Looking for Alaska - Mencari Kemungkinan Besar Dalam Labirin Kehidupan

Sepenggal review untuk buku Looking for Alaska karya John Green:
"Cewek-cewek akan menitikan air mata dan cowok-cowok akan menemukan cinta, gairah, kehilangan, dan kerinduan." - Kirkus Starred Review.
Hasil gambar untuk looking for alaska
luckty.wordpress.com

Dan aku merasakan kedua-duanya. Sulit untuk tidak menitikan air mata  dan sulit juga untuk tidak menemukan cinta, gairah, kehilangan dan kerinduan dalam 2 kali 163 hari dalam sudut pandang Miles "Pudge" Halter.

Miles yang berasal dari Florida, seorang yang senang membaca buku biografi dan hafal kalimat-kalimat terakhir orang terkenal, memutuskan untuk pindah sekolah ke sekolah asrama Culver Creek. Seperti kata-kata terakhir yang diucapkan oleh seorang penyair terkenal, François Rabelais, "aku pergi untuk mencari kemungkinan besar." Dan untuk itulah Miles pergi meninggalkan sekolah lama yang tidak pernah disukainya. Untuk mencari Kemungkinan Besar.

Di Culver Creek, Miles diberi julukan Pudge oleh teman-teman barunya, Chip "Kolonel" Martin, Takumi, dan Alaska. Mereka bersama-sama membuat kenakalan, membuat onar dan melakukan kejailan-kejailan yang tak terbayangkan. Sebut saja merokok dan menyembunyikan berbotol-botol alkohol di dekat sungai, mengganti gel rambut para Weekday Warrior dengan semir sepatu, mengirimkan rapor palsu pada 23 orang tua murid, dan kejailan terakhir mereka, menampilkan penari telanjang dalam acara sekolah. Otak dibalik kejeniusan kejailan mereka adalah Alaska.


Awalnya, ku pikir ini adalah cerita tentang remaja dan segala jenis kenakalannya. Mungkin di bagian akhir cerita, entah bagaimana para anak nakal itu akan tobat dan berhenti melakukan kenakalan. Tapi, ternyata aku salah besar. Ceritanya tidak sesederhana itu. Banyak kejadian-kejadian tak terduga yang memang sesuai degan review dari Kirkus. Kejadian-kejadian yang membuatku menyadari bahwa cinta dan gairah bukanlah hak untuk memonopoli wanita; bahwa kita bisa merasakan amat sangat kehilangan seseorang, walau orang tersebut baru kira kenal selama 163 hari, walau orang tersebut memiliki sifat impulsif yang menyebalkan; lalu semua kehilangan berubah menjadi kerinduan yang mendalam diawali dengan rasa penyesalan dan diakhiri dengan cara memaafkan yang memang sulit untuk dideskripsikan dengan kata-kata.

Gadis itu, Alaska Young, gadis pembuat onar, seorang impulsif yang menyebalkan, tukang merokok dan tukang minum, penyuka seks, namun pintar, menawan, dan memikat . Ketidak sempurnaan yang sempurna. Gadis yang memilih namanya sendiri, Alaska karena ia menyukai kota Alaska yang letaknya jauh dari Alabama. Gadis yang tidak bisa diam namun menyimpan rasa takut, kecewa, dan penyesalan yang mendalam akan masa lalunya. Gadis yang bertanya-tanya "bagaimana cara agar kita keluar dari labirin penderitaan?"

"Kau menghabiskan seumur hidupmu terperangkap dalam labirin, berpikir tentang bagaimana suatu hari nanti kau akan keluar dari sana, dan betapa hebatnya saat itu terjadi. Membayangkan masa depan membuatmu bertahan hidup, tapi kau tak pernah melakukannya. Kau hanya menggunakan masa depan untuk kabur dari masa sekarang." - Alaska
Alaska mengingatkanku pada Margo Roth, tokoh pada novel John Green yang lain, Paper Town. Sama-sama pembuat onar, namun juga sama-sama ingin bebas -walau dalam konteks yang berbeda-, sama-sama mencari sesuatu. Mencari sesuatu yang lebih luas dari pada pertanyaan hidup dan mati.
"Kita semua akan pergi, kata McKinley pada istrinya, dan itu tak dapat dipungkiri. Itulah labirin penderitaan kita. Kita semua akan pergi. Cari sendiri jalan keluarmu dari labirin itu."
Tapi, tetap saja, tidak mudah untuk menyatukan pikiran-pikiran yang semerawut akibat ditinggal oleh orang yang kita cintai. Terutama saat penyesalan muncul dan enggan pergi.
"Apakah aku mendorongmu menemui takdir yang tidak kau inginkan, Alaska, atau aku hanya membantu dalam tindakan penghancuran diri yang disengaja?"
Dua kemungkinan yang dipikirkan Pudge dan dua-duanya merupakan kemungkinan yang membuat hatiku nyesek. Dan seperti ku bilang, sangat sulit untuk tidak menitikan air mata.
"Ketika orang dewasa berkata, "Para remaja mengira mereka tak terkalahkan," sambil menyunggingkan senyum bodoh dan licik, mereka tidak tahu betapa benarnya mereka. Kita tidak pernah harus putus asa, sebab kita takkan pernah rusak tanpa dapat diperbaiki."

Comments

Popular Posts