikir tentang resiko yang akan aku hadapi. Padahal ada chance 50:50 untuk kemungkinan gagal atau berhasil, kan ceritanya belum pernah dicoba jadi gak tau kan kedepannya bakal gimana.


Saat aku memutuskan untuk mengambil kuliah ekonomi, bukannya psikologi yang menjadi mimpiku dari dulu, aku menangis semalaman. Tapi habis itu udah, aku merasa bahwa aku gak boleh mengeluh karena aku sudah memutuskan untuk melangkahkan kaki di jalur ini, walau sebenarnya aku gak tau langkahku ini akan membawaku ke mana.

Saat aku kena restrukturisasi diumur 22 tahun, aku kesal berbulan-bulan, tapi habis itu udah. Aku belajar untuk berpikir "it's not a big deal", bukan cuma aku yang kehilangan pekerjaan jadi jangan terlalu lama mengasihani diri sendiri. Memang kenapa kalau diumur 22 aku kena restrukturisasi? Masih ada perusahaan lain yang mau menerimaku dan membuatku bisa membuktikan diri. Dan lambat laun aku bersyukur, karena dulu aku kena restrukturisasi maka saat ini aku bisa bilang, "aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu." Azeeek

Kalau dalam diriku masih ada si Bunga dan si Mawar, setiap kali aku dihadapi oleh masalah, maka aku akan mengeluh siang malam dan merasa seolah-olah duniaku runtuh. Merasa bebanku kok berat banget, seberat mikul beban berpuluh-puluh kilo di bahu. Lalu, merasa semua orang gak ada yang ngertiin aku, lalu nangis-nangis lebay. Duh. Nah, aku kan capek juga merasakan perasaan yang seperti itu. Maka aku mulai menginstall banyak 'software' dalam kepalaku, salah satunya adalah 'software' yang membuatku berpikir kalau aku bukanlah orang paling malang sedunia. Everybody has something to deal with. Yang punya masalah bukan cuma aku, yang dikeroyok drama bertubi-tubi bukan cuma aku, yang berjuang bukan cuma aku. Bahkan sebenarnya masih banyak orang yang masalah dan dramanya lebih berat dan perjuangannya pun lebih berat.

Banyak yang bilang kalau roda kehidupan ini berputar. Gak melulu di atas, gak melulu di bawah, gak melulu berjalan, dan gak melulu diam aja. Lalu, rodamu ya rodamu gak ada sangkut pautnya dengan roda orang lain. Masing-masing orang berjuang dengan rodanya sendiri. Kesadaran seperti ini lah yang membuatku gak lagi-lagi mengeluh siang dan malam. Walau aku akui kalau sesekali mengeluh itu cukup membawa faedah, toh pada dasarnya mengeluh itu termasuk kegiatan yang manusiawi. Hanya aja semua hal itu ada porsinya, kan.

Sedikit hal yang kuceritakan ini adalah dampak dari hal-hal yang dijejalkan kehidupan kepadaku. Aku dipaksa untuk bangkit berdiri saat aku terjatuh. Gak papa jalannya lambat, gak papa jalan terseok-seok, gak papa sekali-sekali terjatuh, asalkan judulnya "tetap melangkah".

Ada sebuah kalimat dari seorang filsuf Tiongkok, Lao Tzu, yang mengatakan bahwa "perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah." Entah langkah itu kamu mulai sendiri atau keadaan yang memaksa kamu untuk mengambil langkah itu. Kalau aku sudah memutuskan untuk melangkah, aku akan tetap melangkah apa pun yang terjadi. Iya, benar gitu, ini bukan cuma sepik-sepik doang. Aku ceritanya sedang membuat sebuah kesaksian hidup. Karena setelah bertahun-tahun lamanya aku melangkah dengan langkah yang menurutku banyak terseok-seoknya, aku menoleh lagi ke belakang lalu bergumam, "hoo, langkahku udah cukup jauh juga rupanya, ya."

Meiliana Kan yang dulu, yang masih senang berjutek-jutek ria, gak pernah ngebayangin tuh kalau sebenarnya dia bisa dengan mudahnya mengulas senyum waktu ada anak kecil nyapa dia di busway. Meiliana Kan juga gak akan pernah tahu apa jadinya dia sekarang kalau dia masih senang berkata 'susah'.

Aku bukanlah seorang expert. Aku gak belajar ilmu psikologi secara formal, baca buku motivasi pun jarang-jarang. Tapi, saat ini aku bisa melabeli diriku sebagi seorang pembelajar. Belajar dari pengalaman hidup yang ku jalani dan pengalaman hidup orang lain. Karena sebenarnya, seekor keledai tuh bisa jadi gak akan jatuh ke lubang kalau dia mau melihat ada keledai lain pernah jatuh ke lubang yang sama.

But the most important thing to be remembered: Everybody has something to deal with. But, deal with yourself first.

Comments

Popular Posts