Filosofi Kopi
Kalau
mau berbicara mengenai perumpamaan tentang kehidupan, aku bisa mengatakan bahwa
hidup itu ibarat kopi. Well, tentunya yang menyebut bahwa hidup itu ibarat kopi
bukan hanya diriku seorang.
Biar
ku jelaskan pemikiranku mengenai sebuah filosofi kopi, yang tiba-tiba saja
terlintas sesaat setelah aku meneguk tetes terakhir kopiku di kantor.
Kopi
itu pahit. Ya, kalau gak ditambah apa-apa. Terlepas dari jenis kopinya, karena
beda jenis kopi beda pula jenis kepahitannya. Secara harafiah kopi itu pahit.
Tapi, pada kenyataannya, banyak juga orang-orang yang senang meminum kopi
pahit. Kopi itu ibarat kehidupan dan kita adalah para penikmat kehidupan itu.
Orang-orang
yang menyukai kopi pahit adalah orang-orang yang sudah mengerti tentang
kehidupan. Ya, kalau nasib gak memberikan jalan yang mulus, kehidupan itu
seringkali terasa pahit. Kita bisa saja menikmati kepahitan hidup selayaknya
kita menikmati rasa pahit dalam kopi. Tapi, kopi yang pahit biasanya memiliki
aroma yang membuai. Kehidupan yang pahit juga memiliki aromanya sendiri.
Ada
juga orang-orang yang tidak menyukai kopi pahit. Jadi, biasanya mereka
menambahkan gula, susu, creamer, atau semacamnya untuk membuat kopi mereka
terasa lebih manis. Kita juga bisa menambahkan hal-hal seperti gula, susu, dan
creamer untuk membuat hidup kita menjadi lebih manis.
"Membuat hidup lebih manis gak segampang menuangkan susu ke dalam kopi, tauk!!"
"Kata siapa begitu? Itu cuma spekulasi kalian-kalian aja keleus."
Yah,
tadinya aku mau jawab begitu. Tapi, nyatanya dulu juga aku berspekulasi. Perlu
diketahui bahwa dulu, DULU, aku adalah seorang yang gampang
tersulut emosinya, bahkan aku terkenal sebagai anak judes di kalangan
tetangga.
Gampang tersinggung kalau diejek sedikit, dikit-dikit ngambek, dikit-dikit cemberut, atau mungkin bisa disebut 'senggol bacok'.
Gampang tersinggung kalau diejek sedikit, dikit-dikit ngambek, dikit-dikit cemberut, atau mungkin bisa disebut 'senggol bacok'.
Tapi,
hei!!
"Mau sampai kapan aku mudah tersulut emosinya?"
"Mau sampai kapan aku menyandang gelar 'anak judes'?"
Suatu
hari pertanyaan-pertanyaan semacam itu datang memenuhi otakku. Ditambah lagi,
sepertinya capek juga kalau aku terus menerus menekuk muka. Soalnya, kalau
sudah ngambek, mukaku udah bukan macam kertas ditekuk-tekuk lagi, tapi macam
kertas diremes-remes trus diinjek-injek. Kening mengernyit sampai terbentuk
berlapis-lapis kerutan. Duh, pegel ya muka lama-lama.
Sejak
saat itu (entah sejak kapan sebenarnya, karena saya lupa), aku mulai mengganti
kerutan dikening dengan senyuman lebar. Orang yang termasuk pelit senyum
sepertiku, pelan-pelan mulai sering tersenyum, sering tertawa, sering cengengesan. Sampai akhirnya image 'anak judes' berganti menjadi 'anak gila'. :')
Diriku yang dulu itu membuat diriku yang sekarang bisa berkata bahwa membuat
hidup lebih manis sama mudahnya dengan menuangkan susu ke dalam kopi. Coba saja
lihat berkeliling, ada banyak sekali hal-hal manis di sekitar kita. Gak usah
susah-susah, hal-hal kecil juga bisa membuat kita mengembangkan senyum.
Kalau
aku, aku cukup dengan menengadahkan kepala untuk menyapa langit. Langit selalu
bisa memaniskan hariku apa pun cuacanya.Atau, senyumku akan otomatis mengembang
saat melihat anak-anak kecil berlarian sambil tertawa girang.
See,
it's as simple as pouring a cup of milk to the coffee. And it is free.. :p
Comments
Post a Comment