Mimpi yang (Mungkin) Terlupa
Waktu kecil, kalau habis nonton TV pasti kita sering berandai-andai. "Aku mau jadi astronot biar bisa ke bulan", "aku mau belajar sulap biar kayak Deddy Corbuzier" (iya, pas aku bocah sih si Mr. Corbuzier itu masih eksis jadi pesulap belum jadi MC Hitam Putih atau terkenal karena OCD nya), "aku mau jadi balerina", "aku mau jadi Power Ranger", dan lain-lain, dan lain-lain. Semua hal kita sebut, mulai dari yang 'biasa-biasa' aja sampai ke hal yang paling aneh sekalipun. Tapi namanya juga anak-anak, semua hal tuh rasanya sah-sah aja kalau keluar dari mulut anak-anak. Waktu masih kecil juga ada sepupuku yang punya jawaban konsisten setiap kali ditanya 'mau jadi apa?', dia selalu bilang mau jadi ayam, kapan pun dan di mana pun pertanyaan semacam itu menghampirinya. Lain cerita dengan seorang anak jalanan yang sesekali suka mampir ke rumahku. Aku pernah iseng bertanya, "lu punya cita-cita gak? Mau jadi apa kalo udah gede?" lalu sambil mencoret-coret kertas dia bilang, "mau sekolah ama mau gawe (kerja)." Waktu itu aku cukup tertegun, mengingat umurnya hanya sekitar 4-5 tahun kala itu, otak kecilnya mulai memikirkan hal-hal sederhana tapi realistis jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya yang masih sering mencampur adukkan imajinasi dengan realita. Mungkin, dia juga belum tahu pasti pekerjaan seperti apa yang ia inginkan. Mungkin dia hanya tahu kalau bisa sekolah lalu kerja maka dia akan bisa hidup lebih layak dan barangkali bisa naik kasta dari kasta 'anak jalanan'. Tapi lambat laun aku jadi penasaran, apa dia punya mimpi yang benar-benar ingin dia wujudkan? Bukan mimpi yang terpikir karena tuntutan keadaan.
Sejujurnya, sebelum ini aku pun gak tahu pasti maksud dari 'mimpi' tuh apa. Karena aktivitas bermimpi atau istilah kerennya day dreaming tuh termasuk ke dalam rutinitasku sehari-hari. Ahahahaha Tapi jelas, definisi 'mimpi' dari kegiatan rutinku itu berbeda dengan definisi 'mimpi' yang sebenarnya terpatri di lubuk hati yang paling dalam.
Belum lama ini, aku baru saja selesai melahap habis novel Perahu Kertasnya Dee Lestari. Sebuah novel yang sarat akan mimpi dan angan-angan yang meminta untuk digapai walau terbentur oleh realitas. Tokoh utamanya, Kugy dan Keenan, berjuang dengan cara mereka masing-masing untuk mendapatkan apa yang selama ini hati mereka idam-idamkan. 'Benar' dan "salah' seolah tidak berlaku bagi hati mereka. Kugy ingin sekali menjadi Juru Dongeng, sebuah mimpi yang membuat orang-orang sekitarnya spontan tertawa berjamaah karena mereka bilang kalau dongeng itu hanya untuk anak-anak. Kugy bersikeras ingin impiannya terwujud walau ia harus memilih jalan berputar dengan menulis cerita lain yang 'bukan dirinya' sebagai batu loncatan. Lain halnya dengan Keenan yang punya bakat luar biasa pada seni, terutama lukisan. Keenan bersikukuh mengikuti kata hatinya walau ia harus membayar cukup mahal dengan berhenti kuliah dan memulai hidup barunya di Pulau Dewata, jauh dari papanya yang dengan tegas melarangnya untuk mengikuti kata hatinya.
Dari cerita mereka, aku mulai sadar bahwa setiap orang punya mimpi, entah mimpi itu terbawa sejak kecil atau baru muncul setelah dewasa. Mimpi yang kata orang adalah panggilan jiwa dan hanya hati kita yang tahu apa yang sebenarnya benar-benar kita inginkan, namun seringkali bentrok dengan realitas yang ada sehingga mimpi yang kita punya seolah melayang pergi entah ke mana. Tapi, aku rasa mimpi itu (apa pun itu) tetap bersemayam di dalam relung hati paling dalam, menunggu saat yang tepat untuk direalisasikan.
Ada seorang temanku yang bermimpi menjadi seorang guru, tapi background S1 dan S2 nya sama sekali gak nyerepet ke dalam kegiatan mengajar. Tapi, belum lama ini semesta seolah membukakan pintu atas kesempatan yang selama ini dia tunggu. Ada lowongan pekerjaan untuk menjadi guru di salah satu sekolah swasta dan ternyata dia dipertimbangkan oleh pihak sekolah untuk bekerja sesuai dengan mimpinya itu. Sementara itu, aku akan excited sendiri dan entah bakalan heboh bagaimana nanti kalau mimpinya itu benar-benar kesampaian. Lalu semakin sadarlah aku bahwa kata hati itu sangat penting untuk diikuti.
Aku pribadi, belum tahu jelas mimpiku tuh apa. Mungkin kelihatannya agak menyedihkan, ya. Ceritanya, dulu tuh aku pernah mendamba menjadi seorang psikiater. Tapi sepertinya mentalku gak kuat, aku mundur teratur begitu tahu kalau psikiater adalah hasil perkawinan antara psikologi dan dokter. Hmm sejak itu psikiater gak lagi masuk ke dalam kategori 'mimpi'. Kenapa begitu? Karena aku mendefinisikan mimpi sebagai suatu hal yang setiap kali aku lakukan maka aku melakukannya dengan hati, bikin aku gak pernah mengenal kata 'bosan', dan bikin aku gak peduli orang mau ngomong apa. Lalu, kalau psikiater tuh bukan mimpiku, lalu mimpiku apa dong? Ini bodohnya, karena sepertinya aku gak nyadar kalau mimpi itu sudah menemaniku sejak lama. Menulis. Mimpi bersemayam di relung hati paling dalam, menunggu untuk direalisasi. Tapi udah sampai begitu aku masih perlu meyakinkan diri lagi, aku belum sampai benar-benar yakin untuk menggantungkan seluruh hidupku pada mimpi yang setia menungguku itu. Aku gak seperti Dee Lestari yang sudah mulai menulis sejak SD, kecuali menulis diary bisa masuk dalam kategori 'menulis'. Yang jelas, aku mulai merasa senang saat tanganku menari dengan pensil di atas kertas tuh sekitar kelas 1 SMA. Aku mulai menulis cerpen dan puisi, lalu sempat juga ikutan jadi script writer waktu English Night (acara tahunan di SMA) yang bikin aku senang bukan main walau porsiku hanya secuil. Waktu masuk kuliah pun aku sempat menawarkan diri menjadi editor untuk penerbitan majalah kampus yang ternyata terbitnya gak konsisten. Kenapa gak sekalian jadi penulisnya aja? Moon maap, dulu tuh kepercayaan diriku minus, semua tulisanku selalu berakhir menjadi konsumsi pribadi karena aku terlalu takut untuk mempublikasikan ke orang-orang, aku lebih suka main aman daripada tulisanku dikritik orang, maka ya aku berkubang di situ-situ aja kan jadinya. Hmm Baru sekarang-sekarang aja aku sedikit mempromosikan blogku ke orang-orang. Dan makin ke sini, makin banyak topik tentang 'mimpi' yang bermunculan, makin banyak hal yang bisa ku tulis. Sama seperti fotografi, menurutku menulis juga salah satu caraku untuk memunculkan imajinasi dan berekspresi, hanya medianya aja berbeda. Aku punya goal untuk pensiun dari kerja kantoran tuh umur 30-35 tahun, nah mungkin saat itu adalah saat yang tepat untuk lebih menunjukkan keseriusanku pada mimpi yang terlalu setia ini, yang pastinya gak akan sanggup ku campakan.
Comments
Post a Comment