Gain Something Through Your Hardship

Belum lama ini, ada seorang temanku yang gundah gulana tentang masalah pekerjaan sampai muncul pertanyaan seperti ini di benaknya,
"Apa setiap orang dewasa itu ditakdirkan harus bekerja terus seumur hidupnya? Kalau emang gw ada tabungan cukup untuk bertahan sehari-hari, jadinya gak boleh jadi pengangguran? Gengsi jaman now separah itu kah?"
Pertanyaan yang cukup menggelitik menurutku, terutama pertanyaan yang menyerepet tentang gengsi. Memangnya orang-orang bekerja untuk gengsi? Atau orang-orang punya gengsi gede makanya bekerja? Tapi, memangnya ada ya orang yang bekerja karena gengsi? Yah, jelas ada. Hanya saja, karena aku tidak pernah berpikir aku bekerja karena orang lain bekerja maka keningku mengernyit juga saat temanku memberikan pertanyaan semacam itu.

Kalau aku pribadi, aku bekerja bukan karena alasan "ah, kuliah tinggi-tinggi masa gak dapat kerjaan bagus". Aku bekerja bukan karena yang lain kerja maka aku HARUS bekerja, toh menurutku mendapatkan uang itu gak melulu dengan cara menghabiskan waktu minimal 8 jam duduk di belakang meja kantor.

Alasanku bekerja adalah untuk mencari pengalaman dan pembelajaran (selain menunggu rekening diisi waktu tanggal gajian, sih), oke terdengarnya memang klise, tapi memang begitu adanya. Maksudnya, aku merasa kalau aku perlu gain something dari setiap hal yang aku kerjakan.Jadi, misalkan sedang hectic hectic nya atau sedang merasa jenuh atau semacamnya, aku mengucap mantra begini,
"instead of complaining about your situation, you must gain something through your hardship."
Karena percuma kalau sudah capek fisik, capek mikir, tapi gain nothing, kan. Di tempat kerja aku bisa belajar skill yang memang terkait dengan pekerjaanku, excel dan kawan-kawannya misalnya. Tapi, selain itu aku juga belajar untuk mengatur waktu, lebih disiplin, self control, lebih sociable, dan lebih mengerti arti bersyukur. Yang paling berasa untukku selama tahun-tahun terakhir aku bekerja adalah 3 hal terakhir.

Self control, aku  sebenarnya adalah orang yang kikuk, kaku, dan emosiku seringkali meledak-ledak seperti bom waktu yang gak tahu waktu meledaknya sisa berapa jam atau berapa menit lagi. Aku belajar untuk menjaga etiket di tempat kerja, gak ngambekan, gak baperan. Mbok ya masa ngeliat selisih marah-marah, tiap hari dong aku marah-marah kalo gitu. #eeh

Lalu kebetulan keberuntungan berpihak padaku karena aku bisa bertemu dengan teman-teman yang memberiku banyak ilmu. Teman yang selalu mengingatkanku untuk bersyukur, teman yang membuatku belajar tentang seni menertawakan diri sendiri, teman yang memberiku motivasi secara tidak langsung untuk tetap menjadi orang baik apa pun yang terjadi, teman yang mau mendengarkan keluh kesahku dan gak ngejudge apa pun tapi memberikan solusi yang ngena banget. Okay, I feel blessed because I've met them, karena gak semua orang bisa dapat lingkungan kerja yang seenak aku, kan?

Seperti aku yang dulu yang tiap hari selalu dipantengin sama sang senior galak dan bos super duper cuek yang membuat aku selalu malas setengah mati untuk melangkahkan kakiku ke kantor. Tapi, hei orang-orang semacam itu yang bisa membuatku selalu bersyukur. Bisa membuatku selalu tersenyum setiap pulang kantor karena setidaknya aku masih bisa makan enak.

Diomelin senior? Beryukurlah karena berarti telingaku masih berfungsi normal, kan. Dulu itu seringnya aku nangis macam anak kecil setiap kali aku diomelin atau kerjaanku gak beres, padahal tangisanku itu gak bisa bikin kerjaanku cepat selesai, kan?

I've realized that happiness is not designed for the happy moments only. But, when you can paint any smile when sadness comes it's also called happiness.

Lalu, hal lain yang membuatku keep my chin up adalah ketika aku melakukan perjalanan pergi dan pulang. Oke, waktu tempuh dari kos ke kantorku hanya sekitar 30 menit, jalan kaki dulu sekitar 10-15 menit lalu naik busway sekitar 10 menit lalu jalan kaki lagi 5 menit. Setiap pergi pagi-pagi aku pasti berpapasan dengan para pengendara motor atau mobil yang berjibaku di jalanan untuk pergi ke kantor, lalu di busway aku berjumpa dengan para pekerja yang kebanyakan bermuka bantal, bahkan tak jarang beberapa dari mereka menyempatkan diri untuk tidur selama perjalanan, lalu aku juga berjumpa dengan pedagang-pedagang yang berjualan di sepanjang trotoar.

Saat kena lembur dan pulang malam, kadangkala aku naik busway juga, dan masih ada juga orang kantoran yang pulang dijam yang sama sepertiku. Itu berarti aku gak sendiri, kan. "Trus, kenapa kalau mereka pulang malam juga?" Maksudku adalah, bukan hanya aku yang bekerja lalu pulang malam, orang-orang juga berjuang untuk bertahan hidup dengan cara yang mungkin sama, bahkan beberapa di antara mereka kerja lembur sampai ayam berkokok lagi.

Hal yang selalu ku wanti-wanti untuk diriku sendiri adalah ketika aku berada dalam situasi yang gak enak atau mendapat masalah yang membuatku ingin meledak saat itu juga, aku tidak mau berpikir sebaga orang paling malang di dunia. Kalau stres di tempat kerja itu adalah kemalangan luar biasa lalu kamu sebut apa Kaum Rohingya yang ditindas  habis-habisan sampai harus kabur ke sana kemari?

Jadi, menurutku bekerja itu bukan suatu hal yang harus dilakukan atas dasar gengsi. Yang aku dan kamu perjuangkan itu bukan semata-mata untuk gengsi. Bekerja dapat uang lalu untuk beli makan, memangnya makan itu untuk gengsi?
Working is not a must, but struggling is. Struggling is the perks of being human being. Struggling to gain something new, struggling to be a better person.
Working and struggling for a better you and a better tomorrow. Bukan hanya bekerja tapi hanya untuk sekadar hidup. Kalau hanya sekadar hidup, jadi tukang sampah pun bisa hidup, kan? Hmm

Comments

  1. setujuuu Mei!!! Makasih inspirasinyaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you Pik. Hepi deh kalo sekiranya bisa menginspirasi 😁😁

      Delete

Post a Comment

Popular Posts