Tentang Mimpi yang Ku Bawa Pulang dari Tana Humba #30DWCDAY07
Perlu waktu lama bagiku untuk merenung apa yang perlu aku tulis untuk writing challenge hari ke-7 ini. Bagi sebagian orang mungkin topik ini adalah topik yang mudah karena tinggal mencari foto dan cerita kejadian di balik foto itu, untukku hal itu cukup sulit karena aku sudah menghapus sebagian fotoku karena kebencianku pada diriku di masa lalu (baru-baru ini saja aku mulai belajar lagi untuk menyimpan potret diri). Setelah sekian purnama berpikir-pikir akhirnya aku ingat dengan pengalamanku di Sumba akhir 2018 lalu, yang menjadi perjalanan panjang terakhirku sebelum covid menyerang. Kala itu aku pergi dengan beberapa orang di kantor lamaku dan berkat mereka aku punya beberapa foto diri yang ku simpan di google drive bersama foto-foto pemandangan Tana Humba yang cantiknya minta ampun.
Foto ini diambil di hari ke... ke berapa ya aku lupa wkwkwk mungkin di hari ke-2 atau ke-3 aku di Sumba. Saat itu aku dan teman-temanku sedang singgah di Desa Praijing, salah satu desa adat di Sumba Barat yang tentu saja masih di penuhi dengan rumah-rumah adat. FYI, rumah adat di sana memiliki aturan tersendiri. Bagian bawah rumah digunakan untuk hewan ternak, bagian tengah untuk penghuni, dan bagian atas berfungsi untuk menyimpan makanan dan benda-benda pusaka. Senyum yang mengembang di bibirku itu adalah akumulasi dari rasa senang karena akhirnya bisa melihat rumah adat Sumba secara langsung dan juga rasa senang setelah berenang di Air Terjun Lapopu sebelum aku dan teman-temanku bertandang ke Desa Adat Praijing. Saking senangnya berenang di air tanpa kaporit, aku sempat membuat temanku mendelik karena aku gak mau pulang 🤣🤣
Topik writing challenge hari ke-7 ini juga membuatku membaca kembali tulisanku mengenai Sumba yang konon katanya adalah sebongkah surga yang dijatuhkan Tuhan ke bumi. Karena membaca postingan itu aku pun jadi teringat pada janjiku dahulu yang ingin kembali ke Sumba sebagai volunteer untuk mengajar di sana. Saat berkunjung ke Pantai Bawana di hari pertama aku menginjakkan kaki di Sumba, aku bertemu dengan seorang anak yang senyumnya indah sekali, Nela namanya. Saat itu Nela mengajakku ngobrol duluan dan ia menanyakan namaku dan teman-temanku. Tak berapa lama, Nela meminta uang dengan dalih untuk membeli buku. Sebelum datang ke Sumba, temanku sempat mewanti-wanti agar aku tidak memberi uang jika ada anak-anak yang meminta, tentu saja aku mengikuti saranku itu dan malah menceramahi Nela dan seorang temannya yang juga meminta uang padaku. Aku berkata bahwa mereka seharusnya belajar bukan meminta-minta karena saat itu aku pikir mental meminta-minta itu adalah mental orang pemalas dan aku sangat tidak berharap anak-anak itu menjadi anak-anak yang malas. Saat itu aku belum tahu bahwa ada yang namanya kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural.
Kemiskinan kultural bisa terjadi karena adanya sikap malas di masyarakat seperti label yang ku sematkan pada Nela dan temannya. Tapi, kemiskinan struktural lain cerita. Kemiskinan struktural bisa disebabkan oleh banyak faktor, seperti upah yang tidak sesuai, infrastruktur yang tidak memadai, ketiadaan akses terhadap pendidikan, dll. Anggap saja benar saat itu Nela meminta uang untuk beli buku (karena aku baru ngeh, biasanya orang minta uang dengan alasan beli makan untuk beli obat. Baru kali itu aku dengan ada yang minta uang untuk beli buku) lalu aku malah menyuruhnya belajar bukannya meminta-minta. Bagaimana dia bisa belajar kalau tidak punya buku? Dari google atau youtube? Percayalah bahwa anak-anak di sana tidak memiliki kemewahan seperti itu. Tingkat pendidikan di Sumba adalah salah satu yang terendah di Indonesia dan di sana pun tingkat putus sekolahnya sangat tinggi.
Saat aku berkunjung ke Tanarara di Sumba Timur yang terdiri dari hamparan bukit kapur, aku sempat melihat anak-anak yang mengenakan seragam putih merah berjalan kaki di sekitar situ. Saat itu aku bertanya pada Bang Deddy yang menjadi tour guideku selama di Sumba di mana anak-anak itu bersekolah. Bang Deddy bilang bahwa sekolah terdekat ada di bawah bukit. Jadi bisa dibayangkan anak-anak itu harus naik turun bukit setiap hari untuk sekolah. Aku yang rumahnya hanya berjarak 5 menit jalan kaki dari sekolahku dulu merasa malu karena dulu sering malas bangun pagi untuk menuntut ilmu. Selain letak sekolah yang jauh, infrastruktur sekolah di sana pun masih ala kadarnya, buku-buku yang ada pun masih terbatas jumlahnya, belum lagi masalah kurikulum dan teknologi yang berbeda jauh dengan yang dipakai sekolah-sekolah di kota besar. Intinya, ilmu pengetahuan terasa jauh sekali dari tanah yang menyimpan sekian banyak keindahan alam itu. Maka dari itu, aku ingin memiliki andil untuk membawa pengetahuan ke anak-anak seperti Nela, agar kelak mereka tidak perlu sampai meminta-minta untuk sekadar beli buku. Ini adalah mimpi yang masih ku simpan baik-baik dalam hati (yang mencuat kembali ketika menulis postingan ini) dan semoga bisa segera ku wujudkan dalam waktu dekat.
Btw, kalau kalian mau membaca tulisanku tentang Sumba, kalian bisa melipir ke sini, ya..
Comments
Post a Comment