Menilik Keluar Diri (Life is a Journey - Part 2)

Pertanyaan yang akhir-akhir ini seringkali ditujukan kepadaku adalah: "Kamu pulang jalan kaki? Seriusan?" (Thanks God, seenggaknya bukan pertanyaan "kapan nikah?" yang berseliweran.)

Sebelumnya aku sudah sedikit membahas tentang hal ini, aku juga sudah membeberkan secuil alasanku kenapa aku pulang jalan kaki. Tapi, rasanya ingin lagi ku angkat topik ini. Biasa, cewek kan kadang suka mengungkit hal yang sudah lalu, ya. #eeh

Aktivitasku pulang jalan kaki rasanya sudah menjadi rahasia umum dalam beberapa bulan terakhir. Lalu, teman kuliahku pernah ada yang bertanya begini: "Jadi elo pulang jalan kaki karena hobi apa biar gak usah lama nungguin busway, Mei?"

Sebenarnya kalau dari Senayan ini baru sekitar 2 bulan pulang jalan kaki, pertama kali pulang jalan kaki adalah saat aku masih menjadi budak korporat karyawan di kantor sekitar Sarinah. Motif awalnya memang karena malas lama-lama nunggu busway, apalagi waktu dulu jalur busway belum steril. Nunggu busway lama, lalu jalanan juga macet karena masih banyak mobil-mobil yang seenak jidat masuk jalur busway, belum lagi harus berjibaku dengan sekian banyak orang lain yang juga mau naik busway, antri busway macam antri mau beli tiket konser (apalagi kalau antri di depan yang khusus wanita, tahu lah kalau para ibu-ibu bisa jadi sangar kalau ketemu diskon sama ketemu bangku busway atau kereta yang kosong).

Karena alasan itu lah aku pertama kali memutuskan untuk pulang jalan kaki (pertama kali dari Sarinah). Pertama kali rasanya sih engap, ya. X'D Kedua, ketiga, keempat, kelima sudah terasa biasa. Bahkan rasanya ketagihan. Kayak anak kecil makan cokelat, awalnya penasaran lama-lama ketagihan. Bagaimana gak ketagihan kalau setiap pulang aku disuguhi langit senja yang cantik oleh alam? (kalau langit lagi cerah, sih) Oke, kalau orang lain mungkin akan tetap melengos pergi, tapi kalau ketemu sunset aku malah diam dulu. Aku pernah menyempatkan diri duduk di sebatang pohon lalu memandangi langit jingga kemerahan sampai akhirnya langit berubah menjadi biru kehitaman. Bodo amat orang-orang yang lewat mau ngatain apa. :')



Senja adalah salah satu hal yang bisa membuatku tersenyum selama perjalanan pulang. Hal lainnya adalah ketika aku memerhatikan banyak sekali orang selama perjalanan. Aku pernah bertemu dengan anak kecil yang masih asik menggeret mobil mainan yang spionnya patah sebelah di dekat stasiun disaat anak-anak zaman sekarang asik dengan PSP, Nintendo, iPhone, iPad, iPod, dan lain-lain, dan lain-lain. Dan senyumku langsung mengembang melihat anak itu. Anak-anak memang seharusnya bermain di luar dengan mainan fisik bukannya main di dalam kamar berAC memainkan mainan virtual. Hmm..

Selama perjalanan pulang, aku berpapasan dengan orang-orang lain yang juga baru pulang kantor lalu dalam hati aku berkata "aku tidak sendirian". Aku berpapasan dengan pedagang asongan, tukang siomay, tukang nasi goreng, ibu-ibu penjual gorengan, kuli-kuli bangunan, petugas kebersihan, dan lain-lain, dan lain-lain, lalu dalam hati aku merasa bersyukur, "oh setiap hari aku bangun pagi dan pulang malam, kadang capek (apalagi kalau deadline bertubi-tubi), kadang jenuh, tapi kehidupanku masih jauh lebih baik daripada mereka." Dan yang terpenting kalau aku masih bisa pulang jalan kaki, itu artinya kakiku masih lengkap sepasang, kan.. Sampai aku pernah bertekad seperti ini, "selama aku masih bisa berjalan, aku mau berjalan terus ke mana pun aku mau."



Selama perjalanan, kalau lagi hoki pun aku bisa kedapatan menolong orang. Gak susah-susah, sih. Pernah ada abang Gojek yang nanya alamat gedung, atau ibu-ibu yang nanya jalan. Atau sekadar mengumbar senyum pada beberapa orang yang lewat pun sudah termasuk menolong orang. Karena katanya seyuman itu menular. Tapi, kalau aku senyum ke stranger ada 2 kemungkinan sih, antara disenyumin balik atau dikatain gila. Hmm..

"We're in the rate race. To go where? To go where? Why don't you stop and look at the people around you? And say 'can I help you?'. It's so important." - Cuplikan kisah dari Instagram humansofny.

Ada seorang penulis, Windy Ariestanty namanya. Dia pernah beberapa kali live di Insta Story dan pernah satu kali aku mengikuti live nya. "Kalau mau melihat keluar diri kita, kita harus melakukan perjalanan. Gak perlu perjalanan jauh, yang dekat-dekat juga bisa." (Aku lupa sih kalimat persisnya gimana, tapi kurang lebih kayak gitu). Jadi, sebenarnya bukan seberapa jauh kaki kita melangkah, tapi seberapa banyak hal yang kita lihat selama kaki kita melangkah.

Jadi kalau temanku bertanya: "Jadi elo pulang jalan kaki karena hobi apa biar gak usah lama nungguin busway, Mei?", maka jawabannya karena hobi. Aku hobi memerhatikan sekeliling, hobi menilik keluar diri, dan salah satu caraku untuk melakukan hobiku itu adalah dengan melakukan perjalanan.

Comments

  1. Karena hobi yah. Bukan karena kapok cape naik jembatan karet benhil bolak balik 😆

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu, daripada naik busway ke karet trus jalan lagi, mending sekalian aja jalan, biar hobinya gak setengah2.. wkwkwk

      Delete

Post a Comment

Popular Posts