Chronicle Of A Blood Merchant

Aku baru saja menamatkan satu buku bagus. Seminggu sih tamatnya, yah waktu yang cukup singkat untuk ukuran orang yang bacanya lama seperti aku, sih.

Chronicle Of A Blood Merchant karangan Yu Hua, dan buku ini sudah adaptasi sebagai film di Korea Selatan (agak bingung sih, bukunya Cina tapi filmnya Korea. Hmm). Oke, sesuai tradisi Meiliana Kan, aku selalu baca bukunya dulu sebelum nonton filmnya. Yah, sebenarnya aku udah beli bukunya duluan sih sebelum tahu ternyata buku ini sudah difilmkan.

Kalau aku mau mereview buku ini, kalimat pertama yang akan terlontar adalah: Cina sekali. Bukan maksudnya rasis, tapi memang buku ini settingnya memang di Cina, pada zaman revolusi. Selain itu percakapan-percakapan di dalamnya pun memang mengingatkanku pada ncim-ncim kalau lagi ngomong, berisik. X'D Saking banyaknya percakapan di dalam buku ini, aku kadang jadi pusing sendiri. Tapi, justru dari percakapan-percakapan yang terjadi di dalam buku lah aku bisa mengambil kisah moral dari buku ini.

Hasil gambar untuk chronicle of a blood merchant book
goodreads

Buku ini berkisah tentang Xu Sanguan, seorang pemuda sederhana yang diajari untuk berjualan darah oleh kedua pamannya. Jual darah di buku ini mungkin ibaratnya seperti donor darah yang dikomersilkan, karena jualnya di rumah sakit dan kesehatan orang yang mau jual darah pun dicek dulu. Sekali jual darah dapat 35 yuan. Aku gak tahu sih 35 Yuan itu seberapa banyak, tapi rasanya banyak sekali kalau sampai bisa dijadikan sebagai modal menikah. Iya, uang itu dipakai Xu Sanguan untuk meminang Xu Yulan, seorang gadis cantik di kotanya yang terkenal dengan sebutan 'gadis cakwe' karena memang pekerjaannya setiap hari adalah menggoreng cakwe. Dari sinilah kisah pelik Xu Sanguan dimulai.

Pada beberapa bab pertama digambarkan secara deskriptif tentang keluarga kecil Xu Sanguan. Mulai dari saat-saat pertama ia menikah, punya anak pertama Xu Yile, punya anak kedua Xu Erle, lalu punya anak ketiga Xu Sanle. Keluarga mereka harmonis dan biasa-biasa saja. Sampai akhirnya Xu Sanguan mengetahui bahwa anak yang paling disayanginya, Xu Yile, ternyata bukan anak biologisnya. (Hmm.. ini bukan spoiler, lho. Karena di sinopsis bukunya pun sudah dikasih tahu. XD)

Katanya, darah itu lebih kental daripada air yang artinya hubungan keluarga jauh lebih kuat daripada ikatan teman atau kenalan. Tapi, tidak juga. Xu Sanguan tetap menjadi ayah bagi Yile dan merawatnya sampai dewasa, bahkan sampai rela mengorbankan diri menjual darahnya berkali-kali demi anaknya itu. Xu Yile bukan anak biologisnya, tapi Xu Sanguan tetap memperlakukan Xu Yile sebagai anaknya sendiri.

Selain itu, kejadian-kejadian pada masa revolusi pun digambarkan secara detail. Tentang bagaimana keluarga Xu Sanguan harus makan bubur jagung setiap hari pada masa-masa krisis. Oke, aku membayangkan makan bubur jagung pun sudah mual, apalagi makan bubur jagung tiap hari. >.< Lalu, masa-masa ketika istrinya, Xu Yulan dicaci maki di hadapan umum dan dicap sebagai pelacur. Masa-masa dimana anak laki-laki harus pergi ke desa dan membantu tim produksi di sana selama bertahun-tahun.

Kesulitan dan kesusahan keluarga mereka digambarkan secara detail, ini yang menurutku menarik. Ceritanya tidak hanya berfokus pada satu masalah saja, tapi digambarkan juga kesulitan yang dilalui setiap harinya dengan gaya penceritaan yang tetap realistis. Karena kalau lebay nanti jatuhnya macam sinetron, ya. Hmm..

"Asalkan gunung hijau tetap bertahan, tidak usah khawatir tidak ada kayu bakar. Asalkan nyawa masih tetap selamat, berhasil lewati hari-hari pahit ini, berikutnya tetap menanti hari-hari indah yang tidak habis-habis dan tidak habis-habis."
Moral dari buku ini (aku tulis seperti gaya buku cerita yang sering aku baca waktu kecil, karena moralnya gak cuma 1.):
1. Berbuat baik itu gak boleh pandang bulu. Mau anak sendiri atau bukan, mau orang tua sendiri atau bukan, tetap harus pandang budi baik orang yang sudah merawat dan menolong kita.
2. Dengan orang lain pun gak boleh sombong dan meremehkan. Karena siapa tahu suatu hari nanti, entah kapan, kita perlu bantuan orang lain yang dulunya kita remehkan.
3. Mulut jangan comel. Iya, jangan jadi ember bocor seperti Xu Yulan. Setiap kali ada masalah, dia selalu duduk meratapi keadaannya di ambang pintu sambil menangis tersedu-sedu sampai para tentangga datang lalu jadi tahu kejelekannya apa. Aku sampai geleng-geleng sendiri sih dengan wanita yang satu itu. Ckckck
Karakter Xu Sanguan di buku ini mengingatkanku pada karakter Ove dalam novel karangan Fredrik Backman, A Man Called Ove. Kalau Ove digambarkan sebagai laki-laki tua yang suka menggerutu, Xu Sanguan ini kadang-kadang cerewet dan suka ngomongin orang. X'D Tapi, kedua laki-laki itu punya hati yang lembut, yang selalu membuatku berdecak kagum.

Bintang 5 untuk buku ini, terlepas dari percakapannya yang berisik dan agak kampungan (mungkin karena diceritakannya orang miskin jadi ngomongnya ala kadarnya. Hmm). Dan untunglah cerita Xu Sanguan berakhir mulus, walau ada beberapa scene yang bikin hati meringis, tapi gak  sampai setragis yang aku kira. :')

Comments

  1. Gw mesem-mesem pas baca nama anak-anaknya~ benar-benar sesuai urutan angka ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Pik. Ceritanya bapaknya sengaja namain anaknya itu. Yile = Senang Satu, Erle = Senang Dua, Sanle = Senang Tiga. Wkwkwk

      Delete

Post a Comment

Popular Posts