Pengamen

Tempo hari, makan siang di rumah makan padang menjadi pilihanku dan teman-temanku. Siang itu tidak terlalu ramai. Kami memilih tempat duduk yang letaknya agak jauh dari pintu masuk. Kami makan sambil berbincang-bincang seru. Di sela-sela perbincangan, terdengar lantunan, nyanyian. Suara wanita.
"Siapa sih yang nyanyi?" tanya salah satu temanku.
Dari jauh, terlihat seorang ibu dengan anak kecil. Pengamen. Dari sanalah suara nyanyian itu berasal. Pengamen itu bernyanyi persis di depan pintu masuk, namun suaranya terdengar hingga tempat duduk kami.
"Enak lho suaranya. Kenapa gak masuk Idol aja, sih?" komentar temanku yang lain.
Suaranya enak. Memang. Bercengkok2. Mengingatkanku akan suara penyanyi keroncong tempo dulu. Penyanyi tahun 80an atau 90an barangkali.
Tapi, terbesit dalam pikiranku, "hidup seperti apa yg sebenarnya dipikirkan oleh ibu itu?"
Menjadi pengamen tentu bukan pilihan. Tentu bukan cita-cita. Manalah ada orang yang bilang, "kalau sudah besar, aku mau jadi pengamen."
Pastilah hidup yang membuat si ibu dan si anak melakukan "profesi" itu. Mungkin saja keterbatasan dalam berbagai aspek yang membuat si ibu melakukan "profesi" itu.


Bernyanyi sekencang mungkin. Melantunkan lagu dengan ukulele. Setiap hari. Di tempat yang sama setiap hari.


Hidup hari ini atau besok sama saja.

Tapi, apakah benar bahwa hidup dan keterbatasan dalam berbagai aspek yang membuat kita melakukan hal yang sebenarnya tidak benar-benar kita inginkan?

Apakah benar bahwa menjadi apa kita nanti bukanlah pilihan jika hidup sudah berkata?
Charlie dalam Finding Dory berkata, "When something is too hard there is always another way."
Lalu, kusadari bahwa hidup itu bukan pilihan. Tapi, bagaimana cara kita dalam menjalani hidup adalah pilihan.
Hidup dalam keterbatasan bukanlah pilihan. Tapi, bisa memilih bagaimana cara kita hidup dalam keterbatasan.
Sekian.

Comments

Post a Comment

Popular Posts