Live a Life That Matters

TEMPO.CO, Jakarta - Stasiun televisi CCTV News di Cina membuat postingan mengejutkan di laman Facebook-nya pada 8 Januari 2015. Stasiun itu mengatakan salah satu stasiun kereta di Hokkaido, Jepang, yakni Stasiun Kami-Shirataki hanya memiliki satu penumpang yang menggunakan stasiun tersebut saban hari.

Pengguna stasiun itu seorang siswi sekolah menengah atas. Kabarnya stasiun tersebut tetap dibuka hingga gadis itu lulus sekolah. Cerita tentang gadis pengguna stasiun ini bermula saat sebuah perusahaan jaringan kereta api di Jepang, Japan Railways, berencana menutup stasiun itu tiga tahun lalu. Mereka urung melakukannya ketika mengetahui ada gadis menggunakan kereta yang berhenti di stasiun tersebut untuk berangkat sekolah.

Dilansir dari laman Straitstimes.com gadis itu rencananya lulus pada 26 Maret 2016, tanggal saat stasiun itu akan ditutup. "Setiap hari hanya ada dua kereta berhenti di Stasiun Kami-Shirataki dengan jadwal keberangkatan unik, tergantung seorang gadis yang berangkat dan kembali dari sekolah," kata CCTV News dalam laman Facebooknya.

Tadi pagi saat morning briefing, ada teman kantorku yang kadangkala omongannya ada benarnya juga yang memutar video tentang berita di atas. Aku pernah dengar berita itu yang dulu memang sempat jadi viral dan diberitakan di berbagai media.

Kalau dari sisi pembukuan, atau accounting, atau budgeting, atau apa pun itu yang berbau profit oriented, perusahaan kereta itu jelas gak mendapat banyak untung dengan keputusan mereka untuk menunda penutupan stasiun. Terlebih lagi stasiun itu terletak di kota terpencil yang hanya dihuni oleh 36 orang warga yang jumlahnya gak kalah minimalisnya dari jumlah siswa di kelasku dulu waktu zaman sekolah. Hmm..

Ada yang bilang bahwa Jepang menganggap anak-anak muda sebagai 'Investasi Jangka Panjang' bagi kelangsungan negara itu selanjutnya. Ada yang bilang kalau fasilitas di Jepang memenuhi semua kebutuhan warga, maka tidak ada warga yang tertinggal.

Mengutip kesimpulan temanku habis morning briefing tadi pagi, kisah Stasiun Kami-Shirataki sedikit banyak mengingatkan kita bahwa semua hal itu gak boleh cuma dilihat dari segi keuntungannya aja. 'Segala hal harus dilakukan atas dasar profit, semuanya ada perhitungannya.' Hei, mekanisme kehidupan itu gak begitu. Capek lho hidup tapi mikirnya cuma keuntungan untuk diri sendiri aja.

Banyak hal yang dilakukan atas dasar simpati dan empati, banyak hal yang dilakukan atas dasar kemanusiaan. Karena bukan hanya aku atau kamu seorang yang berjalan di jalan kehidupan, tetapi kita dan orang lain pun melakukan hal sama. Kalau lilin dibakar lalu memberikan apinya kepada lilin yang lain, apa api pada lilin pertama lantas padam? 


Aku tidak tahu persis apa motif sesungguhnya dari penundaan penutupan Stasiun Kami-Shirataki. Tapi rasanya tidak perlulah alasan yang logis untuk berbagi dan menolong orang lain. Untuk apa perlu alasan untuk berbuat baik? 

“What is the point of being alive if you don't at least try to do something remarkable?” - John GreenAn Abundance of Katherines

Di dunia kerja pun begitu, kerja gak cuma buat dapat duit aja, dapat gaji aja, dapat bonus aja. Tapi, kerja juga merupakan proses pembelajaran bagi diri sendiri dan teman-teman yang lain. Karena rasanya menjemukan sekali kalau kerja setiap hari tapi yang ditunggu cuma tanggal 25 aja setiap bulan. Hmm..

Di post terbarunya Kokoh Amrazing pun disinggung topik tentang berbagi dan berempati yang rasanya sedikit banyak menyerepet ke kisah stasiun Kami-Shirataki. "Katanya sih, cukup satu tindakan untuk membuat orang mengingat kita. Masalahnya, bagaimana kita ingin diingat? Bertindak seenaknya dan jahat, atau berempati ke sesama? Gue yakin sih, berbagi rezeki nggak akan membuat kita semua kekurangan. Kalau lo pelit dan medit, hidup juga akan pelit, dan medit. Sebaliknya, semakin ikhlas berbagi, semakin dimudahkan dalam rezeki. Itu yang gue percaya." Itu kata si Kokoh yang langsung ku respon dengan anggukan tanda setuju begitu post nya selesai ku baca.

Banyak orang-orang dari pedalaman Hokkaido merantau ke kota untuk mencari kehidupan baru. Tapi, sepertinya dengan adanya kisah stasiun Kami-Shirataki, ke mana pun orang-orang itu pergi, mereka tetap akan ingat pada kampung halamannya. 

"At the end of life, what really matters is not what we bought, but what we built; not what we got, but what we shared; not our competence, but our character; and not our success, but our significance. Live a life that matters. Live a life of love."

Sumber: Tempo.co dan morning briefing temanku yang kadangkala omongannya ada benarnya juga.

P.S. : Sebenarnya tadinya aku bukan mau tulis topik tentang ini, tapi sepertinya semesta berkonspirasi sampai akhirnya tanganku mengetik post ini juga. Hmm..

Comments

  1. Harusnya temen kantor ku yg jarang bgt omongannya bener 😂

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts