Tentang Penyiksaan yang Tak Ingin Ku Ulang Lagi #30DWCDAY09
Dulu, aku adalah orang yang sangat kaku dan cenderung melihat segala sesuatu secara hitam putih. Kalau gak 0 ya 1 gak ada tuh 0.1; 0.2; 0.12; dll. Kalau gak benar ya salah. Dan gak jarang aku menyalah-nyalahkan diri atas suatu hal yang sebenarnya gak salah. Salah satu penyesalan yang sungguh membuatku tersiksa adalah penyesalan karena pindah dari tempat kos ke apartemen sekitar pertengahan tahun 2020. Memang ku akui keputusan itu adalah keputusan nekad yang tidak ku pikirkan matang-matang. Di saat semua orang berhemat karena pandemi dan ekonomi menunjukkan tanda-tanda resesi, aku malah menguras tabunganku untuk menyewa apartemen dua kamar dengan dalih kamar kosku dulu terlalu sempit untuk dibagi dua dengan adikku (iya, dulu aku tinggal satu kamar dengan adikku, entah ide buruk itu bersumber dari mana). Ku pikir dengan pindah ke apartemen, aku akan mendapatkan hunian yang lebih luas dan kehidupan yang lebih damai karena tidak perlu merasa sumpek setiap kali masuk kamar karena barang kami sama-sama banyak (meski barangku jauh lebih tertata). Mamaku tentu mengecam habis-habisan keputusanku untuk pindah ke apartemen karena baginya menyimpan uang saat itu lebih penting, sementara saat itu bagiku kesehatan mentalku lebih penting.
Sayangnya, kepindahanku ke apartemen tidak sesuai dengan ekspektasiku. Kesehatan mental yang ku dambakan hanya muncul di bulan pertama kepindahanku yang kemudian diiringi dengan mental breakdown yang datang bertubi-tubi. Di apartemen itu aku punya kamar sendiri yang membuatku semakin sering mengurung diri di kamar, seringnya untuk bergulat dengan overthinkingku yang semakin menjadi-jadi atau menangis dalam ruang gelap sambil berharap hasratku untuk lompat dari lantai apartemenku menguap tak bersisa (saat itu aku tinggal di apartemen lantai 6 dan jika aku sedang "kumat", aku sering melongok ke luar jendela, berandai-andai untuk melompat saja seolah aku tidak pernah memiliki phobia ketinggian). Hal ini membuatku terus-terusan menyalahkan diri sendiri dan bergelung dalam penyesalan tiada akhir karena telah mengabaikan petuah mamaku agar tidak pindah ke apartemen. Untungnya, apartemenku itu dekat dengan tempat praktik psikologku, maka aku kembali mencari secercah harapan di sana.
Masa tinggalku di apartemen berakhir di bulan ketiga karena aku memutuskan untuk kembali ngekos dan tinggal sendiri, lagi-lagi sambil berharap mentalku akan membaik jika aku tinggal sendiri. Untungnya kepindahanku kali ini sesuai ekspektasi.
Mungkin bagi sebagian orang, penyesalanku itu terasa aneh dan sepele, aku pun sekarang merasa begitu. Tapi, saat itu aku sedang berada dalam kondisi mental yang tidak stabil dan masih gencar-gencarnya menyalahkan diri sendiri (sekarang pun masih tapi untungnya sudah mendingan), maka apa pun keputusan yang ku perbuat selalu terasa salah. Padahal kalau dilihat-lihat lagi keputusanku itu tidak sepenuhnya salah, sayangnya diriku waktu itu masih kaku dan sering kali tidak mau tahu.
Itulah cerita penyesalan terbesarku yang sebenarnya tidak terlalu sesuai dengan pertanyaan yang menjadi topik writing challenge hari ini: "what is that one thing that you regret very badly and cannot change?" karena penyesalan itu bisa ku ubah. Malah jika tidak ada kejadian itu aku tidak akan belajar untuk mengambil keputusan yang baik. Berkat kejadian itu pula aku belajar untuk lebih mengenal diri sendiri dan belajar mengikuti kata hati karena aku tidak mau mengulang perasaan tersiksa dalam penyesalan tiada akhir akibat egoku sendiri.
Tentu hidup tanpa penyesalan sama sekali rasanya sulit. Sesekali aku masih merasa sekelumit penyesalan akibat keputusan-keputusan yang ku ambil tapi bedanya sekarang aku sudah tidak sekaku dulu. Aku sudah tidak lagi-lagi memandang dunia dengan hitam-putih atau benar-salah. Aku pun sudah menyadari bahwa semesta selalu memberi kesempatan kedua untuk mengubah atau memperbaiki suatu hal, bahkan seringkali semesta menunjukkan jalan yang lebih baik dari keputusan yang ku kira terbaik.
Comments
Post a Comment