Mimpi Seorang Bapak

Beberapa hari terakhir langit Ibu Kota tampak kelabu, sore ini pun begitu. Jam-jam sibuk pulang kantor membuat banyak orang yang berlalu lalang di depan kami yang sedang duduk di pinggiran trotoar, hanya beralaskan koran. Tak ada orang yang memperhatikan kami. Bagus juga, karena aku tidak mau anak-anakku malu dengan keadaan mereka yang memiliki bapak seorang pemulung jika mereka melihat tatapan menghina dari orang-orang. 

Angin mulai berhembus lebih kencang.  Lalu kecemasan itu pun kurasakan lagi. Cemas kalau-kalau hujan turun dan air hujan menetes melalui sela-sela atap rumah kami, itu pun jika gubuk reyot yang kami tinggali layak dikatakan sebagai rumah.

"Pak, Bapak." Aku tersadar dari lamunan dan kecemasanku seketika hilang begitu melihat wajah lugu dari anak laki-laki yang memanggilku 'Bapak', Ali namanya.
Seulas senyum pun mau tak mau tersungging di wajahku, "apa nak?"
Tangannya memegang sendok dengan nasi goreng dan potongan telur dadar di atasnya. "aaaaa" katanya sambil membuka mulut lebar-lebar seraya mengangkat sendok di tangannya ke arahku. Aku membuka mulut dan menerima suapan nasi goreng itu dan tersenyum lagi ketika melihat Ali nyengir.

"Bapak kenapa beli nasi cuma 2 bungkus, uangnya kurang ya, Pak?" tanya Ibu yang duduk di sampingku.
Aku menggeleng, "Bapak gak laper, Bu. Tadi sudah dikasih gorengan sama Bang Amo. Nasi gorengnya Ibu dan anak-anak aja yang habiskan," kataku seraya berharap dalam hati agar Ibu tidak menangkapku berbohong. Untungnya, Ibu hanya mengangguk lalu menyuapi anak bungsu kami, Naira.

Aku bukannya tidak lapar, perutku sudah mengancam untuk berbunyi sedari tadi. Tapi, beberapa hari terakhir aku berusaha untuk berhemat, menyisihkan beberapa ribu rupiah dari hasil memulungku yang jumlahnya tak seberapa.

Tempo hari saat jalan-jalan di pasar, Ali terlihat senang sekali ketika melihat mainan mobil, kata penjualnya mobil itu bisa dimainkan lewat remot. 
"Wah, pak. Hebat ya mobilnya bisa jalan sendiri," katanya dengan wajar berbinar. Sebenarnya hanya itu saja kalimat yang terucap. Ali tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Aku lega sekaligus sedih, karena anak-anak seumur Ali biasanya punya banyak sekali mainan. Tapi, aku sebagai bapak tidak bisa membelikan mainan barang satu saja.

Tidak, aku bukannya menyisihkan uang hasil memulung untuk membelikan Ali mainan mobil. Uangku masih belum cukup. Kemarin aku pergi mencarikan Ali baju baru bergambar mobil di pasar loakan. Memang tidak bisa dikatakan sebagai baju baru jika sudah bekas pakai. Tapi, aku harap Ali mengerti. Ibu dan Naira pun ku belikan sepasang sendal dengan warna senada.

Ah, aku sudah tidak sabar untuk pulang dan segera menunjukkan hadiah kepada mereka. Membayangkan ekspresi bahagia Ibu, Ali, dan Naira saja sudah membuatku tersenyum sendiri.

"Pak, itu mobil apa, Pak?" tanya Ali sambil menunjuk bis besar berwarna merah dan oranye di seberang jalan.
"Oh, itu namanya busway. Ada yang warnanya biru juga, ada yang tingkat juga," jelasku.
"Oh." Hanya itu jawabannya, lalu anak itu kembali menghabiskan makanannya. Namun, ku perhatikan, matanya sesekali menatap lagi ke seberang jalan. 
"Ali sama Nai mau naik busway?" tanyaku. Mata Ali membulat, lalu ia mengangguk senang. 
"Tapi, bayar Pak? Kalau bayar, gak usah. Ali sama Nai mau naik gerobak Bapak aja." Kalimat yang dilontarkan Ali membuat mataku berair. 
"Engga. Kita naik busway tingkat aja mau? Busway tingkat sama gratisnya sama naik gerobak Bapak," kataku. Ali langsung mengangguk bersemangat. 
"Nai juga, Papak." Aku mengangguk juga pada gadis kecil yang belum bisa menyebut 'Bapak'dengan benar.
"Ibu ikut juga."
"Gak usah, Pak. Ibu gantiin Bapak mulung aja."
"Setengah hari aja, Bu. Nanti siangnya, Bapak mulung lagi." Akhirnya, Ibu pun mengangguk.

Angin kencang kembali berhembus.
"Ayo pulang kalau sudah makannya. Sebelum hujan," kataku lagi. Ali mengangguk seraya membuang bungkusan nasi yang sudah tak bersisa ke tempat sampah. Lalu, anak itu berlari dengan kaki kecilnya, naik ke atas gerobak yang sehari-hari kugunakan untuk menyimpan barang pulungan. 
"Pulangnya ngebut ya, Pak," katanya dengan cengiran lebar.
"Nai Nai Papak." Gadis kecilku ikut berlari menuju gerobak, aku menggendongnya dan menaikkannya ke dalam gerobak.
"Pegangan, ya," kataku mengambil ancang-ancang untuk berlari. 

Katanya, setiap orang itu punya mimpi. Mimpiku sederhana saja. Aku ingin melihat Ibu, Ali, dan Naira tersenyum walau itu berarti aku harus menahan lapar atau memulung lebih rajin. Hanya itu mimpi sederhana dari seorang Bapak. 
.
.
.
.
Cerita ini adalah hasil kolaborasi dari perjalanan pulang hari ini dan hasil 'Do Not Disturb' beberapa jam terakhir. 

Comments

Popular Posts