My Most Interesting Day So Far #30DWCDAY05
Jogja adalah kota yang sudah tidak asing lagi buatku karena sudah berkali-kali ku kunjungi sejak zaman sekolah, tapi entah kenapa baru di perjalanan kemarin aku benar-benar merasakan Jogja, mungkin karena kali ini aku mainnya agak lama. Selama lima hari di kota pelajar itu, aku dan teman-temanku bersepakat bahwa Jogja adalah kota yang menyuguhkan keramahan dan kesabaran tanpa batas. Jogja dipenuhi dengan orang-orang yang murah senyum, baik di kotanya atau daerah-daerah pinggirannya. Setiap kali ada orang yang
lewat pasti mereka mengangguk duluan sambil tersenyum untuk menyapa. Temanku sampai mengajari aku, yang sungguh kikuk dalam hal sapa menyapa ini, untuk ikutan tersenyum jika bertemu dengan orang asing, "kalau ketemu orang, apalagi orang tua, jangan lupa senyum", hal yang tidak pernah ku lakukan di Jakarta yang dipenuhi dengan orang-orang yang seringkali sibuk sendiri. Ke mana pun kami pergi, di mana pun kami singgah, pasti ada saja orang
yang ngajak ngobrol. Aku yang sungguh tidak
suka berbasa basi pun tak kuasa
menolak keramah tamahan mereka dan akhirnya mengiyakan ajakan
halus orang-orang sana untuk bercakap-cakap dengan kemampuan
komunikasiku yang ala kadarnya. Kami pun takjub karena selama kami di sana, tak pernah sekali pun kami mendengar suara klakson dari pengemudi yang tidak sabaran. Apalagi saat kami mampir ke daerah Malioboro yang jalanannya kecil-kecil. Mobil, motor, bis, bahkan delman numplek di satu jalan kecil itu tapi sama sekali tidak terdengar suara klakson! Hal yang sangat tidak mungkin ku jumpai di ibu kota.
Ada juga hari di mana kami merasa dilimpahi dengan banyak sekali kebaikan dari orang-orang sana. Hari itu hari ketiga kami di Jogja. Setelah berkunjung ke Pantai Glagah siang-siang, yang tentu saja bikin kulit gosong, kami menuju ke tempat makan yang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari. Sayangnya setelah menempuh perjalanan panjang, kami mendapati tempat makannya ternyata tutup. Aku yang sebelumnya sudah agak bete akhirnya tambah manyun karena perutku mulai berdemo minta diisi. Akhirnya, aku dan teman-temanku, yang sama sekali buta dengan daerah itu, pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat penyewaan sepeda yang memang akan kami datangi sore itu untuk menanyakan tempat makan di daerah sana kepada pemilik tempat sewanya. Lalu akhirnya kami disambut oleh seorang bapak yang memberi tahukan rumah makan bebek (aku lupa namanya) yang katanya hanya berjarak satu kilo dari tempat itu. Karena jalanan daerah sana yang kecil-kecil, kami pun kembali meminta petunjuk google maps, tapi alih-alih sampai ke tempat tujuan kami malah dibuat nyasar ke tempat antah berantah. Huh.. Akhirnya kami kembali lagi ke tempat sewa sepeda, lalu bapak yang sebelumnya kami temui dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantar kami ke tempat rumah makan bebek dengan motor CBRnya. Rumah makan yang dimaksud si bapak ternyata rumah makan sederhana yang memang letaknya tidak jauh dari tempat sewa sepeda dan ternyata bebek gorengnya endeus banget! Setelah perut kenyang, ternyata ada drama lain yang menanti kami.
Ban mobil yang kami sewa ternyata kempes karena tertancap paku! Kami pun baru sadar ketika ada seorang bapak yang memberi tahu. Akhirnya kami kembali berpusing-pusing ria mencari tempat tambal ban yang rasanya langka sekali di daerah itu karena berkali-kali kami tanya orang selalu dijawabnya, "lurus lagi, lurus lagi". Memang sih ada tempat tambal yang dimaksud, tapi tempatnya kalau gak tutup ya hanya melayani tambal ban motor. Akhirnya kami kembali bertanya pada google dan muncullah tempat tambal ban mobil yang jaraknya tidak sampai tiga kilo dari tempat kami berhenti. Tapi lagi-lagi kami dikerjai google karena ternyata alamat yang tertera di sana sudah tidak update. Hadeuh.. Untungnya ada nomor teleponnya dan akhirnya kami pun diarahkan ke secercah harapan. Setelah melewati jalanan berkelok sekali lagi, kami tiba ke tempat yang kami sebut hidden gem. Karena siapa sangka kalau di desa yang jalanannya kecil dan berkelok-kelok ada bengkel yang punya peralatan lengkap dengan harga yang bikin kami kaget karena rasanya kelewat murah. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat sedikit dan seharusnya bengkel itu tutup jam 4, tapi ban mobil kami tetap direparasi. Sudah tempatnya hidden gem, ternyata yang punya bengkel pun baik sekali.
Jadwal sepedaan kami yang harusnya dimulai jam 3 sore akhirnya molor sampai jam 5 yang membuat pemandu sepedaan kami lembur juga. Kami hanya punya waktu sekitar satu jam untuk bersepeda tapi temanku bilang, "gak apa-apalah, dari pada gak sama sekali", dan ternyata keputusan kami tepat karena bersepeda di bawah mentari sore setelah sekian banyak drama membuat ke-bete-anku lenyap tak bersisa. Aku malah merasa lucu karena aku bete pada hal sepele sementara semesta mempertemukan aku dan teman-temanku pada kebaikan yang tidak pernah kami jumpai di ibu kota.
Pengalamanku di Jogja adalah pengalaman yang sungguh menarik bagiku karena lagi-lagi aku diingatkan semesta bahwa masih banyak orang baik di luar sana. Akhirnya aku berjanji pada diriku sendiri untuk kembali lagi tahun depan, mengubah rute solo travelingku dari Bali menjadi Jogja. Jika ada yang bilang kalau Indonesia orangnya ramah-ramah, ku rasa pastilah yang mereka maksud adalah orang-orang di Jogja.
Comments
Post a Comment