Selasa Bersama Morrie - Mitch Albom [BOOK REVIEW]
Meski buku ini ditulis
lebih dari 20 tahun lalu, tapi kalimat Morrie itu masih terasa relevan
di zaman sekarang yang apa-apa serba cepat. Malah apa yang ia katakan
itu makin terasa penting karena selama ini kita terlalu sibuk hidup
dalam distraksi. Kita tidak tahu lagi apa yang sebenarnya penting bagi
kita karena kita sibuk mengikuti berita dari orang-orang yang tidak kita
kenal kita sibuk membaca komentar-komentar orang di media sosial, atau
bahkan sibuk meributkan hal-hal yang sebenarnya gak perlu diributkan.
Sibuk ngeributin umur 25 sudah dapat apa misalnya, sibuk ngeributin
urusan personal orang mau punya anak atau gak, atau ngeributin kalau
jalan-jalan kudu foto atau gak. You know netizen zaman sekarang kayak
kekurangan beban hidup maka semuanya diributin ππ»♀️ππ»♀️
Ada satu kejadian di masa lalu saat Morrie masih menjadi dosen dan suatu kali saat masuk ke dalam kelas ia sengaja hanya duduk dan tidak berkata apa-apa. Keheningan itu terasa lama sampai membuat sebagian mahasiswa kesal dan bergerak-gerak gelisah. Setelah lima belas menit berlalu Morrie akhirnya buka suara dan bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Mengapa kita merasa tertekan oleh keheningan? Kenyamanan macam apa yang kita cari dalam bermacam-macam kebisingan?" - Morrie Schwartz
Bagian ini membuatku terdiam cukup lama karena makin ke sini keheningan seolah menjadi sebuah kemewahan yang tidak diinginkan. Budaya yang semakin cepat membentuk orang-orang dengan sumbu kesabaran yang minim. Berapa lama orang bisa sabar menunggu lift tanpa terus-terusan melihat jam? Berapa lama kita bisa sabar menunggu video youtube yang buffering sebelum akhirnya mencoba menggonta-ganti jaringan internet? Lima belas menit keheningan yang diberikan Morrie pada mahasiswanya jelas akan terasa seperti berjam-jam bagi kita yang sudah terbiasa dengan apa-apa yang serba cepat. Pertanyaan retorik yang Morrie ajukan kepada mahasiswanya pun membuatku tercenung, "Iya, ya. Apa sebenarnya yang membuat kebisingan terasa nyaman dan keheningan terasa menyesakkan walau hanya sebentar?" Untuk orang dengan pikiran yang seringkali susah dibuat diam dan tinggal di ibu kota dengan kebisingan tiada henti, keheningan jelas menjadi kemewahan yang sulit sekali kucari. Tapi ketika keheningan itu datang, biasanya aku hanya singgah sebentar sebelum akhirnya kembali bergelung dalam distraksi. Hmm
Dalam sisa hidupnya yang sudah tidak lama lagi, Morrie masih bersedia menggunakan waktunya untuk berbincang-bincang dengan orang lain dan mendenarkan masalah hidup mereka karena itulah caranya memaknai hidup. Ia ingin berbagi "kekayaan" yang ia miliki kepada orang-orang yang ia kasihi dan juga kepada dunia lewat buku ini dan juga lewat Ted Koppel yang melakukan wawancara tentang dirinya untuk program TV Nightline.
"Menurutmu, apa pentingnya bagiku mendengarkan masalah-masalah orang lain? Belum cukupkah sakit dan penderitaan yang harus kujalani sendiri? Betul sekali. Tapi perbuatan memberilah yang membuatku merasa hidup. Bukan mobil atau rumahku. Bukan pula semua yang kulihat melalui cermin. Ketika aku memberikan waktuku, ketika aku dapat membuat seseorang tersenyum setelah sebelumnya merasa sedih, aku merasa sesehat yang pernah kurasakan." - Morrie Schwartz
Morrie... π₯Ίπ₯Ί
Sejak awal membaca buku ini tuh ada perasaan hangat yang menjalar masuk hingga ke relung hatiku yang paling dalam yang kurasa akan menetap lama di sana. Sosok Morrie ini bukan fiksi walau aku masih sulit percaya bahwa ada sosok yang begitu "kaya" dan begitu tabah seperti Morrie. Morrie paham bahwa ALS bisa merenggut nyawanya kapan saja dan ia berharap bahwa ia tidak akan meninggal dalam kesakitan tapi untuk kondisinya yang kian parah harapannya itu jelas sulit terwujud. Maka dengan waktu dan tenaga yang ia punya, Morrie berusaha untuk menerima dan berpasrah pada takdir. Apa yang akan terjadi ia biarkan terjadi, yang penting ia tetap menjadi Morrie dengan semangat berbagi yang meletup-letup.
"Penyakit ini juga menyerang jiwaku. Tapi ia tidak akan mendapatkannya. Hanya tubuhku yang kena, bukan jiwaku." - Morrie Schwartz
Morrie juga banyak berbicara tentang hal-hal sederhana dalam hidup dan juga tentang kematian.
"Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, berarti kita belajar tentang bagaimana kita harus hidup." - Morrie Schwartz
Dalam buku ini, Mitch Albom juga menunjukkan betapa ia mengagumi dan juga mengasihi Morrie dan menjadikannya seorang guru sepanjang hidupnya. Aku suka sekali dengan cara Mitch Albom mengeluarkan perasaan-perasaannya yang berkecamuk dari awal ia bertemu lagi dengan Morrie, setelah 16 tahun tidak pernah bertemu, hingga akhirnya ia mengucapkan salam perpisahannya di hari Selasa terakhir mereka bertemu. Mitch Albom jelaslah sangat beruntung karena memiliki guru seperti Morrie tapi aku juga merasa aku (dan orang-orang yang membaca buku ini) beruntung karena "dipertemukan" dengan sosok seperti Morrie.
Salah satu pesan yang paling kuingat dari perbincangan Morrie dan Mitch adalah tentang hubungan kita dengan orang lain. Mitch menceritakan bahwa ia ingin sekali menemani adiknya, Peter, yang juga sedang sakit dan perlu menjalani terapi tapi adiknya menjaga jarak dengan Mitch dan juga keluarganya yang lain dan tidak mengizinkan mereka berada didekatnya. Hubungan yang seperti gunung es itu pun akhirnya meleleh bersamaan dengan air mataku yang ikut meleleh ππ Aku pun jadi ingin berusaha lebih keras untuk mempertahankan hubunganku dengan orang-orang yang ku anggap penting.
Buku ini jelas menjadi salah satu buku terbaik yang kubaca sepanjang tahun ini dan kuharap banyak orang bisa membaca buku ini dan "bertemu" dengan Morrie. Untuk Morrie, terima kasih karena telah "hadir" dan memberiku banyak sekali ππ
Comments
Post a Comment