Pencuri, Televisi, Tiang

Cuaca sore kota Manhattan terlihat tidak bersahabat. Akhir-akhir ini hujan memang sering sekali mengguyur membasahi tanah. Sore ini pun sepertinya akan sama. Walau begitu, masih banyak terlihat orang-orang yang berlalu lalang di jalanan. Sebagian besar dari mereka mengenakan jaket tebal dan penutup telinga, sehingga tubuh mereka terlihat menggembung, seperti manusia salju yang sedang berkeliling kota.

Ku betulkan letak topi rajutku dan ku rapatkan jaketku, tidak tebal, tapi tak perlulah aku jaket tebal. Hampir setiap malam aku tidur tanpa alas, hawa dingin sudah seperti temanku sendiri.

"Berita terbaru!! Komplotan pencuri legendaris terbongkar kedoknya!!" Seorang penjaja koran berteriak-teriak sambil mengacung-ngacungkan koran yang dijualnya.
Beberapa pejalan kaki tampak berhenti sebentar dan membeli koran tersebut karena penasaran dengan judul 'Komplotan Pencuri Legendaris Sudah Tamat!!' yang terpasang dengan huruf besar-besar pada halaman pertama. Aku mendengus.

"Ku dengar, komplotan pencuri itu mempekerjakan gadis-gadis muda untuk disuruh mencuri."

"Baguslah mereka tertangkap! Kita bisa hidup lebih tenang."

Berita itu semakin banyak diperbincangkan oleh orang-orang yang berlalu lalang. Dan saat ini, televisi besar di persimpangan jalan yang biasanya hanya menyiarkan serentetan iklan yang tak berguna pun menyiarkan berita tentang para pencuri yang disebut-sebut legendaris itu. Aku semakin merapatkan jaketku.

"Komplotan pencuri beranggotakan 500 orang yang diduga bertanggung jawab atas 50% kasus pencurian di Amerika Serikat berhasil ditangkap."

Orang-orang semakin banyak bergerombol di persimpangan jalan. Mereka menghentikan aktivitas mereka untuk melihat berita dan mengutuk para pencuri.

"Mereka bukan Robin Hood! Sudah sepantasnya ditangkap."

"Mereka memang manusia-manusia terkutuk."

"Katanya anggota mereka sebagian besar berhubungan darah."

"Sejumlah perhiasan, emas, dan uang ratusan ribu Dollar disita oleh pihak berwajib yang tengah mencoba melacak pemilik barang curian ini."

"Bagaimana bisa mereka hidup tenang setelah mencuri sebanyak itu?" 

"Huh, pergi saja ke neraka bersama dengan anak cucu kalian!"

Kurasa berita ini akan terus bertahan hingga seminggu ke depan. Huh. Dasar orang tak tahu apa-apa. Ku masukkan tangan ke saku jaket, lalu menyelinap pergi dari kerumunan orang yang semakin memadati persimpangan jalan. Lalu, tak lama kemudian, terjadi kehebohan.

"Pencuri!! Dompetku hilang!! Ada pencuri!! Tolong!!" Seorang wanita berteriak-teriak histeris. Kerumunan itu semakin ricuh karena beberapa orang berusaha meninggalkan tempat itu. Beberapa orang berlari dan beberapa orang lainnya mengejar mereka yang berlari karena mereka pikir orang-orang yang berlari itulah yang mencuri dompet si wanita. Dasar orang-orang tak punya otak.

Aku berjalan menepi seraya menyalakan rokok, lalu membuang bungkus rokok ke tempat sampah. Terdengar sedikit bunyi benda terjatuh, tapi tertutup oleh suara ricuh dari kerumunan orang yang masih berusaha mengejar si pencuri dompet.

"Hei, bocah! Aku sudah daritadi menunggumu."

Seorang lelaki tinggi dan kurus berjalan menghampiriku. Perawakannya terlihat seperti tiang listrik dengan sweater rajut bolong-bolong yang tampak kekecilan.

"Itu kau kan?"

Aku menyesap rokokku dan menghembuskan asap kelabu dari hidungku. "Apa?" kataku acuh tak acuh.

Si Tiang Listrik memukul pelan kepalaku.

"Kau yang membuat keributan itu kan? Kau pikir aku tidak tahu kalau kau membuang dompet yang kau ambil bersamaan dengan kau membuang bungkus rokok?" katanya lagi sambil berbisik.

Aku kembali menyesap rokokku. "Mereka mengutuk kita, maka ku beri mereka pelajaran."

Si Tiang Listrik ikut menyalakan rokok dan menyesapnya, lalu mengepulkan asap dari mulutnya.

"Huh. Tapi, memang setidaknya para tua bangka itu ditangkap setelah bisa pergi keliling dunia, tidak seperti kita yang terabaikan," kata Si Tiang Listrik kemudian.

Kau menyesap kembali rokokku. Huh, tua bangka yang dimaksud Si Tiang Listrik pastilah si bos perampok yang memiliki sekian ratus anak buah tapi hanya dia yang hidup enak, sementara kami hidup luntang-lantung sendirian.

Aku menerawang sejenak, mengenang masa-masa ketika aku dan beberapa anak jalanan lain ditemukan oleh Si Tua Bangka beberapa tahun yang lalu. Si Tua Bangka bilang bahwa dia akan mengajari kami sulap hebat. Mungkin maksudnya adalah sulap menghilangkan barang orang lain tanpa ketahuan. Sulap itu menjadi satu-satunya keahlianku saat ini supaya aku bisa hidup sedikit lebih layak daripada sekadar menjadi anak jalanan.

"Sekitar 200 Dollar, cukup untuk minum-minum dan membeli sweater baru untukmu" kataku lagi tanpa menoleh. 

Si Tiang Listrik terkekeh lalu mengacak rambutku. Kami pun berjalan menjauh dari kerumunan. Seolah tidak terjadi apa-apa.
.
.
.
.
Aku mendapat ide untuk membuat cerpen ini setelah aku membaca berita di Detik siang ini. Berita tentang "Komplotan Pencuri Beranggotakan 500 Orang Dibongkar di Jerman"

Comments

Popular Posts