So 2022 Comes to an End
Hari ini adalah lembar terakhir di tahun 2022 dan sejujurnya aku tidak terlalu antusias untuk menyambut tahun baru besok, biasa saja rasanya seperti berganti hari, berganti minggu, berganti bulan. Mungkin karena aku sudah semakin tua ya jadi tidak terlalu wow lagi dalam memandang beberapa hal atau karena aku menghabiskan akhir tahun ini sendirian di kamar kos (iya, karena satu dan lain hal aku memutuskan untuk tidak pulang). Tapi, aku tetap merasa harus menuliskan kesan-kesanku selama 365 hari belakangan.
Tahun ini aku melakukan banyak hal untuk pertama kalinya setelah pandemi. Pertama kali ikut event-event perbukuan setelah pandemi dan pertama kali traveling naik kereta setelah pandemi. Dan semua kegiatan itu sungguh membuatku merasakan euforia yang berbeda. Kalau dulu rasanya aku excited sekali, kali ini aku merasa "penuh". Mungkin pandemi ini membuatku berjalan lebih pelan sehingga aku jadi bisa lebih memerhatikan banyak hal. Event-event perbukuan yang ku datangi selalu memberiku insight baru dan tentu saja teman-teman baru. Perjalananku ke Jogja beberapa waktu lalu pun membuatku merasa bahwa keramahan dan kebaikan hati itu murah tapi terasa sangat mewah.
Tahun ini aku juga lebih memahami bagaimana rasanya menjadi seorang ibu tanpa benar-benar menjadi seorang ibu. Cerita dari beberapa teman yang sedang mengandung ataupun baru menjadi seorang ibu membuatku semakin mengilhami bahwa menjadi ibu adalah tugas yang sangat sangat mulia sekali. Percakapanku dengan mamaku yang selama ini selalu ku telan dari sudut pandang seorang anak kini tak lagi terasa sama. Aku mulai mencoba untuk membayangkan apa yang ia rasakan saat ia berkata ini, aku mencoba membayangkan ketakutannya saat ia melakukan itu. Dan tentu saja aku tetap tidak bisa memahami mamaku 100% tapi percakapan-percakapan yang rutin kami lakukan saat aku pulang adalah momen yang sangat membantuku memahami dirinya.
Beberapa tahun lalu aku pernah mengeluh pada psikologku bahwa mamaku makin lama makin bersikap seperti anak kecil. Saat itu ia berkata bahwa usia mamaku memang usia-usia di mana orang tua sudah mulai berlaku seperti anak kecil. Jawabannya itu sempat membuatku cemas karena aku jadi bingung bagaimana harus menangani mamaku kelak. Tapi ternyata kecemasanku tidak terbukti karena mamaku ternyata tidak berubah menjadi anak kecil yang sering rewel dan suka tantrum melainkan menjadi semakin dewasa karena ia punya kemauan untuk mendengarkan dan aku sangat berterima kasih karenanya. Kami memang tidak selalu seiya sekata dalam banyak hal, tapi aku selalu mencoba menjelaskan apa maksudku dengan perlahan (dan kadang kala perlu diulang-ulang) dan mencoba untuk memahami kalau kami lahir di zaman yang berbeda. Apa yang saat ini dianggap wajar bisa jadi dianggap aneh ataupun riskan di zaman mamaku. Dan lagi aku pun tidak pernah bosan berkata pada diriku dan juga mamaku bahwa tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Orang tua sekarang mungkin punya lebih banyak bekal dengan kemajuan teknologi dan juga ada banyak buku yang membahas soal parenting tapi di zaman mamaku tentu tidak ada hal semacam itu. Maka mamaku perlu belajar sendiri dan sebagai anak yang sudah dewasa aku merasa bahwa tugasku pula lah untuk membimbing mamaku agar ia bisa lebih memahami duniaku.
Tahun ini pun aku dilingkupi oleh banyak sekali kecewa yang datang bertubi-tubi yang membuat lubang di dalam diriku bertambah dan membuatku mulai merasa takut untuk menaruh rasa percaya pada orang lain. Aku sempat bergelung lagi dengan perasaan rendah diri dan kembali menyalahkan diriku. Berkali-kali aku bertanya pada mama dan teman-temanku, "aku ini gampangan ya orangnya?" Aku ini gampangan ya orangnya? Sampai orang terdekatku bisa menjadikan kata-kataku sebagai senjata untuk menyerangku. Aku ini gampangan ya orangnya? Sampai orang yang ku percaya bisa memanfaatkanku habis-habisan. Aku jadi bingung sendiri. Apakah aku terlalu baik? Ataukah terlalu naif? Atau mungkin saja bodoh. Tapi suatu malam saat aku bercerita pada mamaku atas apa yang menimpaku, aku menyadari sesuatu. I really hate being taken for granted tapi selama ini aku tidak pernah merasakan kecewa karena hal itu. Bukankah itu berarti aku dikelilingi oleh banyak orang yang tahu bagaimana caranya bersikap dan tidak pernah melakukan hal-hal yang kelewat batas? Dan ku sadari pula kalau mamaku selalu mengajariku untuk tidak bersikap egois dan menghargai orang lain. Hal ini membuatku diguyur oleh rasa syukur. Lubang di dalam diriku masih menganga tapi limpahan rasa syukur itu membuat cahaya dalam diriku tidak mati.
Jadi apa pun yang terjadi di tahun 2023 nanti, aku berharap bahwa aku tetap mendengarkan kata hatiku untuk tetap menjadi orang yang mau peduli pada orang lain, tetap berjalan di jalan yang benar, tetap menjaga idealismeku, dan bisa "membaca" apa pun yang semesta berikan untukku.
Comments
Post a Comment