Tentang Rasa Cukup yang (sebenarnya) Belum Cukup
Selama 2-3 tahun terakhir, aku seringkali berkata pada diriku, "hidupku ini sudah lebih dari cukup", "aku sudah merasa cukup sampai di titik kalau aku meninggal besok, aku tidak akan menyesal". Serangkaian kejadian yang ku alami dan hasrat besar untuk menyerah pada hidup yang ku alami saat aku menginjak pertengahan 20an, membuatku tiba pada kesimpulan tentang rasa cukup itu. Tapi, akhir-akhir ini aku kembali mempertanyakan definisi rasa cukup yang ku yakini itu. Rasa cukup seperti apa yang ku maksud? Dan apakah aku seyakin itu bahwa aku sama sekali tidak akan punya penyesalan jika aku meninggal besok? Untuk pertanyaan kedua, aku tahu bahwa hatiku yang paling dalam berkata "tidak" dengan lirih. Tidak. Aku tidak seyakin itu. Alih-alih tidak menyesal, yang ku yakini akan ku rasakan jika meninggal besok adalah rasa pasrah yang diikuti dengan helaan napas panjang karena aku tahu kalau aku belum menjalani hidup seperti yang ku inginkan. Memangnya hidup seperti apa yang aku inginkan? Pertanyaan ini muncul secara berkala dalam benakku. Yang membuatku seringkali cemas dan insecure sendiri.
***
Sekitar bulan Oktober akhir tahun lalu, aku mendengarkan podcast Thirty Days of Lunch yang narasumbernya adalah Ibu Herryanti Herman, yang sering ku panggil Ci Titi (karena beliau inginnya dipanggil dengan sebutan "cici" bukan "ibu" 😌😌), yang adalah salah seorang direktur di Metrodata. Di podcast itu, Ci Titi bercerita tentang karirnya yang di mulai dari level customer service sampai akhirnya menjadi direktur dalam kurun waktu 21 tahun! Sebuah hal yang membuatku ternganga-nganga. Karena sejujurnya, aku adalah seorang kutu loncat yang tidak pernah membayangkan akan berkarir di satu perusahaan saja sampai lebih dari 20 tahun (boro-boro 20 tahun, 1-2 tahun kerja pun biasanya aku sudah sebar CV 😂😂).
Tapi, dari podcast yang ku dengarkan dengan khusyuk itu, aku mendapat banyak sekali hal untuk direnungi. Salah satunya adalah ketika Ci Titi berkata bahwa hidup yang hanya satu kali ini terlalu sayang jika kita tidak mengeluarkan potensi terbaik kita, maka setidaknya kita harus raise our limit dan jangan terlalu nyaman menjadi mediocre (aku lupa sih kalimat persisnya gimana, tapi intinya begitu). Kata-kata "mediocre" dan "raise your limit" itu masih menari-nari dalam benakku sampai sekarang.
Definisi rasa cukup yang selama ini ku kantongi membuatku merasa punya alasan untuk menjadi mediocre. "Gak apa-apa menjadi orang biasa yang gini-gini aja, toh banyak orang yang terlalu ambisius tapi pas sampai di puncak malah tidak bisa merasa cukup". Aku merasa berada di atas angin karena aku sudah merasa cukup tanpa perlu berlari kencang sampai ke puncak. Tapi nyatanya, sama saja aku merasa cemas dan insecure. Bedanya, orang-orang yang ambisius itu merasa cemas dan insecure di antara semua achievement yang sudah mereka punya. Sementara aku tidak punya achievement apa-apa.
***
Akhir tahun lalu, salah satu teman kantorku merekomendasikan buku Sabotage yang ditulis oleh Emma Gannon. Buku itu tidak sampai 100 halaman, tapi rasanya cukup banyak membantu untuk mengurai akar dari rasa cemas dan insecure yang sering ku rasakan. Sabotage adalah buku yang membantuku mengenal diriku lebih dalam dan berhadapan dengan hal-hal yang selama ini menakutkan bagiku sampai tanpa sadar aku menyabotase diriku sendiri. Hal inilah yang membuatku terus-terusan takut untuk melangkah dan mengeluarkan semua potensi yang aku punya.
Setiap kali aku melakukan sesuatu, aku selalu yakin kalau aku bisa menguasai hal tersebut. Misalnya saja saat belajar Bahasa Korea atau belajar main kalimba. Tapi, entah kenapa ada rasa takut yang membuatku enggan melanjutkan. Dan sekitar tahun 2022, sebelum aku membaca Sabotage, aku sempat melakukan saboteur assessment dan hasil yang paling tinggi adalah Avoider, Stickler, Restless, dan Pleaser. Aku suka menghindar dari konflik dan tanggung jawab, aku orang yang perfeksionis, aku orang yang selalu ingin melakukan sesuatu dan mudah bosan, juga adalah seorang people pleaser. Sebuah kombinasi yang aneh bukan? Skorku yang paling rendah adalah Hyper-Achiever. Aku perfeksionis, suka melakukan ini itu, tapi minim ambisi 😂😂
Tapi setelah aku membaca Sabotage, mendengarkan podcast, berdiskusi dengan beberapa orang, juga berkontemplasi dengan diriku sendiri, aku mulai menyadari hal yang selama ini membuatku takut. Sama seperti orang-orang perfeksionis lainnya, aku sangat takut jika hal yang ku lakukan hasilnya tidak sempurna. Padahal, jika aku melihat orang lain melakukan sesuatu yang hasilnya tidak sempurna, aku bisa dengan mudah memaklumi hal itu. Lantas kenapa aku tidak bisa berlaku sama pada diriku sendiri?
Aku tidak mau terus menerus jalan di tempat, tapi aku sangat takut untuk mengambil tanggung jawab lebih. Aku bahkan pernah cerita pada koko sepupuku kalau aku tidak mau menjadi seorang manajer seperti dirinya. Tentu saja kernyitan langsung terlihat jelas di kening kokoku itu. Di saat orang lain berlari untuk meniti tangga karir, aku malah menolak untuk naik. Padahal aku pun tidak ingin terus menerus ada di bawah sampai aku pensiun bekerja nanti.
"... a little bit of fear keeps us on our toes, it means we are moving forward, and not staying stagnant." - Emma Gannon, Sabotage
Beberapa waktu lalu, saat ada sesi sharing one on one dengan kepala divisiku yang baru, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa aku ingin diberi tanggung jawab lebih dan berkata bahwa aku berharap bisa menjadi karyawan yang layak untuk mendapat promosi tahun depan karena hal itu.
***
"As comedian Russell Brand said: ‘Don’t see self- sabotage as a negative thing. See it as an inner voice waiting to be heard. There is wisdom in this information.’ There is wisdom to be found in just about anything." - Emma Gannon, Sabotage
Mulai sekarang, aku ingin mengenyahkan rasa cemas dan insecureku yang terus menerus muncul dengan melakukan sesuatu, bukan hanya dengan berpikir dan akhirnya malah pusing sendiri. Aku sudah cukup untuk merasa cukup, maka mari belajar untuk hidup dengan lebih ambisius agar aku bisa menjalani hidup seperti yang benar-benar aku inginkan (tulisan panjang ini ibarat penanda sekaligus pengingatku untuk tidak lagi-lagi menyabotase diriku dengan rasa takut dan akhirnya jalan di tempat).
"Using a negative feeling for our own good is a way to reclaim our own power."- Emma Gannon, Sabotage
Comments
Post a Comment